"Menikahlah denganku, maka akan kutanggung semua kebutuhanmu!"
Karina Anastasya harus terjebak dengan keputusan pengacara keluarganya, gadis sebatang kara itu adalah pewaris tunggal aset keluarga yang sudah diamanatkan untuknya.
Karina harus menikah terlebih dahulu sebagai syarat agar semua warisannya jatuh kepadanya. Hingga pada suatu malam ia bertemu dengan Raditya Pandu, seorang Bartender sebuah club yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fafafe 3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cobaan Pernikahan
Pagi itu, Karin duduk di meja makan apartemen dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak. Dia sudah menata sarapan dengan rapi, roti panggang yang dibakar sempurna, telur orak-arik dengan campuran keju, dan jus jeruk segar. Semua tersusun rapi dan simetris, sesuai dengan standar tinggi Karin yang selalu menjaga ketertiban dan kerapian. Namun, yang terpenting, ini bukan sekadar sarapan. Ini adalah usaha Karin untuk menarik perhatian Pandu, yang belakangan ini terasa semakin jauh.
Pandu, yang baru keluar dari kamar dengan setelan jas rapi, tampak terburu-buru seperti biasanya. Dia menguap, merapikan dasinya di depan cermin, dan sekilas menatap meja sarapan. "Wah, ini keren banget, Rin," komentarnya singkat sebelum langsung menuju pintu. "Tapi maaf ya, aku gak sempat sarapan hari ini. Ada meeting pagi ini sama klien penting."
Karin berusaha tersenyum, meskipun di dalam hati ada sesuatu yang mengganjal. "Kamu bahkan nggak bisa duduk sebentar? Aku sudah bikin ini khusus buat kamu."
Pandu berhenti sejenak di depan pintu, kemudian berbalik dan memberikan senyuman menenangkan. "Nanti malam aku janji, ya? Kita makan malam bareng. Tapi sekarang benar-benar harus cepat. Klien penting, dan... ya, kamu tahu lah, Ibu dan Ayah bakal marah kalau aku sampai telat."
Karin hanya mengangguk, meski dalam hatinya ada kekesalan yang semakin menguat. Begitu pintu tertutup dan Pandu pergi, Karin mendesah panjang. Belakangan, semua terasa seperti ini—Pandu selalu sibuk, meninggalkannya sendirian dengan semua kesibukannya. Tapi lebih dari itu, ada hal lain yang mengganggu Karin.
Setiap kali Pandu pulang dari kantor, ada nama baru yang disebutkan. "Oh, tadi aku meeting sama Mbak Sari. Dia anaknya kocak banget!" atau "Kamu tahu Mbak Vina? Dia salah satu klien keluarga kita, orangnya seru, deh." Setiap cerita yang disampaikan Pandu selalu diselingi dengan nama wanita-wanita yang terdengar begitu akrab dan... entah kenapa, itu membuat Karin tidak nyaman.
Hari itu, di kantor, Karin mencoba mengabaikan perasaannya yang mengganggu. Namun, pesan dari Pandu yang datang saat dia sedang menatap layar komputer justru memperburuk mood-nya.
"Tadi abis meeting sama Mbak Dina, Rin. Hebat banget dia! Gak cuma cantik, tapi juga super smart. Kayaknya Ibu suka banget sama dia."
Karin merasakan panas menjalar di wajahnya. "Mbak Dina?" gumamnya, mengernyit. Siapa lagi ini? Dia mencoba tetap tenang dan menepis kecemburuan yang mulai muncul, tapi dalam hati, Karin tahu dia merasa terintimidasi. Tanpa sadar, tangan Karin mengepal di atas meja. "Cantik? Smart?" ulangnya dalam hati, semakin kesal.
Pandu pulang lebih malam dari biasanya. Ketika dia masuk ke apartemen, Karin duduk di sofa sambil menonton televisi, meskipun matanya jelas-jelas tidak fokus pada layar.
"Eh, kamu belum tidur?" Pandu bertanya dengan senyum ceria.
Karin hanya mengangkat bahu. "Belum. Nungguin kamu." Nada suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya.
Pandu tidak menangkap perubahan itu. "Oh ya, tadi meetingnya seru banget. Mbak Dina itu memang pintar banget, deh. Kita ngebahas peluang bisnis baru, dan dia beneran insightful!" Pandu berjalan ke dapur, membuka lemari es, dan menuangkan segelas air minum tanpa memperhatikan ekspresi Karin yang mulai semakin kecut.
