Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kilas Balik
Pagi ini, Zanya mendatangi rumah Khaifa seperti janjinya. Di tangannya ia menjinjing sebuah paperbag, ia ingin memberikan hadiah kepada Alya, mama Khaifa. Kemarin saat ia menemani Marlon berbelanja, ia melihat ibu dan anak berbelanja, dan si anak membelikan tas untuk ibunya dan sang ibu terlihat senang sekali. Zanya ingin sekali melihat ekspresi senang ibunya saat menerima hadiah yang ia beli dari jerih payahnya, namun sang ibu sudah lama berpulang. Maka pagi ini ia mampir di sebuah toko tas, dan membeli satu untuk ia hadiahkan kepada Alya, yang sudah ia anggap ibunya sendiri.
"Bi, di mana mama?" Tanya Zanya kepada asisten rumah tangga yang sedang membersihkan halaman depan.
"Ada di halaman belakang, Neng. Mangga, masuk aja Neng!" Jawab sang ART dengan logat sundanya.
"Oh iya, Bi. Terimakasih..." Ucap Zanya. Ia pun masuk rumah dan berjalan menuju halaman belakang.
Terlihat ada topi menyembul di antara tanaman, Alya sedang mengurus kebun kecilnya, yang sering ia sebut 'anak ijo'.
"Mama!" Panggil Zanya.
Alya mendongakkan kepalanya, lalu tersenyum.
"Hei... Ada anak gadis!" Sambut Alya.
"Tunggu sebentar ya, Za. Mama lagi panen tomat." Ujarnya.
Zanya duduk di kursi melihat kegiatan Alya, ia ingin ikut membantu wanita paruh baya itu, namun biasanya Alya tak ingin di ganggu jika sedang 'me time' dengan 'anak ijo'nya.
Tak lama Alya datang sambil menenteng keranjang yang penuh dengan sayuran segar.
"Udah sarapan belum, Za?" tanyanya.
"Udah, Ma." Jawab Zanya.
"Kalau gitu kita ngopi aja, yuk! Mama abis nyoba bikin cake red velvet, cocok buat teman ngopi." Ajak Alya.
"Boleh, Ma! Aku yang bikin kopinya ya!" Zanya menawarkan diri. Ia memang jago membuat kopi, karena ia pernah bekerja di kedai kopi.
"Ide bagus! Yuk!" Alya membawa keranjangnya dan masuk ke dapur.
Zanya membawa dua cangkir kopi ke teras belakang, tempat favorit keluarga Khaifa untuk bersantai. Alya membawa nampan berisi kue dan dua piring kecil, lalu meletakkanya di meja. Alya duduk dan memotong kue dan mengisi kedua piring itu.
"Nih, cicipin." Alya menyodorkan sepiring untuk Zanya.
Zanya mencicipinya, lalu matanya terbelalak dan alisnya terangkat. "The best, Ma!" pujinya.
"Apa Mama jualan kue aja, ya? hihihi...!" Kelakar Alya.
"Oh iya, Ma. Hampir lupa! Ini buat Mama." Zanya memberikan paperbag yang ia bawa tadi.
Alya menerima paperbag yang Zanya berikan.
"Apa nih?" tanyanya sambil mengintip isi paperbag.
Mata Alya berbinar-binar melihat isi dari paperbag itu, ia mengeluarkan sebuah tas dari dalam paperbag, lalu menatapnya penuh suka cita.
"Ini buat Mama?" tanya Alya dengan wajah sumringah.
Zanya mengangguk sambil tersenyum, hatinya terasa hangat melihat ekspresi Alya, ekspresi bahagia yang ingin ia lihat di wajah mendiang ibunya.
"Maaf, Ma, Zanya cuma bisa kasih ini." Ujarnya.
"Za, Mama senang banget! Mama gak menilai dari materi, tapi dari keikhlasan, ketulusan si pemberi. Terimakasih banyak, sayang!" Ujar Alya dengan wajah haru.
"Oh iya, Za. Kemarin Khaifa cerita ke Mama, katanya kamu ketemu ayah kamu?" tanya Alya pelan.
Zanya mengangguk. "Iya, Ma." Suaranya tercekat.
"Kamu gak terus terang ke ayah kamu?" Tanya Alya lagi.
"Gak, Ma. Untuk apa?" Zanya balik bertanya.
"Kamu kan bisa tanyakan pada ayahmu, apa alasannya dahulu meninggalkan kamu dan ibumu." Ujar Alya.
