Malam itu, Ajela dijual oleh ibunya seharga satu miliar kepada seorang pria yang mencari gadis perawan. Tak ada yang menyangka, pria tersebut adalah aku! Aku yang membeli Ajela! Dia dipaksa menjalani sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya, dan Mama masih tega menganggap Ajela sebagai wanita panggilan?
Ajela dianggap tak lebih dari beban di keluarganya sendiri. Hidupnya penuh penderitaan—dihina, diperlakukan tidak adil, bahkan sering dipukuli oleh ibu dan kakak tirinya.
Demi mendapatkan uang, Ajela akhirnya dijual kepada seorang pria yang mereka kira seorang tua bangka, jelek, dan gendut. Namun, kenyataan berkata lain. Pria yang membeli Ajela ternyata adalah pengusaha muda sukses, pemilik perusahaan besar tempat kakaknya, Riana, bekerja.
Bagaimana Riana akan bereaksi ketika menyadari bahwa pria yang ia incar ternyata adalah orang yang membeli Ajela? Dan bagaimana nasib Ajela saat malam kelam itu meninggalkan jejak kehidupan baru dalam dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 Mendambakan Seorang Ayah Yang Memberikan Kesempatan Melihat Dunia.
Kemarahan Alvian layaknya gunung berapi yang siap memuntahkan lahar panas, meledak-ledak dan tak terhentikan. Bagaimana tidak, Bayu berniat melecehkan dan menganiaya Ajela, padahal wanita itu baru bulan lalu menjalani operasi. Tentu saja kondisi fisiknya belum pulih. Bekas operasinya mungkin masih meninggalkan rasa sakit meskipun terlihat kering di luar.
"Jangan halangi aku!" bentak Alvian.
"Aku mengerti kamu marah. Tapi untuk sekarang yang terpenting adalah membawa Ajela keluar dari sini." Galih masih berusaha membujuk. Tubuh Alvian ia tahan sekuat tenaga." Lihat, dia kelihatan sangat ketakutan!"
Membuang napas panjang, Alvian melirik beberapa anak buahnya. Tatapan lelaki itu masih sama, tajam dan penuh amarah. Seperti mampu membelah tubuh yang ditatapnya menjadi dua bagian.
"Habisi manusia tidak berguna ini! Berani sekali dia berusaha menyentuh Ajela dan malah memfitnahnya!"
Bola mata Bayu melotot seketika. Ia yang masih terduduk di lantai itu mengumpulkan tenaga dan bangkit. Memohon adalah jalan terbaik yang dapat menyelamatkan hidupnya sekarang.
"Ampuni saya, Tuan," ucapnya, seraya memasang wajah sememelas mungkin. "Tapi saya berkata benar, wanita itu memang seorang wanita panggilan. Seseorang pernah membayarnya sebanyak satu miliar untuk semalam!"
Kedua alis tebal Alvian saling bertaut. Dari mana Bayu tahu tentang hal itu, padahal Alvian memerintahkan agar malam itu dirahasiakan.
"Dari mana kamu tahu tentang itu?"
"Saya tahu dari tempat hiburan malam milik Mami Viola. Mereka pernah menjualnya pada seorang laki-laki kaya. Dan semalam, orang suruhan laki-laki itu datang lagi untuk mencari wanita ini. Mungkin, mau disewa lagi, Tuan!"
"Siapa nama orang yang memberitahumu?"
"Bima, Tuan! Dia teman saya yang bekerja untuk Tuan Al dan Mami Viola. Malam itu dia yang mengantar Tuan Al membeli wanita itu."
Alvian semakin geram rasanya. Ia melirik anak buahnya. "Cari orang bernama Bima dan potong lidahnya! Berani sekali dia membicarakan tentang malam itu dengan orang lain!"
"Baik, Tuan! Jangankan lidahnya, giginya pun akan kami rontokkan tanpa sisa," sahut salah seorang anak buah Alvian.
Bukannya tenang, Bayu kembali gemetar. Matanya melotot seperti hendak keluar dari tempatnya saat mendengar perintah mengerikan itu.
Alvian menatap Bayu. Kali ini lebih mengintimidasi dibanding sebelumnya. "Jadi, ucapanmu tadi bahwa Ajela yang duluan merayumu itu benar?"
