Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Aku berusaha meronta dari genggaman Adnan yang kuat. Wajahku pucat, matanku berkaca-kaca sambil mencoba menghindari sentuhan yang tidak diinginkan.
"Mau melawan ya kamu Rania sayang," ujar Adnan dengan nada yang penuh nafsu, membuat bulu kuduk ku berdiri.
"Adnan sebenarnya kamu mau apa? Bicara yang baik-baik, jangan seperti ini," teriak ku, suaranya gemetar namun penuh keberanian.
"Aku ingin tidur denganmu Rania," tawa Adnan terdengar seram, menggema di ruangan yang semakin terasa sempit bagi ku.
"Aku gak mau Adnan, kau lupa Sandra lagi hamil anak kamu, dan kita sebentar lagi mau cerai, aku mohon Adnan lepaskan aku," pinta ku dengan suara yang hampir tidak terdengar, mataku memohon belas kasihan.
"Aku gak mau cerai dari kamu," teriak Adnan, semakin mempererat pelukannya dan mencium ku dengan penuh paksaan.
Aku mencoba sekuat tenaga untuk mendorong dan melepaskan diri, tapi kekuatan Adnan ternyata jauh lebih besar daripada usahaku, sehingga membuatku tak bisa melepaskan diri dari pelukannya yang mencekik.
"Tolong!!" jeritku ketika Adnan membopongku dengan paksa dan hendak membawaku masuk ke dalam mobilnya.
"Tolong aku!!" isakku sambil berharap ada yang mendengar dan menolongku.
"Tidak akan ada yang bisa menolong kamu sayang, kita akan bersenang-senang malam ini," Adnan tertawa sinis, semakin membuatku ketakutan.
"Aku tidak mau, Adnan! Tolong jangan paksa aku!" tangisku semakin keras, namun hal itu malah membuat Adnan tertawa makin keras dan mengerikan.
Adnan akhirnya membuka pintu mobil dan membantingku ke kursi dengan kasar. Ia kemudian melihatku dengan wajah penuh nafsu yang membuatku merasa sangat takut.
"Ini tidak boleh terjadi. Aku harus melakukan sesuatu," gumamku dalam hati ketika Adnan mulai membuka kancing kemejaku dengan paksa.
Semangat untuk melawan, melarikan diri, dan menolong diriku sendiri mulai menggebu dalam diriku. Aku harus berjuang melawan nafsu bejat Adnan.
Dalam keputusasaan, aku mendorong tubuh Adnan menggunakan kakiku sekuat tenaga, membuatnya terjatuh. Segera aku keluar dari mobil yang untungnya pintunya terbuka, dan bergegas berlari menuju mobilku.
Namun, Adnan tak tinggal diam dan kembali mengejarku. Hatiku berdebar kencang, dan dari kejauhan, aku melihat lampu sepeda motor yang mendekat. Aku mengibaskan tangan, berteriak meminta pertolongan,
"Tolong! Tolong!"
"Mau kemana kamu, Rania?" teriak Adnan dari belakang, dengan nada mengancam. Air mata mengalir deras, membasahi wajahku.
Aku merasa begitu ketakutan, tidak tahu harus berbuat apa. Di tengah isak tangis, aku terus menunggu kehadiran Kevin yang entah mengapa belum juga datang. Hatiku berteriak, memohon agar ia segera muncul dan menyelamatkanku dari teror Adnan yang tak henti mengejarku.
Adnan kembali memelukku dari belakang, namun aku tetap berusaha melawannya sambil berteriak minta tolong. Tiba-tiba, lampu sorot sepeda motor datang menyinari wajahku.
Aku merasa lemas setelah seharian bekerja hingga lembur, dan sekarang harus berhadapan dengan pria semacam Adnan. Pria yang mengendarai sepeda motor itu segera turun dan mendekat.
Melihatnya, Adnan segera melepaskan pelukannya dan mendorongku hingga jatuh tersungkur. "Auuww," pekikku kesakitan.
Pria itu seolah ingin membantuku, namun tangan besarnya ditepis kasar oleh Adnan. "Gak usah jadi pahlawan kesiangan kamu!" teriak Adnan.
"Kalo berani jangan sama perempuan! Kamu banci ya?"
"Gak ada urusannya sama kamu! Sana pergi! Ini urusan ku dan juga istriku," jawab Adnan dengan nada penuh amarah.
