Tidak semua cinta terasa indah, ada kalanya cinta terasa begitu menyakitkan, apalagi jika kau mencintai sahabatmu sendiri tanpa adanya sebuah kepastian, tentang perasaan sepihak yang dirasakan Melody pada sahabatnya Kaal, akan kah kisah cinta keduanya berlabuh ataukah berakhir rapuh
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Withlove9897_1, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hate Side Story 006
...***...
Warna putih mengepung dari segala sisi ketika Kaal membuka mata. Ia berdesis pelan, merasakan kepalanya berdentum menyakitkan.
Perlahan, Kaal bangkit dari posisi tidur. Ia sedikit membungkuk sembari mengamati sekelilingnya dengan seksama.
Otak Kaal berusaha mengumpulkan memori di samping panas tubuhnya yang membakar. Bau antiseptik serta pahit obat yang mampir ke penciuman Kaal membantunya untuk mengingat.
Ruang Kesehatan.
Kaal meminta izin untuk tidur di ruangan ini pada periode jam pelajaran kedua karena nyeri yang hadir di kepalanya. ia merutuk kasar. Daya tahannya tenyata kalah dibanding hujan kemarin. Tubuhnya masih terasa berat walaupun ia yakin ia telah lama tertidur.
Sambil terus mengumpulkan tenaga, Kaal melirik arlojinya. Ia tidak heran ketika melihat jam sudah melampaui waktu pulang sekolah. Masih dengan limbung, Kaal akhirnya memutuskan untuk beranjak. Ia menapakkan kakinya hati-hati ke atas lantai, berjuang untuk menopang tubuhnya sebisa mungkin.
Pada langkah pertama, Kaal menyadari ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang penting. Sesuatu yang mengikatnya melebihi janji, seperti sebuah kewajiban.
"Sial!" Kaal terkesiap cepat.
Ia segera berlari dari dalam ruang kesehatan tanpa memikirkan tubuhnya yang menjerit meminta berhenti. Kaal bahkan tidak mengambil satupun barangnya di loker.
Apa yang menjadi perhatiannya hanya satu.
Melody Senja.
...****...
Kaal tidak pernah menemukan dirinya berlari secepat ini. Kakinya bertumbuk keras dengan jalan, memaksa tubuhnya untuk semakin mempercepat langkah. Detak jantungnya berubah menggila di dalam rongga dada.
Tenggorokan Kaal terasa kering akibat pengaruh demam serta teriakannya yang memanggil nama Melody Senja.
Perkataan Eden yang berputar tanpa henti membuat Kaal berusaha untuk menahan sakit di seluruh anggota badannya. Bahaya yang bisa mengancam Melody Senja bukan sekedar segerombolan anak gadis ingusan seusia mereka. Tetapi berandalan dengan otak kriminal tinggi yang menganggap kekerasan atau bahkan lebih berbahaya dari itu.
Alih-alih umpatan, apa yang kali ini keluar dari mulut Kaal adalah doa. Ia rela Tuhan mengambil semua pintanya asalkan Melody Senja tidak terluka.
Kepala Kaal melongok ke sekitar sembari langkahnya masih terpacu konstan. Ia berharap Melody masih belum jauh.
Kaal sangat berharap Melody bisa mendengar suaranya, serta nada putus asa yang terhantar di lidahnya.
Namun tubuh Kaal mendadak lemas—melebihi lemas akibat demam yang menyerangnya ketika melihat Melody dikepung tiga orang lelaki yang jelas bukan lawan sebanding untuknya.
"Hey!" Kaal berteriak lantang.
Satu lelaki yang berdiri di depan Melody menoleh tepat saat Kaal berhasil menendang rusuknya kuat. Kedua lelaki lain terkejut menyaksikan serangan tiba-tiba itu. Tangan mereka yang sebelumnya mencengkram lengan Melody kini berada pada posisi siaga.
Kaal dengan sigap menghindari pukulan pertama yang datang dari lelaki di kanannya. Ia membungkuk, kemudian melayangkan pukulan ke dagu lelaki itu. Melihat lelaki itu terjembab, Kaal segera beralih ke lelaki di kirinya. Sebuah pukulan lain Kaal daratkan di perut lelaki itu hingga lelaki itu tersedak.
Kaal segera mengangkangi salah seorang lelaki yang berusaha berdiri, menahan tubuh lelaki itu dalam posisi telentang kemudian menghajarnya tanpa ampun di wajah. Walaupun lelaki itu sudah merintih meminta ampun agar Kaal tidak bisa berhenti.
Ia tidak mau berhenti.
Pikiran Kaal terasa berkabut karena semua lelaki ini menyentuh Melody Senja-nya.
