Andhira baru saja kehilangan suami dan harus melahirkan bayinya yang masih prematur akibat kecelakaan lalulintas. Dia diminta untuk menikah dengan Argani, kakak iparnya yang sudah lama menduda.
Penolakan Andhira tidak digubris oleh keluarganya, Wiratama. Dia harus tetap menjadi bagian dari keluarga Atmadja.
Akankah dia menemukan kebahagiaan dalam rumah tangganya kali ini, sementara Argani merupakan seorang laki-laki dingin yang impoten?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Bab 6. Perjanjian
"Pak, di depan gedung hotel terjadi keributan. Ada sekelompok orang mengaku kalau sebagai teman Nona Andhira," bisik salah seorang pegawai Papa Anwar.
Wajah Papa Anwar berubah keras. Dia tahu betul kalau Andhira tidak memiliki teman di kota ini. Laki-laki itu pun pergi menuju ke tempat kejadian perkara.
Mama Aini yang melihat itu penasaran, dia juga ingin melihat siapa yang sudah membuat keributan. Wanita paruh baya itu takut ada orang yang menyuruh keributan untuk menjatuhkan nama baik keluarganya.
Argani sempat melihat ayahnya pergi meninggalkan ballroom hotel dengan terburu-buru. Dia yakin sedang terjadi sesuatu.
"Papa mau ke mana?" tanya Andhira yang juga melihat Papa Anwar pergi bersama beberapa orang.
"Mungkin bertemu dengan rekan bisnis orang asing," jawab Argani asal.
Semua orang di keluarga Atmadja selalu menjaga Andhira dari berita-berita miring. Kasus Selana kemarin sempat membuat heboh meski tidak sampai satu jam. Berita kalau wanita itu sedang hamil anaknya Andhika langsung bisa diatasi oleh Papa Anwar. Berita tentang Selena dan Andhika langsung di take down dari semua berita media sosial.
Keluarga Pak Bagas hadir di acara pesta pernikahan itu, tentunya Puspa juga hadir. Wanita yang selalu menyulut pertengkaran dengan Andhira, datang dengan gaya elegan dan memakai barang-barang branded.
"Semoga saja setelah ini kamu tidak mendapatkan gelar janda lagi," ucap Puspa kepada Andhira.
"Aku yakin kehidupan keluarga aku hanya terpisah oleh maut sama seperti sebelumnya," balas Andhira dengan ekspresi dingin. "Semoga saja kamu tidak menjadi pelakor seperti ibumu."
Senyum mengejek terukir dari bibir Andhira dan tentunya membuat Puspa marah. Wanita itu hendak menampar Andhira, tetapi Argani berhasil menahan tangannya.
"Jaga sikap kamu!" desis Argani menahan emosi.
Puspa dan Argani beradu pandang. Wanita itu sangat benci kepada laki-laki yang pernah menolak dirinya. Ya, sekitar dua tahun yang lalu, dia pernah mencoba menggoda laki-laki yang merupakan penerus utama keluarga Atmadja, dengan dingin Argani menolak, bahkan mengucapkan kata-kata yang pedas untuknya.
"Ada apa ini?" tanya Adji yang merupakan adik Puspa, teman satu angkatan dengan Andhira atau dua tahun lebih muda dari sang kakak.
"Bawa jauh kakakmu ini! Jangan sampai aku kehilangan kendali karena sikapnya yang tidak baik," jawab Argani.
Adji menatap sekilas kepada Andhira. Dahulu mereka satu sekolah saat SMP, sebelum wanita itu pergi. Dia selalu diliputi rasa bersalah kepadanya. Dia di-bully oleh teman-temannya karena ibunya menjadi pelakor. Bukan hanya Andhira yang menjadi korban atas pernikahan Pak Bagas dan Bu Rosdiana, Adji juga sama. Sampai-sampai tidak ada siswa yang mau berteman dengannya.
"Semoga kalian bisa hidup bahagia," ucap Adji sebelum menarik kakaknya agar menjauh dari pelaminan.
Terlihat Puspa menggerutu memarahi adiknya. Wanita itu juga sempat menoleh dan memberikan kepalan tangan kepada sang pengantin wanita.
Andhira hanya mengangguk. Meski Adji tidak pernah berbuat kasar kepadanya, dia tetap saja tidak suka. Rasa benci wanita itu kepada keluarga Bu Rosdiana, membuatnya tidak simpati.
Sementara itu, Papa Anwar mendatangi lahan parkir yang berderet banyak mobil. Terlihat ada beberapa orang anak muda dengan penampilan urakan.
"Ada apa ini?" tanya Papa Anwar dengan nada tegas.
"Kami ke sini mau menghadiri pernikahan Andhira," ucap salah seorang dari mereka.
"Kalian siapanya Andhira?" tanya Papa Anwar sambil menelisik satu persatu pemuda yang berada di depannya.