"Apapun alasannya, tetap aja gak akan ngerubah keadaan, Ma. Zanya gak bisa maafin ayah." Ujar Zanya Muram.
"Iya, ayah kamu memang salah, sih..." Alya menghela napas.
"Saat ayah lain mati-matian mencari nafkah untuk anaknya, dia malah pergi ninggalin anaknya gitu aja." Lanjutnya sambil menatap Zanya nanar.
***
"Lu yakin dia itu Hendika? Maksud gue, SMP tuh udah lama banget loh, Za. Kali aja lu salah orang, kan?" tanya Khaifa sambil mengunyah cake red velvet buatan mamanya.
"Lu lupa muka sahabat kental lu waktu SMP? Gak, kan?" Zanya balik tanya.
Khaifa menggeleng. "Iya juga sih..." Ujarnya.
"Apalagi gue sama dia, rumah gue sama dia tuh dekat, jadi kita berangkat sekolah bareng, pulang sekolah bareng, kemana-mana bareng. Gak mungkin lah gue lupa." Ujar Zanya.
"Hal apa yang paling lu ingat tentang dia? Hal yang spesial gitu, misal bakat dia, kayak elu kan atlet, dia dulunya gimana?" Tanya Khaifa.
"Yang paling gue ingat, dia jago ngelukis, kayak elu. Tapi lukisan dia lebih bagus, hahaha...!" Zanya tertawa melihat Khaifa yang cemberut.
"Wajar lah, itu bukan bakat gue, cuma hobi!" gerutu Khaifa.
"Dulu dia sering ngelukis muka gue, banyaaak banget lukisannya, tapi gue lupa nyimpannya dimana." Ujar Zanya.
"Wah! Jangan-jangan dulu dia suka sama elu, kayak first love gitu kan, ih gemees! Hahaha...!" Khaifa tertawa usil.
"Kalau dia dulunya suka sama gue, mungkin gak dia bakal suka sama gue sekarang?" tanya Zanya.
Khaifa menggelengkan kepalanya sambil memasang tampang serius yang di buat-buat. "Gak usah kepedean kawan, dia sekarang udah jadi CEO, bukan lagi anak SMP yang cupu, selera dia bukan remahan rengginang kayak kita." Ujar Khaifa sambil menepuk pundak Zanya. Lalu mereka tertawa bersama.
***
Pukul 19:00, di Wisma.
"Pak, Anda ingin menu apa, untuk makan malam?" Tanya Radit.
"Aku gak makan malam, biar aku makan buah yang ada di kulkas aja." Jawab Marlon. Ia sedang tidak nafsu makan karena banyak pikiran.
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi." Pamit Radit.
"Oh, iya! Apakah Zanya udah kembali ke wisma?" Tanya Marlon.
"Belum, Pak. Dia kembali kemari besok, pukul 5 pagi." Jawab Radit.
"Oh, gitu? Ya udah, silahkan kamu istirahat aja, aku gak butuh apa-apa lagi." Ujar Marlon.
"Baik, Pak." Jawab Radit.
Marlon terlihat gelisah, ia pun bangkit dari duduknya dan keluar dari kediamannya, lalu berjalan menuju lift. Sampai di lantai 18, pintu lift terbuka, Marlon keluar, lalu menuju pintu yang ada si seberang pintu lift. Marlon berdiri di depan pintu, kemudian ia meletakkan tangannya pada pemindai, lalu mendorong pintu setelah terdengar suara 'klik' kunci pintu terbuka.
Lampu di ruangan itu otomatis menyala saat Marlon masuk, Marlon berjalan di lorong yang penuh dengan lukisan abstrak dengan berbagai macam bentuk dan semua lukisan itu bertanda tangan inisial 'Morhp'.
Sampai di ujung lorong, terdapat sebuah ruangan yang cukup luas, penuh dengan peralatan melukis. Marlon mengambil kanvas kosong, kuas, serta cat, kemudian ia menyimpan kanvas pada penyangga. Setelah menuang beberapa warna cat di palet, dan mencampurnya, ia mulai menyapukan kuasnya pada kanvas.
Marlon baru selesai membuat warna dasar di kanvasnya, perpaduan warna merah dan hitam, tapi warna merah lebih dominan, begitupun dengan semua lukisan yang ada di sekitar ruangan itu, dominan merah.
Marlon melempar kuasnya dengan kesal, lalu ia duduk dan mengusap wajahnya dengan kasar.
"Zanya, siapa kamu sebenarnya? apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu yang hilang dari ingatanku, dan kenapa hanya nama Zanya Andrea yang muncul di otakku?" Bisiknya gamang.