Seperti orang kerasukan, kepalan tangan Kaal mengerat seiring entah berapa kali tinju yang ia layangkan. Kaal terus memukul, memukul, memukul, mengabaikan darah yang mulai memenuhi ruas jarinya.
Sepasang lengan tiba-tiba memeluk pundaknya dari belakang lalu menariknya menjauh. Lengan itu mengusap dadanya, mencoba menarik akal sehat Kaal untuk kembali ke tempatnya.
"Kaal, hentikan, cukup." Suara Melody yang berbisik membuat bahu Kaal melemah.
"Cukup. Aku sudah memanggil polisi. Mereka akan tiba sebentar lagi."
Tangan Melody berpindah ke pinggangnya, mendekapnya dalam selubung yang begitu nyaman.
Kaal mengatur nafasnya agar kembali stabil. Matanya yang melebar karena amarah kini kembali normal.
"Kenapa kau tidak menungguku?" meski kalimat itu seharusnya dilemparkan dengan intonasi tinggi—mungkin juga sedikit bentakan frustasi, Kaal tidak dapat melakukannya kali ini.
"Kau tertidur sangat nyenyak. Aku tidak ingin membangunkanmu." Gumam Melody di punggungnya.
Kaal mendesah lelah. Ia kemudian memberanikan diri untuk berbalik, memeriksa apakah Melody mengalami luka yang fatal.
Melody mundur beberapa langkah, mata besarnya menatap Kaal lurus, hangat, membuat Kaal ingin kembali terjatuh di pelukan gadis itu.
Kaal meniti luka gores di bibir Melody, atas alis dan juga pipinya. Ia bernafas lega karena luka itu terlihat tidak cukup parah. Namun begitu pandangannya beralih ke tangan Melody, suatu perasaan aneh menusuk dadanya.
Kaal tidak tahu apa yang dilakukan para lelaki itu. Mungkin Melody terjatuh hingga bilur serta sayatan memenuhi punggung tangan sampai sikunya.
Melihat itu jelas Kaal tidak rela.
"Kau terluka Melody." Ucap Kaal parau.
Kaal membawa tangan Melody lebih dekat, wajahnya tertunduk melihat bercak darah di pakaian lelaki itu.
"Melody, kau terluka."
"Ini hanya luka kecil. Tidak perlu kh-"
Kalimat Melody terhenti di udara. Gadis itu menekuk lutut, sengaja menyejajarkan pandang dengan Kaal yang masih menunduk.
Ragu-ragu, tangan kikuk Melody bergerak mendekat ke wajahnya. Kaal dapat menangkap lara yang tercermin dari dalam mata Melody.
Gadis itu termangu di depannya, melihatnya dengan sorot yang tidak bisa ia terjemahkan. Ibu jari Melody tiba-tiba menyeka bagian bawah matanya lembut.
"Kenapa kau menangis Kaal?"
Kaal mengusap matanya cepat. Ia terkejut mendapati air membasahi jarinya.
Kepalanya segera menengadah, karena mungkin Melody salah paham. Mungkin itu hanya air hujan dan gadis itu terlalu bodoh sampai tidak bisa membedakannya.
Tetapi langit kala itu jernih. Bersih, dengan biru menghampar seperti kubah lautan yang tinggi di atasnya.
Ia kembali mengalihkan pandangan ke Melody. Rasa menusuk di dadanya hadir setiap kali luka di tubuh gadis itu terjamah oleh penglihatannya. Pengaruh demam yang tadi ia abaikan mendadak merengkuhnya lagi. Kaki Kaal bergetar hingga ia menghempaskan tubuh ke salah satu dinding terdekat.
Kaal terduduk lemah dengan nafas memburu dari dalam mulutnya juga sesuatu yang membara di matanya. Melody berjongkok di depan Kaal, kedua tangan gadis itu bertumpu ke lututnya.
"Oh, Tuhan. Kau pucat." Pekik Melody.
Raut gadis itu menampakkan khawatir yang teramat sangat. Ketika Melody berniat menyentuh keningnya, Kaal segera meraih pergelangan tangan gadis itu.
"Jangan terluka lagi Melody." Bisik Kaal di tengah mual yang merangkak naik.
"Melody, berjanjilah padaku kau tidak akan terluka lagi"
Melody membelalak lebar saat Kaal mulai terisak pelan. Gadis itu terdiam di tempat, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Aku—" Kaal menutup kedua matanya sendiri, ia seharusnya tidak bersikap cengeng seperti ini,
"Aku—tidak bisa melihatmu terluka Melody, itu menyakitiku." Isakannya berubah menjadi sesenggukan panjang yang pilu.
