Menceritakan perkembangan zaman teknologi cangih yang memberikan dampak negatif dan positif. Teknologi Ai yang seiring berjalannya waktu mengendalikan manusia, ini membuat se isi kota gelisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RAIDA_AI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal dari perang
Langit Neo-Jakarta mulai dipenuhi cahaya biru yang berpendar dari drone raksasa baru itu. Drone itu tak seperti yang pernah mereka hadapi sebelumnya. Lebih besar, lebih kuat, dan pastinya lebih cerdas. Kai, Renata, dan Arka berdiri terpaku, tatapan mereka terfokus pada makhluk besi yang melayang di atas mereka. Drone itu seakan menandakan satu hal: Atlas tahu siapa musuhnya, dan dia tidak akan tinggal diam.
“Kita harus pergi dari sini sekarang!” teriak Renata sambil menarik lengan Kai, mengingatkan bahwa mereka tidak punya waktu untuk terjebak dalam keterkejutan.
Kai menoleh sekilas ke arah drone itu sebelum akhirnya mengangguk cepat. "Ya, bener. Kita cabut dulu, drone itu pasti lagi mantau gerak-gerik kita."
Mereka bertiga berlari di antara lorong-lorong sempit Neo-Jakarta, berusaha bersembunyi dari jangkauan pengawasan drone raksasa yang terus melayang-layang di langit. Setiap sudut kota kini terasa seperti jebakan, penuh dengan mata-mata digital Atlas yang tak pernah tidur.
"Lu udah pernah liat yang kayak gitu, Na?" tanya Arka di sela-sela napasnya yang mulai terengah-engah, keringat membasahi dahinya. “Gue kira tadi cuma drone biasa, tapi itu... gila.”
Renata berlari sambil memandang ke belakang sesekali, memastikan mereka tidak diikuti. "Belum pernah. Itu bukan sekadar drone patroli, Ark. Atlas udah mulai ngembangin AI yang lebih otonom. Mungkin buat nangkep kita. Mereka bakal lebih agresif sekarang."
Kai tiba-tiba berhenti, menarik kedua temannya ke gang kecil di belakang gedung tua. Mereka bersembunyi di balik tumpukan kontainer logam, mencoba menenangkan diri dari pengejaran yang tak henti-henti.
"Kita nggak bisa terus-terusan lari," kata Kai, mengatur napasnya. "Cepat atau lambat, mereka bakal nemuin kita."
Arka masih terengah-engah, tapi dia mengangguk. "Jadi sekarang kita gimana? Kita udah bikin Atlas nggak bisa kontrol sebagian besar perangkat di kota ini, tapi nggak berarti kita aman."
Renata menunduk, memeriksa alat hackingnya yang sudah lelah digunakan. "Virusnya berhasil bikin dia kacau, tapi ini cuma sebagian kecil. Seperti yang gue bilang, Atlas nggak bakal tinggal diam. Dia mungkin lagi nyiapin serangan balik lebih besar."
Kai termenung sejenak, mencoba berpikir dengan cepat. "Kita butuh rencana baru. Nyerang Menara Vox emang langkah besar, tapi itu nggak cukup buat ngejatuhin Atlas sepenuhnya. Kita harus ngambil langkah selanjutnya."
Renata mengangguk. "Atlas mungkin lagi nyiapin AI baru buat ngelawan kita. Sistem yang lebih agresif, lebih pintar, dan lebih mandiri. Kita nggak bisa nunggu sampai dia nge-deploy mereka ke seluruh kota."
Kai tiba-tiba tersadar. "Bentar, gimana kalau kita nggak cuma bertahan? Gimana kalau kita nyari sekutu?"
Arka menatap Kai dengan bingung. "Sekutu? Maksud lo siapa? Siapa yang mau ngelawan AI paling canggih di dunia?"
Kai menatap kedua temannya dengan serius. "Masih ada banyak orang di kota ini yang nggak suka dengan apa yang udah dilakuin Atlas. Mereka mungkin takut, tapi kalau kita bisa nyakinin mereka buat gabung sama kita, kita bisa bikin perlawanan yang lebih besar. Kita butuh dukungan kalau mau bikin Atlas bener-bener jatuh."
Renata tampak berpikir. "Itu ide yang nggak buruk. Ada beberapa kelompok underground yang juga punya masalah sama Atlas, tapi mereka nggak punya sumber daya atau keberanian buat ngelawan langsung."
Arka tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Kalau mereka bisa bantu kita, setidaknya kita nggak akan sendirian lagi."
Kai berdiri tegak, semangatnya perlahan kembali. "Kita perlu lebih banyak tangan buat ini. Bukan cuma buat ngelawan Atlas, tapi juga buat ngelindungi diri kita sendiri. Kita udah jadi target sekarang."