"Kami utusan dari para pemulung yang dahulu selalu bersama Andhira saat mencari barang rongsokan. Kemari ingin memberikan kado pernikahan untuk Andhira," jawab salah seorang pemuda.
"Oh, temannya Bang Codet," ucap Papa Anwar yang menyebutkan bos pemulung yang dahulu datang ke acara pernikahan Andhira dan Andhika.
"Iya, Pak. Saat ini Bang codet sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Jadi, kami yang datang mewakili teman-teman," balas laki-laki berbaju kemeja batik.
"Oh, masuk ... masuk! Pasti Andhira senang ada temannya yang datang," titah Papa Anwar.
Sekitar tujuh orang pemuda itu masuk ke dalam ballroom hotel. Mereka membawa banyak kado untuk kedua mempelai pengantin.
Kedatangan para pemuda itu menarik perhatian tamu undangan lainnya. Penampilan sederhana yang dianggap lusuh untuk menghadiri pesta besar di sebuah hotel mewah berbintang lima.
Andhira senang melihat kedatangan beberapa orang temannya dari kampung. Selain menjadi buruh tani, dia juga kerap ikut mencari barang rongsokan untuk dijual. Mereka tidak hanya menjadi pemulung sampah saja, tetapi punya pekerjaan lain juga. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, kebanyakan warga kampung memiliki lebih dari satu pekerjaan. Entah itu jadi tukang urut, pemulung sampah, buruh nyuci dan gosok, atau tukang ojek. Karena bekerja di ladang itu dari pagi sampai siang.
Dengan ramah Andhira menyambut teman-temannya. Dia juga mengantarkan mereka mengambil makanan dan minuman karena terlihat sungkan dengan tamu lainnya yang dari golongan atas.
Argani melihat interaksi Andhira dengan beberapa pemuda itu. Mereka terlihat berbincang-bincang, lalu tertawa kecil. Tentu saja dia merasa tidak suka dengan perbuatan sang istri. Terlebih lagi para tamu undangan berbisik-bisik sambil melihat mereka.
Acara pesta berlangsung sangat meriah sampai tengah malam. Sebenarnya Andhira sudah tidak betah berada di ruang mewah bak di negeri dongeng itu. Dia selalu saja kepikiran Arya yang tidur di kamar sebelah kamar pengantin. Meski bayi itu tidak rewel dan dipegang oleh salah seorang pembantu yang bekerja di kediaman keluarga Atmadja.
"Mas Gani, apa boleh aku pergi ke kamar terlebih dahulu. Aku ingin melihat Arya. Biasanya dia terbangun tengah malam dan ingin menyusu," bisik Andhira kepada suaminya.
"Ya, pergilah! Lagian sekarang tamu undangan sudah berkurang. Kebanyakan mereka itu teman bisnis yang sedang asyik ngobrol untuk menghilangkan kepenatan," balas Argani.
Andhira sudah tidak sabar ingin melihat Arya, padahal tiga jam yang lalu dia menyusui dahulu putranya sampai tidur. Namun, rasa rindu itu masih saja dia rasakan. Mungkin karena jarang terpisah dan selalu bersama.
Ternyata Arya berbangun begitu Andhira masuk ke dalam kamar itu. Untungnya gaun pengantin yang dia gunakan itu memiliki resleting depan, sehingga memudahkan dia untuk menyusui putranya. Dengan tatapan penuh kasih sayang, wanita itu memandangi wajah sang anak yang mirip mendiang suaminya.
"Apa kamu akan tidur di kamar ini?"
Andhira menengadahkan kepalanya. Terlihat Argani berdiri di depannya dengan tubuh yang menjulang tinggi, lebih tinggi dari Andhika.
"Menurut kamu, Mas?"
Argani malah ditanya balik. Karena Andhira tahu laki-laki itu sebenarnya tidak ingin menikah dengannya. Entah apa sebabnya berubah pikiran, itu tidak diketahui oleh wanita itu.
"Mungkin saja kamu tidak mau tidur terpisah dengan putramu," ucap Argani.
"Loh, kenapa pengantinnya malah di kamar ini! Sana ke kamar kalian yang ada di sebelah!" kata Mama Aini yang tiba-tiba saja masuk karena ingin melihat keadaan sang cucu.
"Iya, Ma. Ini Andhira lagi nyusuin Arya dulu," balas Andhika.
Setelah selesai menyusui, Andhira pergi ke kamar sebelah. Begitu dia masuk, terlihat Argani baru keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu habis berendam air hangat karena sekujur tubuhnya terasa kaku dan lelah.
"Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu," ujar Argani berjalan mendekati Andhira.
"Katakan saja," balas Andhira sambil berjalan menuju ke meja rias. Dia membuka semua aksesoris yang menempel pada tubuhnya.
"Aku ingin membuat perjanjian dengan kamu," kata Argani dan itu membuat Andhira tersentak.
***