Mencintai pria dewasa yang umurnya jauh lebih matang sama sekali tidak terbesit pada diri Rania. Apalagi memikirkannya, semua tidak ada dalam daftar list kriterianya. Namun, semua berubah haluan saat pertemuan demi pertemuan yang cukup menyebalkan menjadikannya candu dan saling mengharapkan.
Rania Isyana mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang sedang menjalani jenjang profesi, terjebak cinta yang rumit dengan dokter pembimbingnya. Rayyan Akfarazel Wirawan.
Perjalanan mereka dimulai dari insiden yang tidak sengaja menimpa mobil mereka berdua, dan berujung tinggal bersama. Hingga suatu hari sebuah kejadian melampaui batas keduanya. Membuat keduanya tersesat, akankah mereka menemukan jalan cintanya untuk pulang? Atau memilih pergi mengakhiri kenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11
Dokter Rayyan memeluk Rania begitu tenang, sedang Rania sendiri memekik seraya berusaha meloloskan diri dari terkaman manusia yang dengan santainya tanpa dosa.
"Dok, Dokter, sadar Dok, saya bukan guling!" Rania bergerak terbatas karena Rayyan mendekapnya tanpa dosa.
"Dokter!!" peliknya gemas sendiri.
"Eh, ya ampun ... kamu kok ada di sini?" ucapnya dengan mata yang baru terbuka.
Rania jelas melongo mendengar ucapan pria itu, bisa-bisanya santai tanpa beban seperti itu. Sementara Rania sendiri berjuang menahan diri karena pria itu menindih tubuhnya.
"Dok, bisa tolong minggirin tubuh kamu, berat Dok, dad@ saya sesak." Bukan hanya dad@, jantung, napas, dan semua tubuhnya menegang seketika, apalagi kulit perut pria itu yang liat menghimpitnya, Rania benar-benar dibuat tak berdaya di pagi buta.
"Sorry Ra, refleks aja, aku kira guling yang aku dekap, eh ternyata malah guling hidup!" jawabnya tersenyum sambil menarik diri. Namun, kedua tangannya masih memenjara dengan telapak tangan sebagai tumpuan di samping kiri dan kanan tubuh Rania. Netranya menyorot begitu lekat.
"Ra!" panggil Rayyan menggoda. Rania jelas membuang muka, pipinya merasa terbakar panas, dan tubuhnya menegang sempurna.
"Minggir Dok, saya harus menyiapkan keperluan Dokter, dan kurang dari empat puluh lima menit, saya harus berangkat karena ada apel bendera yang dilaksanakan Rumah Sakit dan wajib saya ikuti.
Rayyan menarik tangannya, bergeser dan mengambil sikap duduk, meloloskan gadis itu dengan senyuman tipis di wajahnya.
Sementara Rania sendiri langsung bangkit dari ranjang dan melesat ke kamar mandi. Malu sekali yang dirasakan gadis itu.
"Ya ampun ... mimpi apa sih pagi-pagi di peluk perjaka tua!" gumam Rania menggerutu seraya menyiapkan air hangat untuk pria itu.
Rania mengomel seorang diri, pakaian rapihnya nampak lecek dan sedikit berantakan usai mendapatkan serangan tak terduga tadi. Gadis itu keluar dari kamar mandi masih dengan muka keruh.
"Astaghfirullah ... Dokter ngapain sih, hobby banget ngagetin oarang!" Rania kembali di buat spot jantung begitu keluar kamar mandi menemukan pria itu berdiri tepat di ambang pintu.
"Mandi, Ra, jangan ngomel terus!" tegur Rayyan santai.
Calm down Rania! Cuma dua minggu. Lo pasti bisa!
batin Rania menyemangati diri sendiri.
Rania melirik sengit pria tampan yang masih setia menatapnya dengan senyuman memenuhi wajahnya.
"Ra, pakaian aku di ruang ganti, jangan sampai salah jalan ya?" kata pria itu seraya melangkah ke kamar mandi. Seketika Rania mengelus dadanya lega.
Gadis itu melirik bilik sebelah yang tertutup rapat. Deretan pakaian pria itu nampak berjejer rapih di sana. Jas putih kebesaran pria itu Rania ambil lebih dulu, kemudian celana bahan, kemeja berwarna biru muda yang akan menemani hari pria itu.
Rania baru saja merasa lega dan hendak keluar, tetiba Dokter Rayyan masuk hanya dengan handuk yang melilit tubuh bagian bawahnya. Rambutnya yang basah sedikit menetes ke kulitnya, terlihat begitu maskulin menambah aksen kegantengan yang berlipat ganda. Membuat gadis itu salah tingkah sendiri.
"Pakaiannya udah Rania siapin, Dok, saya permisi!" ucapnya berlalu cepat. Lagi-lagi Rayyan hanya tersenyum menanggapi kecanggungannya. Ia merasa sepuluh tahun lebih muda alau setiap hari banyak tersenyum bahagia setiap hari, seakan masalah yang menghimpitnya lenyap sudah tak tersisa. Hidupnya lebih berwarna.
Rania kembali ke kamarnya, merapikan pakaiannya dengan tambahan seragam jas putih khas dokter. Menambahkan make up tipis di wajahnya yang menyempurnakan penampilannya. Hari ini ia akan memulai koas, dan mempunyai julukan keren yaitu dokter muda.
"Ra, sorry aku masuk!" ujar pria itu menghampiri Rania di kamar begitu saja. Untung saja gadis itu sudah berpakaian utuh dan siap sedia.
"Kamu udah rapih?"
"Iya, Dokter ngapain di sini?"
"Tolong ini, Ra, pakaiin ya?" pintanya seraya menyodorkan sebuah dasi. Untuk hari-hari tertentu pria itu akan memakainya.
"Aku?" tunjuk Rania pada wajahnya yang terlihat bingung.
"Iya Ra, ambil gih, pakaian cepet, entar telat ngomel lagi!"
Dengan hati berdebar gadis itu mulai mendekat, karena sedikit tidak sampai perempuan itu berjinjit dan mulai memasangkan pada kerah kemejanya. Jarak mereka sangat dekat, Rania nampak fokus dengan kegiatannya, sementara Rayyan benar-benar terpesona dengan wajah ayu di depannya.
"Udah, Dok."
"Makasih, Ra, sebenarnya pingin sarapan nasi goreng kaya semalam tetapi kayaknya nggak keburu ya, kita sarapan di kantin aja ya." Rayyan meraih sakunya lalu mengembalikan ponsel Rania.
"Ponsel kamu Ra, maaf ya sebenarnya semalam udah mau aku balikin, tetapi kamunya udah tidur, ya udah nginep deh di kamar aku. Hehe."
"Udah nggak ada yang mau dibicarakan lagi 'kan Dok? Permisi saya mau berangkat."
"Ra, bareng aja, kita 'kan satu tujuan."
"Dokter yakin? Nggak malu bareng sama saya?"
"Emangnya kenapa, ada masalah? Kamu keberatan?"
"Bukan itu sih sebenernya, cuma kurang etis saja," ujarnya bingung sendiri.
"Ayo Ra!"
Mereka berdua menuju mobil yang sama, Rania duduk di jok depan samping kemudi sesuai instruksinya.
Gadis itu sudah duduk dengan tenang, tiba-tiba Rayyan mengikis jarak, membuatnya menatap horor penuh waspada.
"