Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketahuan
***
Sudah seminggu sejak adegan ciuman kami minggu lalu itu hubunganku dengan Mas Yaksa biasa saja. Maksudku dia tidak pernah membahas sesuatu yang harus kita lakukan lagi setelah itu, ia bahkan bersikap seolah ciuman itu tidak pernah terjadi dan anehnya itu membuatku sedikit kesal.
"Kenapa sih lo? Gue perhatiin muka lo suntuk bener beberapa hari ini. Ditagih mana calon suami terus ya sama ortu?" Rita menghela napas, "wajar sih, Ge, diumur kita ini memang harusnya udah jadi istri atau bahkan gendong anak terus sibuk ngurus rumah. Bukannya di sini ngurusin pasien bpjs sama dimarahin wali pasien yang nggak sabaran."
Aku meringis saat mendengar keluhan Rita. Aku dan Rita hampir seumuran, hanya saja aku lebih tua darinya, beda beberapa bulan saja. Pernikahanku dengan Mas Yaksa memang belum diketahui banyak orang karena kami belum menggelar resepsi pernikahan. Selain karena itu aku pun merasa belum siap.
Perasaanku jadi tidak enak. Bagaimana ya kalau seandainya Rita tahu kalau sebenarnya aku sudah menikah dan bahkan sudah punya anak dua, ya meski dua anak itu awalnya adalah keponakanku sendiri.
"Nikah sana lo, kayaknya butuh banget ganti status."
Berbeda denganku yang awalnya memang menjomblo, Rita ini punya pacar yang berprofesi sebagai guru tapi belum PNS.
"Mau nikah sama siapa?"
Gerakan tanganku yang tadinya sedang menggeser mouse tiba-tiba terhenti. Aku menoleh ke arah Rita dan menemukan wajah sedih perempuan itu.
Jangan bilang?
"Putus."
What?
"Kenapa?" todongku penasaran.
Mereka berpacaran tidak satu atau dua tahun, tapi hampir sepuluh tahun. Sebuah perjalanan yang tidak sebentar dan itu sangat lama. Tinggal satu langkah lagi mereka harusnya menuju ke jenjang pernikahan, tapi kenapa malah putus.
"Hasan nggak main belakang kan?"
Rita menggeleng. "Enggak lah, Ge, gila aja lo. Hasan pria yang baik. Dia nggak bakalan mungkin begitu."
"Terus kenapa?"
Kedua mata Rita tiba-tiba memerah. "Gue capek, Ge. Gue sama Hasan hampir sepuluh tahun pacaran tapi belum juga dapat kepastian sementara kedua orang tua gue udah semakin tua, mereka juga pengen liat anaknya segera nikah."
Tak tahu harus bereaksi apa, aku kemudian memilih memeluknya. Kebetulan hari ini bangsal sedang lumayan sepi jadi tidak akan banyak orang melihat kami.
"Rit, capek itu wajar. Capek itu perasaan yang valid, tapi coba lo pikirin sekali lagi menurut lo putus adalah keputusan yang tepat?"
Rita sudah melepas pelukanku, dia terlihat sedikit lebih tenang meski sudut matanya masih memerah.
"Gue nggak tahu," akunya jujur.
"Lo masih sayang nggak sama Hasan?"
Tanpa perlu berpikir panjang, Rita langsung mengangguk cepat.
Aku tersenyum. "Kalau gitu baikan ya. Omongin ini sama Hasan sekali ini."
"Tapi gue capek, Ge."
"Rit, lo bakalan lebih capek kalau seandainya harus mengulang semua dari awal. Perkenalan, pendekatan, penyesuaian dan lainnya. Belum lagi hati lo yang masih sayang Hasan. Percaya deh, nanti rasanya bakalan lebih berat, Rit."
"Lo bener."
"Jelas," ucapku percaya diri. Detik berikutnya aku pun tersenyum dan mengusap pundaknya, "gue yakin kalau emang Hasan jodoh lo, bakalan ada jalan tengah buat kalian."
Rita mengangguk setuju. "Gue nanti bakalan ngomong sama dia. Thanks ya, Ge. Lo cari pacar deh, Ge, atau langsung cari suami biar ntar kita nikah deketan terus hamil barengan."
"Ntar lah gampang."
