Aira harus memilih di antara dua pilihan yang sangat berat. Di mana dia harus menikah dengan pria yang menjadi musuhnya, tapi sudah memiliki dirinya seutuhnya saat malam tidak dia sangka itu.
Atau dia harus menunggu sang calon suami yang terbaring koma saat akan menuju tempat pernikahan mereka. Kekasih yang sangat dia cintai, tapi ternyata memiliki masa lalu yang tidak dia sangka. Sang calon suami yang sudah memiliki anak dari hubungan terlarang dengan mantannya dulu.
"Kamu adalah milikku, Aira, kamu mau ataupun tidak mau. Walaupun kamu sangat membenciku, aku akan tetap menjadikan kamu milikku," ucap Addriano Pramana Smith dengan tegas.
Bagaimana kehidupan Aira jika Addriano bisa menjadikan Aira miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Study Tour
Aira tampak bahagia mendapat izin dari kedua orang tuanya dan kedua orang tua Mas Dewa. Hari keberangkatannya pun tiba. Malam itu dia menyiapkan semua barang bawaannya ditemani oleh mamanya.
"Ai, kalau nanti sudah sampai sana kamu jangan lupa untuk langsung menghubungi mama, ya?"
"Pasti, Ma. Aira nanti langsung menghubungi Mama. Ma, Aira juga minta jika nanti ada apa-apa sama Mas Dewa, Mama juga jangan lupa memberitahu Aira. Seburuk apapun beritanya, Mama jangan lupa menghubungi Aira."
"Iya, Sayang." Mereka kembali memasukkan barang-barang bawaan Aira.
"Sudah selesai, Ma." Aira terdiam sejenak. "Nanti aku pasti akan merindukan kalian semua. Aku juga pasti akan merindukan Mas Dewa."
"Pikirkan saja tentang kegiatan kuliah kamu, jangan memikirkan hal lainnya."
"Iya, Ma." Aira menyimpan tas yang akan dia bawa.
"Ya sudah, sekarang kamu tidur dulu saja supaya besok bisa lebih segar untuk berangkat studi tournya." Wanita cantik itu mengecup kening Aira.
Aira berbaring di tempat tidurnya, tapi kedua matanya tidak dapat terpejam sempurna. Aira melihat foto dirinya dan sang kekasih yang saat itu sedang menghadiri acara pesta pernikahan teman Dewa.
"Mas Dewa, aku besok dan dua minggu ke depan tidak dapat menemani mas Dewa di rumah sakit. Aku harap mas Dewa dapat mengerti hal ini.
Keesokan harinya. Aira yang sudah selesai sarapan pagi pamit kepada kedua orang tuanya dan dia semalam juga sudah menghubungi kakaknya untuk berpamitan.
"Hati-hati di jalan. Nanti jangan lupa kalau sudah sampai kamu hubungi mama."
Aira mengangguk dengan cepat. "Aku pasti akan langsung menghubungi Mama. Kalau begitu Aira berangkat dulu ya Ma, Ayah."
Aira menyusul Niana dulu ke rumahnya dan kemudian mereka berangkat ke kampus.
Semua rombongan sudah bersiap akan berangkat. Kenzo tampak mendekat ke arah Niana dan Aira.
"Kalian sudah di sini? Aku kira kalian tidak jadi ikut, apa lagi Aira."
"Kenapa aku?"
"Calon suami kamu, kan, sedang sakit, aku kira kamu tidak mau ikut acara ini."
"Aira harus ikut, Ken. Ini juga penting untuk pendidikan Aira, apa lagi acara ini juga pengaruh nilai kita."
"Aku senang kamu ikut, Ai. Kamu tidak boleh larut dalam keterpurukan dan kesedihan. Aku yakin, jika calon suami kamu juga tidak bakal senang jika melihat kamu terus bersedih."
"Iya, Ken. Bagaimanapun juga aku harus lulus dengan nilai terbaik, kelak pendidikanku juga bakal menjadi ilmu yang aku ajarkan buat anakku."
"Kita berangkat sekarang!" seru! Niana senang.
Di dalam bus Aira yang duduk dengan Niana hanya terdiam melihat ke arah jalanan yang berada di luar. Dia masih memikirkan tentang sang calon suaminya yang terbaring koma di rumah sakit dan juga tentang Shelomitha serta Langit.
"Ai, kamu kenapa? Mau snack ini?" Tangan Niana menyodorkan kue yang dia bawa, tapi Aira hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. "Kamu memikirkan mas Dewa, ya? Kamu tidak perlu memikirkan mas Dewa, Ai, dia ada yang menjaga."
"Na, aku pernah bertemu dengan anaknya mas Dewa dan dia sangat mirip dengan mas Dewa. Aku kasihan melihat bocah kecil itu."