Detik itu juga sayatan pisau tajam pada lidahnya terbayang dalam pikiran Bayu. Membuat seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga.
"Tidak-tidak! Saya akan jujur, Tuan! Saya berbohong! Ajela memang tidak merayu saya. Saya yang gelap mata dan menawarkan uang padanya untuk melayani saya ."
Jika Bayu berpikir kemarahan Alvian akan reda jika ia berkata jujur, maka salah besar. Karena kalimat yang terlontar dari mulut laki-laki itu semakin membakar emosi Alvian.
"Apa kamu sudah bosan hidup ?" teriak Alvian, menerjang menghantamkan kepalan tinjunya ke wajah dan tubuh Bayu hingga kembali tumbang.
Sejenak, Galih melirik Ajela yang terduduk mendekap bayinya.Kemudian langsung menarik lengan Alvian dan menahan dadanya sekuat tenaga. Hampir saja Galih terjengkang ke belakang jika tidak memiliki keseimbangan tubuh yang baik. Ia tahu betul seperti apa Alvian jika sudah marah. Nyawa orang lain pun akan dianggapnya mainan.
"Tahan, Al! Tahan! Kamu tidak perlu repot-repot menghadapi sampah seperti dia. Serahkan padaku saja! Kalau mau menghabisinya biar kami yang lakukan!" Sebelum Alvian bertindak lebih jauh, Galih memberi isyarat kepada anak buahnya. "Cepat, seret orang itu keluar!"
Tiga orang anak buahnya bergerak cepat. Menggelandang Bayu keluar dari rumah itu. Sementara Alvian masih tampak mengatur napas demi mengurangi amarah yang mendidih.
"Bujuk Ajela baik-baik dulu. Kejadian ini bisa saja membuatnya trauma. Aku akan urus laki-laki itu dulu."
Setelah Alvian lebih tenang, Galih menepuk bahu sepupunya itu dan memilih keluar dari rumah agar Alvian memiliki waktu untuk bicara berdua dengan Ajela.
Urusan Bayu akan ia serahkan kepada polisi.
Alvian menarik napas dalam-dalam. Manik hitamnya meneliti setiap bagian rumah itu. Dalam sekejap sesak kembali menghimpit dadanya membayangkan bagaimana Ajela dan putranya menghabiskan waktu di tempat yang baginya tidak layak huni itu. Tidak hanya sempit, pengap dan panas. Rumah itu juga banyak nyamuk. Tidak ada apapun di sana selain kasur busa yang sudah lapuk. Sebuah meja kecil dengan kompor tua dan kantongan plastik berisi beberapa bungkus mie instan murah berhasil mengoyak hati Alvian.
Ia kembali meraup banyak-banyak udara. Kemudian perlahan mendekati Ajela dan berjongkok di hadapannya.
Dilihatnya wanita itu gemetar menahan tangis sambil mendekap putranya erat-erat. Dahinya berkeringat, rambut acak-acakan dan pakaiannya sobek. Belum lagi ada banyak lecet di sekitar tubuhnya. Sebelah tangan Alvian mengulur mengusap sudut bibir Ajela yang mengeluarkan darah.
Tangisan Baby Boy yang masih terdengar membuat Alvian mengulurkan kedua tangannya.
"Sini sebentar, biar aku yang tenangkan."
Ajela menggeleng cepat.
Kedua tangannya semakin erat mendekap putranya. Isak tangis kembali memecah kesunyian.
Ajela bahkan tak berani untuk sekedar mengangkat kepala menatap Alvian.
"Tolong jangan sakiti anak saya, Tuan. Apa salah anak saya sampai Anda mau mengambilnya. Sayalah yang memutuskan untuk melahirkannya. Tolong jangan ambil dia, saya berjanji setelah ini akan membawanya pergi ke tempat yang jauh. Dia tidak akan menjadi aib untuk Anda, karena saya akan merahasiakannya dari semua orang. Tapi tolong biarkan anak saya hidup, Tuan."
Meskipun suara Ajela tersendat-sendat karena bercampur isak tangis, namun masih dapat ditangkap jelas oleh Alvian. Menciptakan rasa seperti tikaman benda tajam pada hatinya.
Bersambung ~