"Aku tidak bisa melihatmu terluka lagi. Aku menyesal. Aku minta maaf. Aku mohon jangan pernah terluka lagi. Aku mohon."
Kaal merasa ia bisa meneruskan permintaan maafnya, berulang-ulang, hingga Melody bosan.
Memberi tahu gadis itu bahwa ia memang brengsek, bahwa ia pantas mendapat pembalasan, apa saja. Oh, Tuhan, apa saja asalkan ia bisa bebas dari penyesalan ini.
"Kumohon, Kumohon Melody, berjanji kau tidak akan terluka lagi. Kumohon." Kaal meracau, mengulang kata yang sama terus menerus.
Mungkin dulu, ia salah memulai kisah cinta ini. Mungkin nantinya, ia bukan merupakan tipe kekasih impian Melody. Tetapi mungkin sekarang, ia harus memberi kesempatan dirinya sendiri untuk mencoba mencintai gadis itu dengan cara yang benar.
"Jika aku—" Kaal menyentuh pangkal hidungnya kuat
"Jika aku, meminta sebuah tombol restart untuk memperbaiki setiap kesalahan yang telah aku lakukan, apa kau akan memberikannya?"
Kaal memberanikan diri untuk mendongak, mempertemukan matanya dengan Melody.
Gadis itu terlihat terkejut dengan pernyataannya.
Selanjutnya yang terjadi adalah jeda terpanjang dalam hidup Kaal. Dimana waktu mengalun malu-malu, gemuruh di atas kepala mereka mengusir keduanya untuk segera berlalu, dan bibir Melody yang terkatup semakin membungkus kesunyian dalam belenggu.
Namun, mata gadis itu seolah ingin mengungkapkan sesuatu.
"Kau tidak perlu memperbaiki apapun Kaal" Melody menjawab, lirih sekali.
"Percayalah. Kau tidak perlu memperbaiki apapun."
Kaal tersengal sarkastik. Ini sangat tipikal Melody. Sampai kapan gadis itu ingin bersikap baik kepadanya, bertindak seakan tidak pernah ada masalah apapun di antara mereka?
Melody begitu bodoh. Sangat bodoh. Kaal ingin membunuh dirinya sendiri karena penyesalan membasuh sanubarinya dengan cara seperti ini.
Ia berniat untuk mengumpat gadis itu, tetapi mulutnya segera menganga saat melihat wajah Melody.
Mata gadis itu berkaca-kaca sedang sudut bibirnya tersungging sampai ke pipinya.
"Aku sangat bahagia Kaal."
Kenapa?
Kaal ingin bertanya. Kenapa kau ikut menangis? Kenapa kau tidak melawanku? Kenapa kau justru mengatakan bahwa kau bahagia sekarang? Kenapa? Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu?
Situasi ini terlalu membingungkan untuknya. Melody, terlalu misterius untuknya.
Suara petugas kepolisian yang datang tidak membuat Kaal mengalihkan pandangan. Ia mencoba menyelami mata Melody, mencari jawaban. Meskipun kedua pria berseragam itu menanyakan keadaan Kaal, lidahnya kelu tidak mampu bicara.
Karena Kaal tidak bisa fokus terhadap apapun saat ini.
Tidak ketika mata Melody menatapnya penuh perhatian, sorot lembut yang tertangkap dari mata lelaki itu membuat Kaal ingin larut. Ia ingin hanyut.
Dalam, dalam sekali.
Bibir Melody terlihat begitu merah, seperti siluet mawar yang menghantuinya sejak kemarin. Kaal benar-benar sedang tidak ingin menggubris dunia sekitarnya.
Ia tidak ingin berpikir apapun selain membawa bibir Melody untuk menyentuh bibirnya.
Detik berikutnya, tangan Kaal melingkar di tengkuk Melody, menarik wajah gadis itu mendekat, menyatukan bibir mereka pada ciuman yang melehkan setiap persendiannya.
Walaupun hujan belum turun, Kaal dapat merasakan petrichor di bibir Melody. Aroma tanah serta rerumputan basah tercecap yang bercampur dengan sedikit air mata.
Kaal sekarang mengerti alasan mengapa seseorang ingin jatuh cinta.
Kemudian seperti sebuah film romantis murahan, tetes pertama air hujan jatuh ke hidungnya....
...***...
Mawar merah tidak dapat disangkal adalah yang terindah di antara semua mawar.
Warna kesempurnaan, hasrat yang membara dan hasrat yang mendambakan. Berwarna merah darah dan menyala-nyala, "Aku sangat mencintaimu."
...TBC...