Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Pagi yang mendung seolah menambah berat mata Indah untuk terbuka setelah malam yang melelahkan. Di luar kamar, suara Naura yang riang memanggilnya membuat Indah harus menyerah pada kantuk yang masih membayangi.
"Mamah," suara Naura terdengar ceria dari balik pintu.
"Iya nak, masuk saja," balas Indah dengan suara yang masih serak.
Naura melangkah masuk dengan seragam sekolahnya yang rapi, senyumnya lebar melihat kondisi Indah yang masih terbaring. "Idih, mamah baru bangun," candanya sambil menirukan gaya menguap.
"Hehehe, iya nak, mamah capek," Indah menggeliat pelan, mencoba mengumpulkan energi.
"Gitu saja capek," goda Naura lagi sambil berpura-pura mengomel. "Mana nih saku Naura?"
"Dasar ya anak mamah ini," Indah tertawa kecil. "Ambil uangnya di tas mamah yang pink itu," tunjuknya ke arah meja rias.
"Oke, mah. Siap!" sahut Naura semangat, segera melangkah ke arah yang ditunjuk.
Aku sudah terburu-buru memeriksa jam dinding. Aku menyadari sudah saatnya untuk bersiap-siap menghadapi hari yang sibuk. Langkah kaki ku tergesa-gesa menuju kamar mandi, di mana aku menyegarkan diri dengan cepat.
Selesai mandi, aku mengenakan pakaian kerja yang telah aku siapkan sebelumnya, pakaian yang tidak hanya nyaman namun juga mencerminkan gaya desainnya yang elegan.
Setelah berpakaian, aku segera turun ke dapur untuk menikmati sarapan singkat. Waktu yang begitu berharga di pagi hari digunakan sebaik mungkin untuk mengisi energi.
Setelah sarapan, aku bergegas keluar rumah menuju butik yang terletak tidak jauh dari rumah. Saat tiba, beberapa rekan bisnis dan pelanggan sudah menunggu. Mereka datang untuk mengambil gaun yang telah selesai atau bahkan untuk memesan desain baru.
Ruangan butik dipenuhi suara kain yang diukur, gunting yang memotong, dan mesin jahit yang berdengung. Raisa melayani setiap permintaan dengan hati-hati, memastikan setiap detail sesuai keinginan pelanggan.
Kesibukan itu membuat ku lupa akan waktu, termasuk waktu makan siangnya. Perutku terasa keroncongan, namun tekadnya untuk tidak mengecewakan pelanggan membuatku terus bekerja.
Aku terus mengukur, memotong, dan menjahit, setiap tusukan jarum adalah bukti dedikasiku sebagai desainer. Hari itu, meski lelah dan lapar, aku tetap mengutamakan kepuasan pelanggan yang telah mempercayakan momen penting mereka padanya.
"Ran, kamu belum makan," seru Sumi yang baru saja datang dari gudang.
"Aku beli'im nasi Padang saja dong, Sum," jawabku sambil berusaha fokus menjahit bagian yang paling sulit.
"Oke deh, tunggu sebentar ya, Ran."
"Oke." Sumi keluar dari butik, sementara aku tetap sibuk menjahit.
Tak lama kemudian, terdengar suara Adnan yang memanggil namaku dengan keras. "Mau apa lagi dia?" gumamku pelan, merasa terganggu.
Adnan berjalan ke arahku dengan mata tajam, lalu dengan keras meletakkan selembar kertas putih di atas meja, tepat di samping mesin jahit.
"Apa maksudmu, Adnan? Kamu gak lihat aku lagi bekerja?" kesalku, merasa kesabaran diuji.
"Aku gak peduli, Ran!" seru Adnan. "Apa maksudmu dengan ini? Kamu mau cerai dariku?" teriaknya semakin keras.
Aku menoleh ke kertas yang ada di tangan, dan ternyata itu adalah surat dari pengadilan agama. Senyum bahagia tersungging di bibirku, akhirnya surat yang kutunggu-tunggu datang juga.
"Mentang-mentang kamu sekarang sudah punya segalanya, dengan mudahnya kamu mau menceraikan aku!" gerutu Adnan
"Coba aku tanya pada dirimu sendiri, Adnan, apakah kamu sudah benar-benar menjadi seorang suami yang baik? Apakah kamu pantas untuk aku pertahankan?" Aku menatap tajam ke arahnya. "Sudahlah Adnan, aku sudah ikhlas untuk melepaskanmu bersama Sandra," ucapku tegas.
Adnan tampak terkejut, matanya berkaca-kaca. "Tapi, Ran, aku tidak ingin kehilangan kamu," ujarnya dengan suara yang hampir berbisik.
Aku mengepal tinju, berusaha menahan amarah. "Cukup, Adnan! Aku sudah tidak tertarik dengan kata-kata manismu itu! Lebih baik kamu fokus pada kehamilan Sandra dan segera menikahinya," balasku tegas, tak ingin mendengarkan penjelasan apapun darinya lagi.