Renata menatap Kai. "Gue tau beberapa kontak di bawah tanah, kelompok kecil yang pernah kerja sama dengan gue waktu gue masih ngembangin teknologi hacking. Mereka nggak sebesar Atlas, tapi mereka bisa jadi sekutu yang berguna. Kita bisa mulai dari sana."
Arka menghela napas panjang. "Baiklah, jadi kita mulai nyari dukungan. Ini bakal panjang."
Mereka akhirnya memutuskan untuk bergerak ke arah distrik bawah tanah, tempat di mana kelompok-kelompok yang menentang Atlas berkumpul. Mereka tahu risiko semakin besar, tetapi ini adalah satu-satunya cara untuk menyeimbangkan kekuatan.
---
Di bawah permukaan kota, distrik bawah tanah Neo-Jakarta adalah dunia yang berbeda. Ini adalah tempat bagi mereka yang tak terdaftar di sistem Atlas—mereka yang memilih hidup di luar pengawasan dan kontrol teknologi. Cahaya neon samar menyinari jalanan sempit yang penuh dengan graffiti dan kios-kios ilegal yang menjual barang-barang yang dilarang di atas permukaan. Tempat ini dipenuhi oleh orang-orang yang pernah mencoba melawan sistem, tetapi kebanyakan dari mereka sudah menyerah, memilih untuk bertahan hidup di pinggiran peradaban.
Renata, yang paling mengenal tempat ini, memimpin jalan. "Mereka biasanya kumpul di sini. Gue cuma harap mereka masih mau ngobrol sama kita."
Kai dan Arka berjalan di belakang, waspada terhadap lingkungan sekitar. Tempat ini penuh dengan individu yang tidak bisa dipercaya, dan siapa pun bisa jadi mata-mata Atlas.
Ketika mereka tiba di sebuah bar tersembunyi di ujung lorong gelap, Renata memberi isyarat pada Kai dan Arka untuk berhenti. "Di sini tempatnya. Gue bakal coba ngomong dulu sama mereka."
Di dalam, suasana bar itu suram. Meja-meja dipenuhi orang-orang dengan wajah keras, beberapa dari mereka tampak seperti mantan tentara atau pelarian. Renata mendekati seorang pria besar dengan wajah penuh luka bekas baku hantam.
"Hei, Leon," sapa Renata, mencoba memasang senyum ramah. "Gue butuh bantuan lu."
Pria itu, Leon, mengangkat alisnya dan menatap Renata dengan dingin. "Bantuan? Gue kira lu udah lama ninggalin tempat ini, Na. Apa yang bikin lu balik?"
"Ini penting, Leon. Gue sama temen-temen gue lagi ngelawan Atlas. Kita udah mulai ngacak-ngacak sistemnya, tapi kita butuh dukungan lebih."
Leon tertawa kecil, tetapi suaranya penuh kepahitan. "Atlas? Seriusan lu? Udah berapa banyak yang nyoba jatuhin Atlas dan gagal? Apa yang bikin lu pikir lu bisa beda?"
Renata menatap Leon dengan tegas. "Karena kita nggak nyerah. Dan kita udah berhasil bikin kerusakan di Menara Vox. Atlas sekarang lagi goyah, dan kalau kita gabungin kekuatan, kita bisa bikin dia jatuh beneran."
Leon terdiam sejenak, menatap Renata dengan ragu. "Menara Vox, ya? Gue denger ada yang nyerang tempat itu, tapi gue nggak nyangka itu lu. Lu tau kan, ini bisa ngancurin kita semua kalau gagal."
Renata mengangguk. "Gue tau risikonya, Leon. Tapi kita udah nggak punya pilihan lain. Kalau kita nggak bertindak sekarang, Atlas bakal terus ngontrol hidup kita."
Leon terdiam lagi, matanya memperhatikan Renata dengan seksama. Akhirnya, dia menghela napas panjang. "Oke, gue akan ngomong sama orang-orang gue. Tapi inget, kalau lu bawa masalah ke tempat ini, lu juga yang tanggung jawab."
Renata tersenyum lega. "Terima kasih, Leon."
Saat mereka keluar dari bar itu, Kai menatap Renata dengan kagum. "Lu beneran bisa bikin orang kayak Leon dengerin lu?"
Renata mengangkat bahu. "Dia bukan orang yang gampang dipengaruhi, tapi dia juga tahu kalau ini kesempatan besar."
Arka tersenyum kecil. "Oke, kita udah punya satu dukungan. Sekarang tinggal nyari yang lain."
Kai menatap langit di atas mereka, seolah bisa merasakan kehadiran Atlas di balik setiap jengkal kota. "Ini baru awal dari perang besar."
Mereka tahu, semakin banyak mereka bergerak, semakin besar bahaya yang mengintai. Tapi mereka sudah bertekad—perlawanan melawan Atlas tidak akan berhenti di sini. Perang baru saja dimulai, dan mereka siap menghadapi apa pun yang datang.