Di usianya ke 32 tahun, Bagaskara baru merasakan jatuh cita untuk pertama kalinya dengan seorang gadis yang tak sengaja di temuinya didalam kereta.
Koper yang tertukar merupakan salah satu musibah yang membuat hubungan keduanya menjadi dekat.
Dukungan penuh keluarga dan orang terdekat membuat langkah Bagaskara untuk mengapai cinta pertamanya menjadi lebih mudah.
Permasalahan demi permasalahan yang muncul akibat kecemburuan para wanita yang tak rela Bagaskara dimiliki oleh wanita lain justru membuat hubungan cintanya semakin berkembang hingga satu kebenaran mengenai sosok keluarga yang selama ini disembunyikan oleh kekasihnya menjadi ancaman.
Keluarga sang kekasih sangat membenci seorang tentara, khususnya polisi sementara fakta yang ada kakek Bagaskara adalah pensiunan jenderal dan dirinya sendiri adalah seorang polisi.
Mampukah Bagaskara bertahan dalam badai cinta yang menerpanya dan mendapatkan restu...
Rasa nano-nano dalam cinta pertama tersaji dalam cerita ini.
HAPPY READING.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julieta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SOLUSI
Sesuai perjanjian, selepas sholat Maghrib, Bagaskara keluar asrama untuk bertemu dengan Ridwan dengan harapan temannya tersebut bisa membantu mengobati sang mami yang entah sakit apa karena dokter tak bisa mendiagnosa penyakitnya.
Setelah memarkirkan motor besar miliknya, Bagaskara masuk kedalam café yang tak terlalu ramai karena memang biasanya café tersebut baru ramai menjelang malam hari selepas isya.
Bagaskara mengedarkan pandangannya ke ujung ruangan yang ingin dia jadikan tempat pertemuan dengan sahabat SMA nya itu.
Posisi yang cukup dan sepi sehingga cocok dijadikan tempat untuk mendiskusikan masalah yang akan dia sampaikan nanti.
Bagaskara memesan minuman sambil menunggu Ridwan dan istrinya datang sambil sesekali mengecek ponselnya.
Setelah menunggu selama lima menit, Bagaskara melihat sesosok lelaki masuk kedalam café bersama seorang wanita memakai jilbab besar menjuntai dan bercadar serta seorang bocah lelaki berusia tiga tahun didalam gendongannya.
Bagaskara pun segera melambaikan tangannya kepada Ridwan yang langsung berjalan cepat menuju kearahnya.
Keduanya berjabat tangan khas lelaki dan berpelukan sambil tertawa ringan seperti kedua sahabat yang sudah sangat lama tak bertemu.
“Gas, kenalkan ini Salwa istriku dan Ilham anakku”, ujar Ridwan memperkenalkan istri dan anaknya yang dibalas anggukan dan kedua tangan yang Bagaskara tangkupkan didada sebagai ganti jabat tangan.
“Ayo duduk. Kita makan-makan dulu ya sebelum lanjut ngobrolnya”, ujar Bagaskara yang langsung memanggil waitress untuk memesan.
Salwa menatap tajam Bagaskara sejenak sebelum dia memalingkan wajah dengan kening berkerut.
Setelah makanan datang, semua orang menikmati hidangan dalam diam karena memang sejak dulu Ridwan jika sedang makan tak akan bersuara.
Sama seperti ajaran yang diterapkan keluarga Purnomo, jika dimeja makan maka fokus mereka pada hidangan yang tersaji, bukan yang lain.
Bagaskara yang beberapa kali menangkap basah istri Ridwan yang diam-diam menatapnya tajam merasa aneh.
Tatapan yang diberikan Salwa bukan tatapan suka atau terpesona akan ketampanannya seperti tatapan wanita lain diluar sana, namun seperti pandangan menyelidik.
Sebagai seorang polisi yang memiliki insting dan penglihatan yang tajam, Bagaskara tentu merasa curiga meski dia tak tahu apa yang membuat istri Ridwan itu penasaran terhadapnya.
Setelah makanan diatas meja telah habis, Bagaskara yang tak ingin membuang banyak waktu Ridwan pun mulai menceritakan semuanya.
Menceritakan semua hal yang terjadi pada maminya selama satu minggu ini secara jujur tanpa ada satupun yang ditutup-tutupi.
“Itu penyakit kiriman”, tiba-tiba Salwa membuka suara.
Bagaskara pun tercenggang atas apa yang diucapkan Salwa dan menatapnya penasaran, menunggu istri Ridwan tersebut menyelesaikan ucapannya.
“Dia ingin melenyapkan seluruh anggota keluargamu karena dianggap telah menganggu rencananya.Sebenarnya target utamanya adalah dirimu. Orang itu menginginkan kamu menjadi miliknya.”, ujar Salwa menjelaskan.
Bagaskara terkejut mendengar penuturan Salwa, Ridwan yang melihat wajah temannya cukup syok berusaha memberi penjelasan yang logis.
“Hal seperti ini memang kadang sulit diterima oleh nalar, terutama oleh kamu yang biasanya bermain menggunakan logika. Istriku ini memiliki indra keenam dimana dia bisa melihat kejadian yang dialami seseorang hanya dengan sekali pandang tanpa menyentuhnya”, ujar Ridwan berusaha menjelaskan keraguan yang mulai muncul diwajah temannya tersebut.
