Keidupan normal Karina gadis 17 tahun yang baru saja putus cinta seketika berubah, Dengan kedatangan Dion yang merupakan artis terkenal, Yang secara tidak terduga datang kedalam kehidupan Karina, Dion yang telah mempunyai kekasih harus terlibat pernikahan yang terpaksa di lakukan dengan Karina, siapakah yang akan Dion pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesakitan
“Lo kenapa?” tanya Karina dengan napas tersengal, matanya membelalak melihat tubuh Dion yang basah kuyup, tergeletak tak berdaya di pinggir sungai.
“Gue kepeleset pas nginjek batu itu,” jawab Dion sambil menunjuk batu licin yang menjadi penyebab jatuhnya. Ia tampak meringis, kesulitan untuk bangun.
Karina mengulurkan tangannya tanpa ragu. “Yaudah, sini, pegang tangan gue.”Namun, di balik tatapan polosnya, Dion menyimpan rencana iseng. Saat Karina mengulurkan tangan, Dion dengan cepat meraih tangan Karina dan menariknya, membuat Karina kehilangan keseimbangan. “Dion!” pekik Karina sebelum tubuhnya terhempas ke dalam air. Baju Karina yang tadinya kering kini basah kuyup, sama seperti Dion.
“Hahaha!” Dion tertawa puas, melihat Karina yang kebingungan dan penuh kemarahan.“Diooon!” seru Karina dengan nada kesal, keluar dari sungai dengan pakaian yang menempel di tubuhnya. Wajahnya merah, entah karena dinginnya air atau amarah yang meluap. Tanpa sepatah kata, ia membalikkan badan, siap meninggalkan Dion sendirian.
“Rin, maafin gue! Tolongin gue dong, pantat gue sakit, gue nggak bisa bangun,” suara Dion terdengar memelas. Ia tahu, satu-satunya harapannya hanya Karina. Karina berhenti sejenak, matanya melirik ke arah Dion yang masih tergeletak di tepi sungai. Dengan berat hati, ia kembali mendekat, lalu membopong Dion, meski tubuh pria itu jauh lebih besar darinya.
Saat Karina membantunya berjalan, Dion diam-diam menatap Karina. Pandangannya tak lepas dari wajah Karina yang mulai memerah. Karina menyadari itu, merasa risih dengan tatapan intens Dion.“Ngapain sih lo ngeliatin gue kayak gitu?” tanya Karina dengan kesal, alisnya bertaut.
“Cantik,” celetuk Dion dengan nada pelan, tapi cukup untuk membuat Karina salah tingkah. “Apaansih lo!” balas Karina sambil menggeliat, mencoba menyingkirkan tangan Dion dari pundaknya. Dengan susah payah, ia mendudukkan Dion di bawah pohon besar yang rindang.“Eeeh, Rin, mau kemana lo?” panggil Dion panik saat melihat Karina mulai berjalan menjauh, meninggalkannya sendiri lagi.
"Jahat banget sih, Rin, ninggalin gue!" Dion berteriak, suaranya serak karena kesakitan. Namun, tak lama kemudian, Karina kembali muncul, kali ini dengan sebuah gerobak. Dion mengerutkan kening, bingung dengan apa yang Karina bawa."Rin, gue tau lo nggak mungkin ninggalin gue," ucap Dion, senyum merekah di wajahnya, merasa lega melihat Karina kembali.
"Cepetan naik ke gerobak," perintah Karina dengan nada datar, tanpa basa-basi."Naik gerobak, Rin?" Dion bertanya ragu, masih tidak percaya.
"Ya lo pikir gue bisa bopong lo sampai rumah? Badan gue tuh lebih kecil dari lo. Udah, cepet naik! Masih untung gue bantuin lo, gue nggak kuat dingin banget!" ujar Karina, suaranya mulai meninggi karena kesal melihat Dion terlalu banyak bicara, sementara dirinya mulai menggigil kedinginan. Akhirnya, Dion menurut. Dia naik ke gerobak, dan Karina mulai menariknya. Di tengah perjalanan yang menurun, Karina mulai kelelahan. Napasnya terengah-engah, keringat bercucuran di dahinya.
“Dion, istirahat dulu deh. Gue capek,” Karina berkata sambil menyeka keringatnya dengan punggung tangan. Mereka berhenti di sebuah gubuk tua yang berada di tengah kebun jagung. Baru saja mereka duduk untuk beristirahat, hujan deras tiba-tiba mengguyur tanpa ampun.“Yah, hujan... mana mau malam lagi,” keluh Karina. Tubuhnya mulai menggigil, bajunya yang masih basah sejak kejadian di sungai membuatnya semakin kedinginan.