"Jangan digampangin terus, Ge, kita itu udah nggak muda lagi. Sayang banget lo yang secantik ini tapi belum nikah. Mau gue kenalin sama sepupu gue nggak? Gue ada sepupu yang ASN nih. Mau? Atau apa? Tipe lo yang gimana? Mau guru juga sama kayak Hasan?"
Aku tertawa. "Enggak, Rit, makasih."
"Lo udah dilamar?"
Aku lalu mengikuti arah pandangannya tertuju pada cincin nikahku dengan Mas Yaksa. Mengingat background keluarganya yang bukan dari keluarga sembarangan, sudah jelas pasti kan kalau cincin kawin kami tidak biasa. Terkesan sederhana dengan permata kecil di tengahnya, tapi tetap saja harganya tidak lah murah karena terdapat inisial namaku dan nama Mas Yaksa di sana.
Meski pernikahan kami sederhana dan cukup mendadak, ternyata almarhumah Kak Runa sudah memiliki persiapan dan bodohnya Mas Yaksa menurut saja. Kalau ingat hal ini aku kesal terhadap keduanya.
"Bukan." Cepat-cepat aku menyembunyikan tanganku karena tidak ingin ketahuan.
Rita tidak terlihat puas, ia ingin memprotes tapi terpaksa harus ia urungkan karena ada seorang tamu yang sedang mencari keberadaan pasien.
"Ada yang bisa kami bantu, Bu?"
"Saya mau cari pasien."
"Atas nama siapa?"
"Jani. Anjani Thalia."
Aku mengangguk lalu mulai mencari nama yang disebutkan ibu tadi melalui data komputer. Setelah menemuka yang aku cari, pandanganku kembali beralih ke ibu tadi.
"Atas nama Anjani Thalia ada di ruang anggrek dua ya, Bu."
Si ibu mengangguk seraya mengulas senyum manisnya. "Baik, terima kasih, Mbak."
"Sama-sama Ibu."
Sepeninggal ibu-ibu tadi yang hendak menjenguk entah siapanya, Rita kemudian menyenggol lenganku dengan kedua mata penuh selidik.
"Lo utang cerita sama gue, Ge. Gue kalau ada apa-apa sama Hasan selalu cerita loh, kenapa sekarang lo sembunyiin sesuatu dari gue?"
Aku menghela napas panjang. "Panjang ceritanya, Rit, nggak akan bisa kalau gue cerita sekarang. Terlalu ribet. Nanti bikin kita nggak konsen kerja."
Rita manggut-manggut paham. "Oke, tapi nanti balik lo harus cerita."
Aku menggeleng sambil menunjukkan ekspresi bersalahku. Mengingat ada Alin dan Javas yang menunggu di rumah, jelas bukan keputusan mudah untukku memutuskan pulang terlambat.
"Mau pake alasan apa lagi lo?"
"Gue nggak bisa pulang telat, Rit, kalau bisa harus pulang cepet."
"Kasih gue alasan yang masuk akal biar gue nggak nodong cerita ke lo."
"Gue harus bantuin Mas Yaksa untuk jagain Alin dan Javas." Aku menatap Rita ragu-ragu sebelum kembali melanjutkan kalimatku, "lo tahu sendiri kan gimana kondisinya?"
Ekspresi menuntut milik Rita kini berganti dengan ekspresi bersalahnya. Ia bahkan segera mendekat ke arahku dan mengusap lenganku.
"Ge, sorry, gue nggak tau. Gue pikir ponakan lo sepenuhnya diurus kakak ipar lo dan keluarganya mengingat background keluarganya."
Sekali lagi aku meringis, kali ini bingung harus bereaksi bagaimana. Aku benar-benar bingung harus memberi reaksi dan jawaban bagaimana. Mengingat kondisiku yang kini sudah sah jadi istri Mas Yaksa ya sudah jelas pasti aku ikut ngurusin. Tapi masalahnya Rita tidak tahu fakta ini karena aku memilih untuk merahasiakannya.
"Permisi, Mbak!"
Aku langsung berdiri dan menegang saat menemukan siapa yang sedang berdiri di hadapanku.
Mampus lah aku!
"Geya?"
Mimpi apa aku semalam? Kenapa aku merasa hari ini sial banget?
To be continue,
author nya dah pintar nih......... ☺