Terlahir dari orang tua yang membenci dirinya sejak kecil, Embun Sanubari tumbuh menjadi laki-laki yang pendiam. Di balik sifat lembut dan wajah tampannya, tersimpan begitu banyak rasa sakit di hatinya.
Ia tak pernah bisa mengambil pilihannya sendiri sepanjang hidup lantaran belenggu sang ayah. Hingga saat ia memasuki usia dewasa, sang ayah menjodohkannya dengan gadis yang tak pernah ia temui sebelumnya.
Ia tak akan pernah menyangka bahwa Rembulan Saraswati Sanasesa, istrinya yang angkuh dan misterius itu akan memberikan begitu banyak kejutan di sepanjang hidupnya. Embun Sanubari yang sebelumnya menjalani hidup layaknya boneka, mulai merasakan gelenyar perasaan aneh yang dinamakan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dzataasabrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
No More Scary Night
Sanu keluar dari kamar mandi tepat setelah aku menghabiskan makanan dan minuman yang telah ia buatkan. Aku akui bahwa masakannya sangatlah enak. Entah dari mana ia belajar, yang pasti aku mengakui skill memasaknya itu.
Aku berdiri dari kursi, hendak membawa piring dan gelas kotor itu ke bawah. Belum sempat aku melangkah, Sanu telah berdiri di belakangku, menatapku dengan mata hazelnya yang indah. Ia mengenakan celana kain panjang berwarna hitam dengan bahan linen yang dipadukan dengan kaos putih yang... Astaga? Is he always this hot?
Aku dapat melihat otot lengannya menyembul dari balik kaos itu. Urat-urat tangannya yang seksi itu kini terlihat secara keseluruhan. Dadanya yang bidang tercetak sempurna dari balik kaos yang ketat itu. Abs perutnya yang kotak-kotak juga turut nampak meski tak begitu jelas.
Selama ini ia selalu mengenakan pakaian yang kebesaran, membuat ia kadang terlihat tidak berisi. Namun, kini aku dapat melihatnya secara jelas. Tubuhnya terpahat dengan sempurna. Tidak ada yang kurang, tak ada pula yang lebih. Semuanya benar-benar pas dan diciptakan dengan sempurna oleh Yang Maha Kuasa.
Bukankah Tuhan terlalu baik sehingga memberikan kesempurnaan kepada satu orang seperti ini? Aku buru-buru mengerjap saat ia menggosok rambutnya yang basah dengan handuk yang tersampir di bahunya. Oh God! He is soo sexy...
Bulan! Sadarkan dirimu idiot!
Aku menghardik diri sendiri dan bergegas mengelap sudut bibirku, takut kalau-kalau aku meneteskan liur karena terlampau lama menganga.
"Biar aku yang membawanya turun," dengan gerakan lembut, Sanu merebut piring dan gelas kotor itu dari tanganku. "Mau kubawakan segelas air putih?"
Aku mengerjap saat melihat piring dan gelas itu sudah berpindah tangan. Duh, bagaimanalah ini. Otakku benar-benar tidak bisa fokus jika terus seperti ini. Bukankah aku harus melakukan sesuatu?
"Aku bisa melakukannya sendiri," Aku mengambil piring dan gelas itu dari tangannya dengan kasar. Tanpa menunggu ia menjawab, aku berjalan cepat melaluinya dan turun ke lantai bawah.
Aku merutuki diriku sendiri karena terus terpesona saat melihatnya. Tapi bagaimana lagi? Siapapun di dunia ini belum tentu kuat membentengi diri jika harus terus bersinggungan dengan seorang Embun Sanubari!
Aku meletakkan piring dan gelas kotor itu di pencuci piring otomatis. Sembari menunggunya selesai, aku terus mencoba menarik napas panjang dan menghembuskannya. Mencoba membuat diriku lebih rileks.
Bulan, ingatlah tujuanmu di sini. Kau di sini bukan untuk terpikat dengannya, ingat? Berhenti menatapnya dan jadilah dirimu sendiri, girl!
Aku terus mengucapkan hal itu pada diriku sendiri selama bermenit-menit. Setelah memastikan piring kotor dan gelas itu telah bersih, aku mengambil sebuah gelas kosong dan mengisinya dengan air dingin. Aku meneguk air itu dengan cepat kemudian kembali ke kamar.
Tepat setelah aku menutup pintu di belakangku, mata kami kembali bertemu. Ia yang sedang duduk bersandar di kasur menatapku dengan matanya yang lelah itu dan tetap berusaha mengulas senyuman ke arahku.
Duh? Apa sih maunya? Kenapa terus tersenyum padaku?
Dengan enggan aku membuang muka dan beringsut masuk ke dalam selimut. Aku memunggunginya dan buru-buru memejamkan mata.
"Apakah kamu mau aku mematikan lampunya?" ujarnya lirih. Ia masih dalam posisinya.
"Ya."