Karin memutuskan untuk tidak langsung menanggapi. Namun, saat Pandu duduk di sebelahnya dengan santai, tangannya langsung terangkat dan menekan tombol remote untuk mematikan televisi. Pandu menoleh, bingung. "Eh, kok dimatikan?"
Karin menatapnya dengan tatapan tajam. "Pandu, aku penasaran... seberapa sering sih kamu meeting sama perempuan? Dina, Sari, Vina... sepertinya semua klienmu wanita, ya?"
Pandu tersenyum geli, tampak tidak menyadari bahwa situasi ini serius bagi Karin. "Loh, kok nanya gitu? Ya kebetulan aja mereka perempuan. Lagi pula, mereka itu klien, Rin, bukan apa-apa."
Karin memalingkan wajahnya, enggan mengakui perasaan yang menghantuinya sejak beberapa hari terakhir. "Aku cuma heran aja, kamu lebih sering ngomongin mereka daripada... ya, daripada ngomongin aku atau kita."
Pandu tertawa pelan, tidak menyangka Karin akan cemburu. "Wah, Karin cemburu nih?" godanya, menyenggol lengan Karin dengan sikut.
Karin menatapnya tajam. "Aku nggak cemburu! Kenapa juga aku harus cemburu sama mereka?" Karin cepat-cepat menolak, meskipun jelas terlihat wajahnya memerah. Dia kemudian menambah dengan nada defensif, "Aku cuma... ya, aku merasa kamu lebih sibuk dengan mereka daripada dengan urusan kita. Itu aja."
Pandu tertawa lebih keras. "Karin, ayolah! Aku nggak nyangka kamu bisa cemburu kayak gini. Aduh, lucu banget kamu kalau lagi begini."
"Berhenti tertawa, Pandu!" Karin berseru kesal, suaranya meninggi. "Aku serius!"
Pandu masih tidak bisa berhenti tertawa. Dia kemudian mendekatkan wajahnya ke arah Karin, suaranya merendah tapi penuh keusilan. "Kamu cemburu sama Mbak Dina ya? Atau Mbak Sari? Hmmm... jangan-jangan kamu takut aku jatuh cinta sama salah satu dari mereka?"
Karin langsung mendengus, memutar matanya. "Aku gak cemburu, Pandu!" tegasnya, meskipun jelas-jelas dia merasa terpojok. "Aku cuma... yah, aku cuma merasa kamu harus lebih fokus sama urusan kita daripada menghabiskan waktu memikirkan mereka."
Pandu akhirnya berhenti tertawa, tapi senyumnya tetap menggoda. "Karin, kamu tuh perfectionist banget, tahu nggak? Semua hal kecil kamu perhatikan. Tapi kalau soal cemburu... wah, ini baru pertama kalinya aku lihat kamu kayak gini. Gimana kalau aku mulai pura-pura deketin mereka, ya? Supaya kamu semakin sering cemburu?"
Karin langsung melemparkan bantal ke arah Pandu. "Berhenti bercanda, Pandu! Serius deh!"
Pandu menangkis bantal itu dengan mudah, masih tersenyum lebar. "Oke, oke. Maaf, maaf," katanya sambil mengangkat tangan seolah menyerah. "Aku cuma bercanda. Tapi, Rin, kalau kamu merasa terganggu, kamu bisa bilang. Aku nggak mau bikin kamu nggak nyaman."
Karin memandang Pandu sebentar, lalu menghela napas panjang. "Aku bukan orang yang suka cemburu. Tapi akhir-akhir ini... ya, entahlah. Aku hanya merasa hubungan kita jadi lebih sulit karena semua ini."
Pandu mengangguk, tatapannya kini lebih serius. "Aku ngerti. Aku juga gak mau kita semakin jauh hanya karena kerjaan. Kalau kamu merasa butuh lebih banyak perhatian, aku akan usahakan untuk lebih hadir buat kamu."
Mendengar janji itu, Karin merasa sedikit lega, meskipun dalam hatinya masih ada kekhawatiran. Namun, melihat kesungguhan di wajah Pandu, dia tahu setidaknya Pandu mau berusaha.
Pandu mendekat, meraih tangan Karin dan mengecupnya lembut. "Maaf kalau aku bikin kamu cemburu. Aku akan lebih hati-hati ke depannya. Lagipula, nggak ada perempuan lain yang bisa bikin aku segugup kamu."
Karin tersenyum, meskipun dengan sedikit mata berputar. "Dasar gombal!"