"Apa dia tau kalau kamu calon ibu barunya?"
"Dia tidak tau, hanya saja dia sudah diberitahu oleh Shelomitha jika dia akan tinggal dengan papinya dan mami barunya." Aira menangis. "Kamu tau dia berkata apa?" Niana menggeleng sambil mengusap lembut pundak Aira. "Dia ingin menukar semua mainannya untuk mami barunya agar mami barunya tidak perlu menggantikan maminya. Apa dia bisa menerima nantinya, Na?"
"Aku tidak tau harus berkata apa, Ai. Kita juga tidak bisa menyalahkan bocah kecil itu. Dia mungkin sangat ingin merasakan memiliki keluarga utuh setelah sekian lama dia hanya tinggal dengan mamanya."
"Aku paham akan hal itu, Na, oleh karena itu aku ingin memutuskan untuk meninggalkan mas Dewa saja." Aira menutup wajahnya untuk menahan tangisannya yang semakin keras. Niana yang di sampingnya hanya bisa memeluk untuk menguatkan sahabatnya itu."
"Aku hanya bisa berkata untuk benar-benar memikirkan lagi keputusan yang kamu ambil."
Sepanjang perjalanan Aira bersandar pada Niana sahabatnya, dan sahabatnya itu pun tidak keberatan dengan hal itu Niana sangat prihatin dengan apa yang terjadi dengan Sahabat yang selama ini baik padanya. Aira adalah sahabat yang selalu tulus membantunya.
"Masih sedih?" Aira mengangguk perlahan. "Bagaimana kalau kamu membayangkan saja wajah si devil," celetuknya ngasal.
Aira seketika mengangkat kepalanya. "Niana!" seru Aira kesal.
"Sudah tidak sedih, kan? Memang sepertinya si devil kak Addrian itu adalah obat kesedihan untuk kamu."
"Sudah, Na, kamu jangan menyebut nama dia lagi karena aku tidak suka mendengarnya." Niana hanya terkekeh pelan, dan sekarang Aira duduk bersandar pada jendela.
Bis mereka sudah sampai di sebuah hotel setelah menempuh sekitar tujuh jam perjalanan. Semua sudah dibagi nomor kamar hotelnya.
"Kenapa juga aku satu lantai dengan dua orang yang menyebalkan ini," gerutu Noura yang ternyata kamarnya satu lantai dengan Aira dan Niana.
"Kamu pikir kita senang bisa satu lantai dengan kalian? Aku dan Aira takutnya terkontaminasi dengan sifat buruk kalian."
"Sudahlah, Na. Kita masuk saja karena aku mau menghubungi mamaku." Tangan Aira menarik tangan Niana masuk ke dalam kamar, dan menutup pintu di depan Noura dan Hany.
Hari ini mereka semua dibiarkan untuk beristirahat, dan besok mereka melakukan kegiatan pertama mereka.
"Kamu tidak mandi dulu, Ai?"
"Iya, sebentar lagi." Aira masih mengeluarkan baju dan meletakkan beberapa ke dalam lemari. "Kamu tidak menghubungi ibu kamu?"
Niana yang baru saja keluar dari kamar mandi dan yang sekarang sedang mengeringkan rambutnya mengangguk pada Aira. "Aku sudah menghubungi ibuku yang belum aku hubungi adalah mas Arlan," ucap Niana pelan.
Aira yang melipat bajunya seketika melihat pada Niana kaget. "Kamu untuk apa menghubungi mas Arlan?"
"Dia pernah menghubungi jika sudah sampai di tempat aku studi tour, aku disuruh menghubungi dia. Ai, sebenarnya kita sedang tahap pendekatan." Niana duduk dihadapan Aira.
Aira hanya menghela napasnya pelan. "Aku tidak melarang kalian dekat, aku senang saja. Semoga kalian benar-benar jadian dan awet saja sampai menikah."
"Aamiin," jawab Niana cepat.
Malam ini semuanya berkumpul di restoran bawah yang ada di hotel, di mana mereka menginap. Aira tampak terdiam melihat makanannya.
"Aira, kenapa tidak di makan?"
"Aku tidak lapar, Kenzo," jawabnya malas.
"Jangan sok mencari perhatian di sini kamu, gadis sok lugu," cemooh Hany yang melihat Kenzo sangat peduli dengan Aira.
Aira beranjak dari tempat duduknya. "Na, aku kembali ke kamar dulu. Kepalaku pusing dan aku mau beristirahat sejenak." Niana mengangguk dan Aira berjalan menuju lift untuk naik ke atas kamarnya.
Aira menunggu lift terbuka dan saat dia sudah masuk ke dalam lift ada seseorang berjalan melewati lift yang akan tertutup Pintunya.
"Si devil?"