Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 : Bibir yang dingin
Liana sedang duduk dengan kursi rodanya di pinggir jembatan kayu. Jembatan yang membentang dengan ujungnya berakhir di lautan tepi. Kaki-kaki jembatan itu disapu ombak-ombak kecil pagi hari.
Memandang luasnya lautan dan pasir putih yang indah membuat suasana hati Liana membaik. Dia jarang sekali mau diajak liburan bersama anak-anaknya seperti ini. Dia selalu khawatir pada suaminya dan takut merepotkan anak-anaknya. Himawan tidak ikut bersama mereka bertiga karena ada kunjungan dinas ke luar pulau.
Rambut sebahu Liana yang mulai memutih dibiarkan tergerai separuh. Laut mengingatkannya pada banyak hal. Tentang petualangan bawah laut dan penemuan-penemuan menakjubkan di pulau-pulau terpencil.
Liana ingin sekali menjalankan kursi rodanya menyeberangi jembatan, tapi dia ragu karena takut rodanya akan nyangkut di celah-celah kayu.
"Ibu mau ke sana?"
Tanya seorang perempuan yang muncul di samping Liana. Dia menoleh ke pemilik suara itu. Mata Liana seolah bertemu dengan kawan lama ketika memandang perempuan itu, apalagi ketika kedua mata mereka bertemu. Kenapa serasa tidak asing?
"Saya bisa bantu kalau ibu mau ke jembatan itu."
"Tidak. Tidak perlu. Terima kasih."
"Baiklah."
Perempuan itu tersenyum lalu pergi meninggalkannya. Liana tak henti memandangi setiap gerak-gerik perempuan itu. Rupanya dia sedang berkemah di pinggir pantai.
"Ibu...!"
Saka berlari kecil menyusul ibunya yang sedang setengah melamun.
"Ibu kalau mau pergi jalan-jalan bilang dulu ke Saka atau Devin dong."
"Maaf, anakku. Cuma deket sini kok."
"Ibu ngapain berhenti di sini? Mau ke jembatan itu?"
Liana mengangguk kecil tapi dengan cepat menggeleng. "Susah, nanti rodanya nyangkut."
"Saka gendong."
Liana tertawa sambil mengibaskan tangannya. Dia merasa malu kalau sampai digendong-gendong anaknya sendiri. Saka jongkok di depan ibunya, menyediakan punggungnya untuk dinaiki.
"Berat, Saka."
"Saka tahu berat badan ibu berapa. Masih kuat. Ayolah. Kita nggak tahu kapan bisa ke sini lagi. Saka tahu ibu suka sekali sama pantai, kan?"
"Kamu gimana? Bukannya kamu takut sama lautan?"
Saka tertawa. "Iya, asal nggak berada di tengah-tengah nggak papa."
"Baiklah. Siap-siap ya."
Liana menggapai bahu Saka dan dengan entengnya Saka mengangkat badan ibunya ke punggungnya.
"Sepertinya ibu kurusan lagi. Ibu harus banyakin makan lagi."
"Kalau ibu jadi gendut, kamu nggak akan bisa gendong ibu kayak gini."
Saka tertawa. Dia berjalan meniti jembatan kayu dengan perlahan. Ada sedikit rasa takut ketika melihat bentangan air yang luas dan banyak itu. Tapi laut di sini beda, ombaknya tenang dan anginnya tidak seganas itu. Keindahannya mampu mereduksi rasa takut Saka.
"Kamu ke sini aja kalau nggak dipaksa Devin nggak mau. Ibu merasa bersalah sama kamu, Saka."
Saka mendudukkan ibunya di pinggir jembatan. Bersandar pada tiang kayu kaki jembatan yang besar. Dia ikut duduk di sebelahnya.
"Ibu nikmati aja kehidupan di depan. Yang di belakang nggak usah diingat-ingat lagi. Lagipula itu bukan salah ibu."
Liana mengelus punggung anaknya sambil tersenyum.
Sementara itu Ara masih sibuk membangunkan Mahesa yang dari tadi masih meringkuk di dalam tenda.
"Mau sampai kapan kamu bergelung di situ? Keluarlah, mataharinya belum terik banget kok. Kamu nggak mau ngicip sarapan di restoran itu?"
"Hnng..." hanya gumaman yang keluar dari mulut Mahesa.
Ara merengut kemudian meninggalkan Mahesa yang masih enggan keluar dari dalam tenda. Angin pagi memang masih dingin, Mahesa hanya belum terbiasa bangun pagi seperti Ara.
Ara meraih sendal jepitnya kemudian berjalan santai menuju jembatan. Melihat kursi roda yang tadi dia lihat itu kosong, Ara penasaran ke manakah ibu yang tadi duduk di sana.
Ara memang ingin duduk di paling ujung jembatan itu, sekalian melihat apakah ibu yang tadi juga duduk di sana? Ara seperti melihat dua sosok sedang duduk di pinggir jembatan.
Apakah ibu itu bersama anaknya? Jadi, anaknya yang membawanya ke sini? Gimana caranya? Digendong? Dituntun? Baik sekali anak itu.
