Dion, seorang siswa kelas 10 yang ceria dan penuh semangat, telah lama jatuh cinta pada Clara, gadis pendiam yang selalu menolak setiap usaha pendekatannya. Setiap hari, Dion mencoba meraih hati Clara dengan candaan konyol dan perhatian yang tulus. Namun, setiap kali dia mendekat, Clara selalu menjauh, membuat Dion merasa seperti berjalan di tempat.
Setelah sekian lama berusaha tanpa hasil, Dion akhirnya memutuskan untuk berhenti. Ia tak ingin lagi menjadi beban dalam hidup Clara. Tanpa diduga, saat Dion menjauh, Clara mulai merasakan kehilangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Kehadiran Dion yang dulu dianggapnya mengganggu, kini malah menjadi sesuatu yang dirindukan.
Di tengah kebingungan Clara dalam memahami perasaannya, Dion memilih menjaga jarak, meski hatinya masih menyimpan perasaan yang dalam untuk Clara. Akankah Clara mampu membuka diri dan mengakui bahwa ada sesuatu yang tumbuh di hatinya untuk Dion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reito(HxA), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09. Deklarasi Perang
Hari Senin datang dengan cepat. Suasana sekolah terasa lebih sibuk dari biasanya, dengan siswa yang berkumpul membahas acara yang akan datang. Di tengah keramaian itu, Clara melangkah memasuki gerbang sekolah dengan perasaan campur aduk. Pikirannya masih tertinggal di sore kemarin, saat dia dan Dion berlatih basket bersama. Ada sesuatu yang terasa berbeda, baik pada dirinya maupun pada Dion. Meskipun Dion tidak banyak bicara, Clara bisa merasakan bahwa jarak di antara mereka mulai menghilang.
Namun, pagi itu, sesuatu tampak tidak beres. Dari jauh, Clara melihat Dion berdiri di lapangan bersama beberapa teman sekelasnya. Bukan hal yang aneh, tetapi yang membuatnya cemas adalah sosok Lara yang sedang berjalan ke arah Dion dengan senyuman lebar di wajahnya.
Lara, dengan rambut panjang yang terurai sempurna dan penampilannya yang selalu rapi, dikenal sebagai murid baru yang cepat menarik perhatian. Sejak pertama kali datang, Lara sudah memperlihatkan minatnya pada Dion, meski Dion tak pernah menunjukkan ketertarikan yang sama. Tapi pagi itu, ada perasaan tak nyaman yang menyelimuti Clara.
Clara melambatkan langkahnya, memperhatikan dari kejauhan. Lara tampak berbicara dengan Dion, dan meskipun Clara tidak bisa mendengar percakapan mereka, ekspresi Dion yang datar sudah cukup baginya untuk tahu bahwa Lara sedang berusaha lagi.
Di saat Clara ingin melangkah lebih dekat, suara Nisa, sahabatnya, terdengar dari belakang. “Hei, Clara! Kamu baik-baik saja? Kenapa berhenti di sini?”
Clara tersenyum canggung, mencoba mengalihkan perhatiannya dari pemandangan yang membuatnya gelisah. “Aku baik-baik saja. Hanya… melihat sesuatu.”
Nisa mengerutkan kening, lalu mengikuti arah pandangan Clara ke lapangan. “Oh, dia lagi. Lara pasti tidak akan menyerah begitu saja, ya?”
Clara menghela napas, merasa canggung dengan perasaan cemburu yang mulai merayap di hatinya. “Ya, mungkin.”
Mereka berdua mulai berjalan ke arah kelas, tetapi Clara tidak bisa mengabaikan perasaan tak nyaman yang menumpuk di dadanya. Sepanjang pagi, pikirannya terus melayang pada Lara yang mendekati Dion. Meskipun Clara tahu Dion tidak tertarik pada Lara, dia tetap merasa ada ancaman yang nyata.
---
Saat jam istirahat tiba, Clara mendapati dirinya berada di kantin bersama Nisa. Meskipun dia berusaha terlibat dalam percakapan yang biasa dengan sahabatnya, pikirannya terus melayang pada Dion. Tiba-tiba, pintu kantin terbuka lebar dan Lara masuk dengan penuh percaya diri. Matanya langsung tertuju pada Clara, dan dengan langkah tegas, dia menghampiri.
“Hai, Clara,” Lara memulai dengan nada ceria yang palsu. “Aku dengar kamu sering habiskan waktu dengan Dion akhir-akhir ini.”
Clara, yang terkejut dengan pendekatan tiba-tiba itu, berusaha untuk tetap tenang. “Ya, kami sering berlatih basket bersama,” jawabnya singkat, tidak ingin memperpanjang pembicaraan.
Lara tersenyum kecil, tetapi matanya memancarkan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak bersahabat. “Oh, basket ya? Tentu saja kamu mau lebih dekat dengannya, kan?” Lara berkata sambil memiringkan kepalanya, seakan sedang menantang.
Clara merasakan detak jantungnya meningkat, tetapi dia menolak untuk terprovokasi. “Kami hanya teman. Tidak ada yang lebih dari itu.”
Namun, Lara tidak tampak puas dengan jawaban Clara. “Yakin? Karena aku rasa, Dion mungkin butuh lebih dari sekadar teman. Meskipun aku baru di sini, aku tahu tipe orang seperti Dion. Dan aku yakin, aku adalah orang yang tepat untuknya.”