Adnan berdecak kesal, lalu berkata, "Tapi Naura masih butuh sosok kita!" Suara Adnan penuh penekanan, namun suaraku justru terdengar lebih dingin saat menyahutnya.
"Menurutku, Naura tidak butuh sosok ayah seperti kamu, Adnan." Kujawab dengan ekspresi wajah sinis.
Adnan terlihat terkejut dan marah, lalu membentak, "Sombong kamu ya! Awas kamu, Rania!" Dia benar-benar terlihat kesal, membuatku merasa lebih frustrasi dalam situasi ini.
Berbagai emosi mulai bercampur aduk, marah dan sedih, kehilangan dan penyesalan. "Awas apa? Kamu yang memulainya dulu kan, Adnan?!" balasku, tak bisa lagi menahan perasaan pahit dalam hati.
"Kamu sangat sombong!" umpat Adnan dengan wajah memerah.
Aku hanya bisa menghela napas panjang, mencoba meredam emosiku. "Terserah apa kata kamu, Adnan!" ucapku, menahan tangis dan merasa terluka.
Dia-lah yang memberikan luka ini padaku, tapi anehnya seolah-olah dia yang tersakiti. Dia yang berselingkuh, tapi kok aku merasa seakan-akan aku yang berselingkuh.
"Adnan... Adnan..." hatiku menjerit, luka ini sangat dalam.
Tapi aku mencoba bangkit dari keterpurukan itu dan berusaha berdamai dengan diriku sendiri. "Kemana saja kemarin, saat aku dan Naura membutuhkanmu, Adnan? Malah asyik dan sibuk dengan selingkuhanmu itu," keluhku dalam hati.
Aku mencoba mengerti apa yang ada di fikiran Adnan, tapi aku tak mampu. Rasa kecewa dan sakit menghujam dalam-dalam. "Adnan, apa yang ada di pikiranmu, sih? Kamu sungguh menyebalkan dan aneh !" Aku mulai bertanya-tanya apakah aku bisa benar-benar melupakan semuanya atau memaafkan pengkhianatan ini. Namun, yang pasti, aku harus kuat dan terus melangkah untuk diriku dan Naura.
Aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri dan kembali fokus pada pekerjaanku, mengesampingkan pikiran yang tidak penting.
"Aku harus konsentrasi, tugas ini harus selesai tepat waktu," gumamku dalam hati.
Tak lama kemudian, Sumi datang dengan membawa nasi Padang untukku. Tanpa ragu, aku langsung menyantapnya untuk mengisi perutku yang sudah terasa lapar.
Rasa capek dan lapar berhasil teralihkan sejenak oleh nikmatnya hidangan itu. "Ran, besok ada fashion show di mall Bandung, kita ikutan nggak?" tanya Sumi sembari tersenyum.
Aku menanggapi, "Boleh, kamu yang urus semuanya dan segera menghubungi Sonya ya."
Sumi mengangguk dan berkata, "Beres, Ran." "Untuk yang di mall, acaranya minggu depan ya, Ran?" Sumi bertanya lagi untuk memastikan.
Aku menjawab dengan yakin, "Beres, aku pastikan sudah jadi gaunnya."
Sumi tersenyum puas dan mengiyakan, "Oke." Dalam situasi ini, aku merasa cemas namun tetap bersemangat untuk menyelesaikan pekerjaanku
"Aku harus fokus pada tujuan utamaku," pikirku sambil mencoba mengabaikan segala hiruk-pikuk yang mengelilingi.
Setelah makan siang, aku melanjutkan pekerjaanku untuk menjahit dan merancang gamis yang dimaksud oleh Sonya.
Aku merenung sejenak, mencoba menggali ide-ide kreatif yang belum pernah kubuat sebelumnya. "Apa yang ingin dicerminkan oleh Sonya dari gamis ini? Apakah kesan elegan, modern, ataukah tetap klasik?" bisikku dalam hati.
Sambil menjahit, pikiranku terus mencoba memadukan warna, motif, dan bahan yang tepat untuk menciptakan gamis impian Sonya.
"Aku harus bekerja lebih keras, bukan hanya untuk menghasilkan karya terbaik, tetapi juga agar Sonya merasa puas dengan pilihan desain ini," gumamku sambil tersenyum.
Dalam proses merancang, aku pun mulai merasa semangat dan termotivasi untuk mengekspresikan jati diri Sonya melalui gamis ini.
Aku ingin membuatnya bangga dan yakin bahwa dia telah memilih desainer yang tepat. "Semoga hasil akhirnya nanti akan sesuai dengan ekspektasi Sonya dan mampu mencuri perhatian semua orang," harapku dalam hati, sembari terus bekerja dengan penuh dedikasi.
*****
kebahagian mu rai...ap lg anak mu mendukung ?
bahagia dan hidup sukses ...