Tak ada tanggapan apapun darinya. Meski begitu, aku merasakan kasur kami bergerak. Terdengar suara langkah kakinya samar-samar. Tak begitu lama, lampu kamar kami pun padam. Ia juga menutup semua gorden secara otomatis sehingga jendela kamar ini tertutup sempurna.
Aku merasakan ia kembali naik ke atas kasur. Jantungku berdebar dengan sangat amat kencang saat merasakan kasur ini bergerak-gerak. Mungkin ia sedang mencoba berbaring? Duh, dia tidak mungkin tiba-tiba memelukku dari belakang kan?
Aku terus memejamkan mata, berpura-pura tidur. Tak ada pergerakan apa-apa lagi darinya. Tak ada sentuhan apalagi pelukan yang aku rasakan darinya. Benar-benar hening selama bermenit-menit. Hanya suara detak jantungku yang dapat kudengar sendiri lantaran terlalu kencang.
"Kamu sudah tidur?" aku yang mulai mengantuk kembali membuka mata saat tanpa sengaja mendengarnya bersuara.
Aku tak menjawab. Berusaha kembali memejamkan mata dan berpura-pura tidur.
"Sepertinya sudah ya?" ujarnya lagi, dengan suara yang sedikit lebih pelan. Entah kenapa suaranya terdengar indah di telingaku.
Indah? Ah sial, jangan mulai lagi kau Bulan!
Di samping itu, debaran jantungku yang sudah mulai normal pun kembali berdegub dengan kencang. Aku meremas ujung selimut di dadaku dengan erat, mataku kupaksa memejam meski tidak mengantuk. Entah kenapa, aku jadi menunggu ia mengatakan kalimat selanjutnya.
"Mungkin pernikahan ini bukan hal yang mudah untukmu. Kamu juga sepertinya sudah memiliki kekasih. Aku tahu kamu tidak menyukaiku dan mungkin tidak menginginkanku menjadi suamimu, tetapi aku akan berusaha agar kamu tidak menderita dalam pernikahan ini. Aku harap...." Ia menghentikan kalimatnya.
Debaran jantungku benar-benar kencang saat ini. Aku takut ia dapat mendengarnya jika debarannya terus sekencang ini!
"Aku harap kamu akan bisa berbahagia bersamaku." ujarnya lirih, nyaris tak terdengar.
Napasku tertahan.
Dia sepertinya benar-benar baik dan menginginkan pernikahan ini. Selain itu, ia bahkan berharap agar aku bahagia? Entahlah. Mungkin saja dia menyadari bahwa aku masih terjaga dan sengaja mengatakan hal seperti itu untuk meluluhkanku. Aku tau pria-pria seperti apa kalian itu!
Meski jantungku masih berdebar kencang, aku berusaha membuang jauh-jauh pikiran tentang Embun. Tak peduli jika ia menginginkan pernikahan ini. Aku tidak menginginkannya! Jika aku adalah seorang gadis dengan hidup normal, perjodohan seperti ini hanya akan membuat hidupku menderita. Hanya saja, aku memiliki kondisi yang membuatku harus meninggalkan rumah dan keluargaku sendiri, sehingga opsi menikah ini terdengar seperti hal baik bagiku.
Tetapi bagaimanapun juga, aku tidak menyukaimu Sanu. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menaruh hatiku pada orang munafik sepertimu.
Aku masih mencoba untuk memejamkan mata saat tanpa sengaja melihat jarum jam yang ada di atas jendela menunjukkan pukul delapan malam. Sejujurnya ini masih terlalu sore untuk tidur. Tetapi apa boleh buat, seharian ini kami berdua benar-benar bangun sejak pagi buta dan menyalami semua orang di pernikahan kami hingga sore.
Tapi.... Ini sudah jam delapan malam ya?
Aku mendadak merasa ingin menangis saat mengingat bahwa kini aku tak perlu lagi merasa takut melihat jam saat malam. Selama beberapa tahun ini, aku selalu merasa benci saat malam tiba. Mataku tak pernah lepas dari jam karena setiap pukul tujuh malam, orang itu akan masuk ke dalam kamarku dan memulai aksi bejatnya. Setiap malam, aku harus melalui hal seperti itu.
Dan hari ini, tidak ada lagi ketakutan yang aku rasakan. Aku bahkan lupa waktu hingga tak mengecek jam sekalipun sejak sore. Apakah ini artinya aku benar-benar bebas?
Aku mengusap setetes air mata yang lolos dari pipiku. Aku menyadari seberapapun aku berusaha menolak, fakta bahwa pernikahan ini membantuku terbebas dari penderitaan terbesar dalam hidupku takkan bisa berubah.
Aku kembali mengusap air mataku dengan perlahan. Hatiku tak pernah merasa selega ini. Meski aku tetap tak bisa mempercayainya, kuharap Sanu bersungguh-sungguh dengan kata-kata yang diucapkannya tadi.
Kuharap kau bersungguh-sungguh dengan kata-katamu itu, Sanu.