Ara melangkahkan kaki dengan ringan di atas jembatan. Semakin dekat dengan kedua orang itu, Ara semakin melihat jelas siapa yang sedang berada di sana. Jantungnya berdegup kencang ketika orang itu tanpa sengaja menolehnya.
Ara buru-buru membalikkan badan. Demi apapun, kenapa Tuhan masih saja meletakkan Saka di sana?! Ara sudah lari sejauh mungkin sampai ke pinggir pulau, tapi kenapa lagi-lagi dia harus bertatap muka dengan ORANG ITU?!
Ara mencoba kabur dengan mempercepat langkahnya, namun ternyata di depannya tiba-tiba saja Devin sudah menghadang sambil bergaya ala Genji Crows Zero.
"Mau ke mana, Capar?"
Mata Ara melotot untuk kedua kalinya. Kenapa kakak beradik ini bisa-bisanya berada di sini?!
"Kamu salah orang, aku bukan Casper."
Ara mencoba berjalan ke kiri, Devin ke kiri. Ara ke kanan, Devin ke kanan.
"Kamu Capar. Calon Kakak Ipar." kata Devin tanpa memundurkan langkahnya. Dia malah semakin maju seolah mendesak Ara untuk mundur dan lebih dekat dengan Saka. "What a small world, huh? Bisa-bisanya kamu juga berada di sini. Ini bukan kebetulan, Tuhan pasti sudah mendengar doaku."
"Tolong minggir, kamu menghalangi jalan."
"Oh, tidak. Justru saya sedang membukakan jalan untuk Anda."
Devin semakin maju sedangkan Ara semakin mundur. Ara hampir saja menghentikan langkahnya dan memasang kuda-kuda untuk menendang Devin kalau tidak terdengar suara byur kecebur.
Devin dan Ara kompak melihat ke arah suara itu. Di sana, Saka sudah tidak ada di sebelah Liana.
"Sakaaa!"
Liana panik memanggil Saka yang kepalanya tak kunjung muncul ke permukaan. Semua orang panik. Ara yang ingat Saka takut dengan air langsung melepas sandalnya lalu terjun ke laut.
Ara mencoba mengangkat badan Saka yang mulai lemas. Baru sebentar jatuh ke air kenapa Saka langsung tak sadarkan diri begini. Batin Ara. Apakah karena ketakutan dan traumanya kambuh lagi?
Ara membawa Saka ke pinggir pantai karena tidak mungkin diangkat ke atas jembatan yang tinggi. Devin menyusul mereka di pinggir pantai. Ara dibantu Devin mengangkat badan Saka ke atas pasir. Walaupun sudah terbiasa berenang, tapi mengangkat orang yang pingsan terasa beberapa kali lebih berat.
Ara mengatur nafas yang mulai ngos-ngosan sambil memperhatikan dada Saka yang tak bergerak naik turun.
"Kenapa dia nggak bernafas?" tanya Devin panik.
"Bantu dia bernafas, Vin!"
"Dengan apa?!"
Ara menunjuk bibir. Devin menggeleng dengan keras.
"Nggak mau! Seumur-umur aku nggak pernah dan nggak akan mau nyium cowok!"
"Dia kakakmu sendiri!" Ara melotot.
"Bahkan kakakku sendiri. You. Doing this. Aku mau nolong ibuku. Aku sampai lupa ibu masih di sana sendirian." Devin berlari kembali ke jembatan menyusul ibunya.
"What?! Hey!! Devin! Kamu ninggalin kakakmu gitu aja?!"
Melihat tidak ada yang beres di sini, Ara terpaksa mendekati Saka dan melakukan tindakan pertolongan pertama. Dia tidak ingin ada yang kehilangan nyawa di depan matanya.
Sambil memejamkan mata, Ara menyiapkan mental dan hatinya agar tidak ikutan panik. Menyelamatkan nyawa orang lebih penting daripada ego diri sendiri.
Ara menekan dada Saka lalu menghirup nafas dalam-dalam. Ini kali kedua bibir mereka bertemu. Bibir yang sama-sama dingin dan menunggu.
Mata Saka terbuka seiring dengan air yang menyembur keluar. Ara buru-buru menjauhkan kepalanya begitu Saka terbatuk-batuk. Ada rasa syukur dan bahagia tidak terkira ketika melihat Saka selamat. Air mata hampir saja jatuh di sudut mata Ara tapi dia masih bisa menahan diri.
Saka bangun, duduk perlahan lalu memandang Ara yang basah kuyup. Matanya sayu dan bibirnya masih bergetar, namun hatinya terasa hangat melihat Ara sedekat ini.
Lengan Saka terulur ke arah Ara seperti meminta perlindungan. Ternyata malah Saka duluan yang sudah terisak seperti anak kecil yang jatuh dan ditinggalkan semua orang.
Ara bingung harus melakukan apa. Belum sempat tangannya menyambut tangan Saka, Saka sudah limbung kembali. Kalau tidak ditahan Ara, kepala Saka mungkin sudah membentur pasir.
"Mas? Mas Saka?!"
Ara berteriak panik melihat kepala Saka yang terkulai dalam rengkuhan lengannya. Segaris darah merah mengalir dari hidung Saka.