Dion melihat Karina menggigil dan rasa bersalah menyergapnya. Ia tahu, semua ini terjadi karena keisengannya tadi. "Rin, lo kedinginan, ya?" tanya Dion penuh penyesalan."Menurut lo?" jawab Karina ketus, masih kesal dengan Dion. Tanpa berkata apa-apa lagi, Dion mendekat dan memeluk tubuh Karina. Karina tersentak kaget, tak menyangka Dion tiba-tiba memeluknya.
“Mau ngapain lo peluk-peluk gue?” tegur Karina, mencoba melepaskan diri dari pelukan Dion.
“Dingin, Rin. Nggak apa-apa, gini aja dulu,” sahut Dion, suaranya lebih lembut. Tubuh mereka berdua memang sama-sama basah dan kedinginan, dan entah bagaimana, pelukan itu terasa sedikit menghangatkan.
Karina akhirnya membiarkan Dion memeluknya. Mereka duduk berdua di gubuk itu, berusaha mencari kehangatan satu sama lain. Hujan masih turun deras di luar, seolah tak memberi mereka pilihan lain.
"Rin, kenapa sih lo cuek banget sama gue? Lo benci banget, ya, sama gue?" tanya Dion tiba-tiba, suara lembutnya terdengar begitu dekat di telinga Karina.
Karina terdiam sejenak. Pertanyaan Dion menusuk, mengingatkannya pada realitas pahit yang selama ini ia coba pendam.
"Lah, emang gue harus gimana?" suara Karina tiba-tiba terdengar tajam, tak lagi bisa menahan emosinya. "Kan lo sendiri yang bilang, pernikahan ini cuma formalitas. Ya gue cuman memerankan peran gue seharusnya. Gue bukan siapa-siapa lo, Dion. Gue cuma orang yang nggak sengaja masuk ke hidup lo gara-gara malam sialan itu."Nada suara Karina meninggi, penuh kepedihan. Malam itu... malam yang mengubah hidupnya selamanya.
Dion terdiam mendengar jawaban Karina, tak bisa membantah. Setiap kata yang diucapkan Karina terasa seperti pukulan telak, karena itu semua benar adanya. Mereka masih saling berpelukan, hanya untuk saling menghangatkan, meskipun hati mereka terasa dingin oleh kenyataan yang menyakitkan.
Tiba-tiba, suara seseorang memanggil nama mereka, "Dioon! Karinaa!" Karina segera tersadar dan merespon, "Ibu! Nenek! Kita di sini!" teriaknya, mencoba memberikan tanda bahwa mereka butuh pertolongan.
“Udah, lepasin gue,” ujar Karina kepada Dion, suaranya tak lagi sedingin sebelumnya. Dion melepaskan pelukannya, dan Karina segera keluar dari gubuk, mencari sumber suara yang memanggilnya. "Nenek, Karina di sini!" Karina melambaikan tangan dengan penuh semangat saat melihat sosok neneknya muncul dari balik hujan. Nenek Karina mendekat dan segera memeluk cucunya erat-erat.
“Kamu bikin panik aja. Kemana Dion?” tanya Nenek Ida, matanya mencari-cari sosok Dion.
“Itu, Nek. Dia di gubuk. Tadi kepeleset di sungai, katanya pantat sama kakinya sakit,” jawab Karina sambil menunjuk ke arah gubuk tempat Dion berada.
"Ya sudah, ayo pulang. Nenek panggil tukang urut buat obatin dia," ucap Nenek Ida. Mereka pun membopong Dion yang masih kesakitan kembali ke rumah.
Sesampainya di rumah, Nenek Ida segera memanggil tukang urut untuk mengobati Dion. Tidak lama kemudian, tukang urut tiba dan mulai mengurut tubuh Dion."Aduh, aduh, sakit, Pak! Pelan-pelan dong," teriak Dion saat tukang urut mulai bekerja pada kakinya.
Dengan suara pelan tapi tegas, tukang urut berkata, “Tahan dulu, ini cuma sebentar.” Namun, ketika terdengar bunyi ‘krek’, Dion kembali menjerit, “AAAAA, sakit, Pak!” Karina yang melihat Dion menahan rasa sakit tidak bisa menahan tawanya. Setelah tukang urut selesai, dia pamit pulang.
“Hahaha, kualat kan lo jailin gue!” Karina tertawa puas, menertawakan Dion yang tengkurap di tempat tidur, masih kesakitan.Tanpa aba-aba, Dion, yang tak tahan dengan ejekan Karina, tiba-tiba menarik tangan Karina yang berdiri di dekatnya. Karina terkejut dan terjatuh, tertarik ke arah Dion yang tersenyum licik meski masih menahan rasa sakit di tubuhnya.
“Aduh, apaan sih lo narik-narik gue?” Karina berusaha menepis tangan Dion, nada suaranya jelas menunjukkan rasa tak nyaman.