Mataku tertuju pada pria yang masih mengenakan helm itu. Aku menggelengkan kepala sambil menangis, memberi isyarat bahwa aku meminta pertolongan.
Adnan langsung menarik tanganku dengan kasar, dan pria itu melancarkan pukulan pada wajah Adnan. Tak terima, Adnan membalas pukulan itu, dan pertarungan pun terjadi di antara mereka.
"Apakah ini nasibku? Seolah tak ada kebahagiaan yang dapat kurasakan. Kapan keberuntungan datang kepadaku? Bagaimana aku bisa melawan Adnan dan melepaskan diri dari belenggu yang membelit hidupku?" Hatiku berteriak dalam duka dan rasa frustasi.
Adnan dan pria baik itu terlibat pertarungan sengit, sampai Adnan merasa terpojok dan terpaksa pergi meninggalkanku. Aku masih menangis tersedu-sedu, tak dapat menahan rasa takut yang mencekam.
Ketika pria yang baru saja membantuku menghilangkan bahaya itu melepaskan helmnya, aku tak menyangka ternyata dia adalah Kenan.
"Tadinya aku nggak yakin kalau kamu Rania," ujar Kenan dengan tatapan mata yang penuh kekhawatiran.
Aku tertegun, menatap lutut yang terluka dan berdarah. Aku mengangguk lemah. "Ken... boleh aku memelukmu?" pinta aku lirih.
Hatiku masih dilanda ketakutan dan aku merasa membutuhkan pegangan dalam situasi seperti ini. Kenan tampak ragu sejenak, namun akhirnya mengizinkanku memeluknya.
Tak lama setelah itu, tiba-tiba seorang wanita mendorongku. Dia tampak cemburu dan marah. "Apa-apaan kamu, perempuan tak tahu diri! Sudah bagus pacar aku ini membantumu, malah cari kesempatan untuk memeluknya," umpat wanita itu.
Aku merasa bingung, tidak menyangka akan ada pihak yang malah menyalahkanku di saat seperti ini. Wanita itu pun menoleh pada Kenan, tatapannya penuh amarah.
"Kamu juga, Ken! Apa-apaan kamu, main peluk perempuan ini? Aku izinkan kamu untuk menolongnya, bukan untuk kasih kesempatan peluk-peluk kamu," serunya kesal.
Hatiku merasa tercabik, antara rasa syukur dan bimbang. Kenan memang telah menolongku, namun muncul pula rasa bersalah karena telah membuat orang lain marah.
Semuanya menjadi semakin rumit, namun yang jelas saat ini, aku harus berusaha mengatasi rasa takut dan ketidakpastian yang kini menguasai pikiranku.
"Maaf, aku tidak bermaksud untuk...." Sebelum aku sempat melanjutkan, perempuan itu langsung menyahut dengan kesal, "Hallah, jangan sok membela diri! Ayo, yank, pulang!" serunya.
Aku hanya bisa tersenyum kecut. "Maafkan aku, ya, Ken," bisikku. Kenan tampak khawatir. "Iya, gak papa. Kamu gak papa kan pulang sendirian? Atau aku antar?" tawarnya
"Gak! Apa-apaan kamu, sih! Ini sudah malam, kamu mau papah mamahku marah?!" umpat perempuan itu.
Aku merasa sangat menyesal. Semua ini seakan membuat diriku terjebak dalam dilema. Bagaimana bisa aku tidak sengaja membuat mereka berdua begitu marah? Dalam hati, aku merasa begitu bersalah.
Namun, aku melihat betapa cemburunya kekasih Kenan, "aku lebih baik pulang sendiri!" Ucap kekasih Kenan
"Aishh!" kesal Kenan, merasa terjepit. "Rania, aku pamit dulu ya," seru Kenan sambil tersenyum memaksa.
"Iya, Ken," balasku dengan senyuman tipis.
Di dalam hati, sebenarnya aku merasa takut sendirian, takut jika Adnan akan kembali menghampiriku. Tapi, mau bagaimana lagi? Kenan memang sudah punya pacar, dan tentu saja, dia harus memprioritaskan pacarnya daripada aku.
Aku mencoba menguatkan hati, berbicara pada diri sendiri, "Aku pasti bisa melalui ini. Jangan takut, jangan biarkan Adnan menguasai hidupmu lagi." Meski terasa berat, aku harus belajar untuk bisa berdiri tegak sendiri.
****
kebahagian mu rai...ap lg anak mu mendukung ?
bahagia dan hidup sukses ...