Bagaskara yang hendak bersuara terpaksa menelan kembali pertanyaannya ketika Salwa tiba-tiba mengistrupsinya.
“Jika tak ingin kehilangan seluruh anggota keluargamu kamu harus bertindak cepat. Tiga hari lagi adalah puncaknya. Jika kamu terlambat maka kedua orang tua beserta keluargamu yang lain akan menjadi tumbalnya sebelum dia berhasil mengunci jiwamu agar tetap bersamanya dengan membuatmu menjadi bonekanya ”, Salwa kembali berucap dengan nada penuh kekhawatiran sebelum dia terduduk lemas karena terlalu banyak menggunakan kekuatannya untuk melihat kejadian yang akan menimpa keluarga Bagaskara kedepannya.
“Minum dulu mi...”, ujar Ridwan sambil menyodorkan sebotol air mineral kepada sang istri yang langsung diteguknya hingga tandas.
Bagaskara diam membisu dengan tubuh yang lemas seperti jelly setelah mendengar semua pemaparan Salwa kepadanya.
Malam itu juga, Bagaskara ikut bersama Ridwan dan istri serta anaknya kembali ke Bandung dengan tujuan untuk menyelamatkan mami Gladys yang kini tengah berteriak kesakitan didalam rumah.
Perut dan kepala Gladys seperti ditusuk ribuan jarum, sangat menyakitkan. Keadaan seperti ini akan dimulai menjelang maghrib dan baru akan berhenti menjelang dini hari nanti.
Eyang Surti menangis sesenggukan dalam pelukan opa Sandi melihat anak semata wayangnya kesakitan seperti itu.
Bagaskara yang sudah berada dalam perjalanan merasa tegang karena sang kakak kembali mengiriminya pesan yang membuat hatinya teriris.
Ridwan yang melihat kesedihan Bagaskara dari kaca spion hanya bisa menyuruhnya untuk sabar.
“Istighfar Gas...istighfar....Insyaallah atas kuasanya kita bisa menyembuhkan mamimu”, ucapan Ridwan memberi Bagaskara secercah harapan.
Selama perjalanan tak henti-hentinya dia beristighfar dan berdoa untuk kesembuhan sang mami yang sangat disayanginya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar tujuh jam pada akhirnya menjelang dini hari ketiganya telah sampai di Bandung.
Sebelum menuju rumah Bagaskara. Ridwan pulang dulu untuk melakukan sholat tahajud dan menitipkan sang anak kepada ibu mertuanya karena tak mungkin membawa Ilham bersama mereka karena sangat riskan bocah lelaki kecil itu akan terkena efek serangan ghoib tersebut.
Ketiganya kini telah sampai di kediman Purnomo. Salwa yang baru saja turun dari mobil mengucapkan beberapa doa melihat betapa gelapnya aura yang ada dikediaman Bagaskara.
Baru saja menginjak teras, wajah Salwa memucat dan sambil mengeram kesakitan, seakan ada kekuatan besar yang berusaha untuk menyerangnya.
Ridwan menahan tubuh istrinya dari belakang sementara Bagaskara hanya bisa menatap keduanya dari belakang.
“Minumlah dulu mi...”, Salwa duduk sebentar sambil meminum air doa yang diberikan oleh suaminya.
“Aura rumah ini pekat sekali bi. Kurasa kita harus meminta bantuan abah kesini ”, ujarnya yang langsung direspon oleh Ridwan dengan memanggil ayahnya untuk datang kekediaman Purnomo.
Bagaskara yang tak begitu mengerti hanya mengikuti apa kata temannya itu dan ketiganya pun menunggu kedatangan ayah dari Ridwan bersama adiknya diteras depan rumah.
Setelah sepuluh menit menunggu, dua orang berbaju kokoh datang berboncengan naik motor dan langsung masuk kedalam halaman rumah begitu satpam membuka pintu pagar.
Bagaskara yang memang kenal dengan ayah Ridwan langsung menyambut kedatangan dan mencium tangannya dengan takjim.
“Serahkan semua pada Allah ya nak. Disini abah hanya berusaha untuk membantu”, ujarnya bijak.
Sebelum masuk, paman Ridwan membaca doa secara pelan dan melemparkan garam kasar didepan pintu masuk rumah.
Tak lama, terdengar jeritan dari dalam rumah , membuat kelima orang tersebut masuk dengan cepat.
Semua orang yang masih terjaga dan memang menunggu kedatangan Bagaskara dan temannya hanya terdiam menyaksikkan abah Romlan melakukan ritualnya.
Begitu sampai didalam abah Romlan dan adiknya membaca doa dan ayat-ayat rukiah, lalu menaburkan garam kasar disudut-sudut rumah sambil memercikkan air dari dalam botol besar yang mereka bawa, terutama dikamar utama yang ditinggali mami Gladys.
Duar....
Bunyi ledakan keras terdengar diatas rumah yang disertai dengan bau busuk yang sangat menyengat, membuat semua orang pun berhamburan keluar dari dalam kamar mendekati sumber ledakan.