Nisa, yang duduk di sebelah Clara, segera menyela. “Lara, kalau kamu cuma mau cari gara-gara, lebih baik kamu pergi. Clara tidak perlu dengar omong kosongmu.”
Lara mengabaikan Nisa, tetap fokus pada Clara. “Aku hanya mau memastikan kamu tahu, Clara. Dion itu bukan tipe orang yang mudah terbuka dengan siapa saja. Jadi, kalau kamu berpikir kamu punya kesempatan dengannya, lebih baik pikirkan lagi. Meskipun aku baru mengenal Dion, aku yakin aku bisa lebih cocok dengannya. Jangan terlalu berharap.”
Clara menatap Lara dengan cermat, mencoba menahan amarah yang mulai muncul di dalam dirinya. “Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan, tapi Dion berhak memutuskan sendiri apa yang dia inginkan,” jawab Clara dengan suara rendah namun tegas.
Lara terkekeh pelan, lalu membungkuk sedikit, mendekat ke arah Clara. “Kalau begitu, anggap ini sebagai peringatan. Aku tidak akan berhenti sampai aku mendapatkan apa yang aku mau. Mulai sekarang, kita dalam perang, Clara. Lihat saja siapa yang akan memenangkan hati Dion.”
Dengan kata-kata itu, Lara berbalik dan berjalan keluar dari kantin, meninggalkan Clara dan Nisa yang terdiam.
Nisa menatap Clara dengan khawatir. “Kamu baik-baik saja?”
Clara menghela napas, mencoba meredakan ketegangan yang terasa di dadanya. “Aku tidak percaya dia benar-benar serius mengatakan itu.”
Nisa menggenggam tangan Clara, memberi dukungan. “Jangan pedulikan dia. Dion bukan tipe orang yang mudah dipengaruhi oleh orang seperti Lara. Kamu sudah lebih dekat dengannya daripada siapa pun.”
Namun, dalam hati, Clara tahu bahwa Lara tidak akan berhenti begitu saja. Perasaan cemburu dan kekhawatiran mulai merayap lebih dalam, meskipun dia berusaha menepisnya.
---
Sementara itu, di sisi lain sekolah, Dion duduk di bangku taman sendirian. Sejak pagi, pikirannya penuh dengan kebingungan. Lara yang terus mendekatinya membuatnya semakin jengah. Bukan hanya karena Lara selalu berusaha menarik perhatiannya dengan cara yang berlebihan, tetapi juga karena Clara—sosok yang tanpa sadar mulai mendominasi pikirannya.
Dion tahu, sejak lama, bahwa banyak gadis menyukainya, tetapi Lara adalah yang paling berani mendekati secara langsung. Bagi Dion, perasaan Lara tidak pernah menjadi sesuatu yang serius. Mungkin karena sejak kecil, Dion terbiasa menjaga jarak dengan siapa pun di luar lingkaran kecilnya. Kehangatan yang dia peroleh dari keluarganya dan persahabatan dengan Reza, Fariz, dan Aldi membuatnya merasa cukup. Itulah alasan dia tampak dingin di mata kebanyakan orang, termasuk Lara.
Namun, Clara berbeda. Meskipun dia tidak tahu sejak kapan, kehadiran Clara perlahan-lahan mulai meruntuhkan dinding yang dia bangun selama ini. Di balik canda tawa yang dia tunjukkan dengan teman-temannya, Dion merasa ada koneksi yang tak bisa dia abaikan dengan Clara. Setiap kali dia melihat Clara tertawa atau bersemangat saat bermain basket, dia merasakan sesuatu yang hangat—sesuatu yang sudah lama tidak dia rasakan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang mendekat membuyarkan pikirannya. Lara muncul, lagi. Dengan senyuman manis yang tak pernah lepas dari wajahnya, dia duduk di samping Dion tanpa diminta.
“Dion, apa kamu punya waktu sebentar?” tanyanya dengan suara manis yang biasa dia gunakan untuk menarik perhatian.
Dion mendesah pelan. “Ada apa, Lara?”
Lara menyandarkan tubuhnya ke bangku, menatap Dion dengan mata berbinar. “Aku cuma ingin bilang… aku tahu kamu orang yang pendiam, tapi aku benar-benar peduli padamu. Aku yakin kita bisa lebih dekat kalau kamu mau memberiku kesempatan.”
Dion menatapnya, mencoba memahami maksud sebenarnya dari kata-kata itu. “Lara, aku tidak tertarik pada hubungan seperti itu,” jawabnya langsung, tanpa basa-basi.
Lara tidak menyerah. “Mungkin kamu merasa begitu sekarang, tapi suatu saat kamu akan menyadari siapa yang selalu ada untukmu. Aku mungkin baru di sini, tapi aku yakin aku bisa menjadi orang yang selalu kamu butuhkan.”
Namun, Dion tidak memberikan respon yang diinginkan Lara. Dia hanya bangkit dari bangku dan berkata, “Maaf, Lara. Aku harus pergi.”
Lara menatap punggung Dion yang menjauh, dan dalam hatinya, tekadnya semakin kuat. Ini belum selesai. Dengan Clara sebagai musuhnya, dia siap melakukan apa pun untuk memenangkan hati Dion.
Dalam pikirannya, Lara sudah menyusun rencana. Mulai sekarang, dia akan memastikan bahwa Clara tahu siapa yang sebenarnya pantas untuk Dion. Pertarungan baru saja dimulai, dan Lara tidak akan membiarkan Clara menang dengan mudah. Perang ini baru dimulai.
To be continued...