Dipaksa pulang karena suatu perintah yang tak dapat diganggu gugat.
ya itulah yang saat ini terjadi padaku.
seharusnya aku masih berada dipesantren, tempat aku belajar.
tapi telfon hari itu mengagetkanku
takbisa kuelak walaupun Abah kiyai juga sedikit berat mengizinkan.
namun memang telfon ayah yang mengatas namakan mbah kakung tak dapat dibantah.
Apalagi mbah kakung sendiri guru abah yai semakin tak dapat lagi aku tuk mengelak pulang.
----------------------------------
"entah apa masalahmu yang mengakibatkan akhirnya kita berdua disini. tapi aku berharap kau tak ada niat sekali pun untuk menghalangiku menggapai cita2ku" kataku tegas. takada sama sekali raut takut yang tampak diwajahku
masabodo dengan adab kali ini. tapi rasanya benar2 membuatku ingin melenyapkan seonggok manusia didepanku ini.
" hei nona, bukankah seharusnya anda tidak boleh meninggikan suara anda kepada saya. yang nota bene sekarang telah berhak atas anda" katanya tak mau kalah dengan raut wajah yang entah lah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsa Salsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
BAB 31
( Pov Dipta )
“Ok. Action”.
“ قال عليّ كرم اللّٰه وجهه: اَنا عبدُ مِنْ علّمني حرفاً واحدًا اِنْ شاءَ باعَ واِنْ شاءَ اَعتقَ واِنْ شاءَ اِسْترقَّ. Sayyidina Ali kharomaullah hu wajhah pernah ngendikan: saya rela menjadi hamba sahaya pada orang yang telah mengajarkanku satu huruf. Terserah padanya saya mau dijual, dimerdekakan. Atau pun tetap menjadi hambanya”.
“Disini dimaksudkan bahwa kita harus benar- benar hormat kepada para guru kita. Pun dalam kitab Ala La yang sudah kalian pelajari di kelas satu dulu sudah dijelaskan bukan guru kita adalah pembentuk ruh kuta jiwa kita. Dan dalam syair yang lain juga mengatakan kalau satu huruf saja ilmu yang kita dapat setara dengan seribu dirhan uang yang harus kita bayarkan kepada guru kita. Nah dari kedua kutipan kitab ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pastinya kita tak akan sanggup untuk membayar semua jasa dan juga ilmu yang kita dapat dari para guru- guru kita bukan”.
“Nggih ustadz”.
“Maka dari pada itu yang bisa kita lakukan adalah dengan menghormati beliau sekalian. Ta’dhim pada mereka, menjaga adab kita kepada mereka, dan berperilaku baiklah pada mereka”. Terang Dipta di depan seisi kelas.
“Na’am ustadz”.
“YAK. CUT”. Teriak pak sutradara mengakhiri adegan.
Suara gaduh mulai terdengar dari para crew setelah pengambilan gambar selesai. Sudah dua minggu lebih prosesi pengambilan gambar berlangsung dengan satu minggu lebih waktu kita mempelajari secara langsung kehidupan di pesantren. Mungkin sudah hampir satu bulan kami semua berada di tempat ini.
“Dipta, good job”. Puji Pak sutradara sambil mengacungkan jempolnya. Kubalas senyum canggung tak bertenaga.
Yah inilah tokoh yang aku perankan. Seorang ustadz muda dengan ilmu agama seluas samudra. Namun sayang itu hanyalah peran semata. Kadang aku berfikir bagaimana kalau sosok itu benar- benar ada dalam diri ini. Sesenang apa aku bisa membimbing istriku dengan ilmu agama seluas itu.
Sering kali aku meminta bantuan kepada kang Ridwan atau kang santri lainnya untuk menerangkan sesuatu hal yang sesuai dengan syariat islam. Dengan alasan mendalami peranku.
Sebenarnya kadang kala aku malu melihat begitu banyak anak- anak kecil yang pandai sekali keilmuannya. Sudah faham luar dalam tentang beragam jenis kitab yang aki saja membaca judulnya pun tak bisa. Apa lagi dengan kang Ridwan yang secara tidak langsung adalah rivalku.
“Mas sini ganti kostum dulu”. Panggil salah satu make up artis. Aku yang masih terdiam di tempat sedari tadi akhirnya pergi mengikutinya menuju tempat dimana aku bisa berganti baju.
Sebenarnya baru pertama kali ini aku memasuki area pondok putri. Pun kawasan yang boleh kita tempati hannya area kelas madrasah yang memang berbeda gedung dengan area asrama yang memang khusus area putri tanpa boleh dimasuki laki- laki secara mutlak kecuali keadaan mendesak tentunya.
Sore ini akhirnya aku bisa memasuki tempat ini yang sebenarnya sudah membuatku penasaran sedari beberapa waktu yang lalu. Aku segera berganti pakaian untuk pengambilan gambar terakhir hari ini.
Apalagi dengan menggunakan satu kelas full dengan penduduk kelas tersebut pula. Kami tidak boleh terlalu mengulur waktu. Karena pastinya para santri yang terlibat ini juga sudah ada jadwal kegiatan yang telah menanti mereka selesai kegiatan ini.
Take terakhir ini adalah adegan aku yang terlibat cekcok kecil dengan pemeran utama perempuan yang juga berperan sebagai tenaga pengajar juga.
“Ayo Dip posisi”. Teriak sutradara.
Aku kembali memosisikan diriku sebagai tokoh yang sedang kuperankan.
*******
( Pov Aliya )
“Yaya..... tu tu tu. Yaaa. Sha no no. Huwaaa”. Tangisan mas Musa keras sambil meronta- ronta di dalam gendonganku.
“Iya ya. Ini loh sama mbak yaya. Mas Musa mau apa?”. Bujukku supaya batita ini segara tenang dan berhenti menangis.
Tapi sepertinya harapanku tak mudah terwujud kali ini. Tangisannya malahan semakin kencang dengan pemberontakan yang sudah mulai kualahan aku dibuatnya.
“Yayaaaa huwaaa. Tu tu na haaaa”. Alamat tangisan ini tak akan selesai sebelum apa yang dia inginkan terpenuhi. Tapi sayangnya aku pun kadang juga tak tahu apa yang sebenarnya dia mau. Termasuk kali ini.
Akhirnya aku menyerah. Kuturunkan mas Musa dari gendonganku. Dengan air mata yang masih mengalir batita itu mulai berjalan tertatih menuju apa yang dia mau. Sedangkan aku hanya mengawasi dari belakang sambil sesekali berusaha untuk menggapai tangannya agar bisa kugandeng.
“Mas Musa jalannya pelan- pelan aja”. Selorohku sedikit ngeri melihatnya sedang dalam mode ngambek parah. Padahal cuman aku ajak untuk kembali ke ndhalem untuk segera mandi sore.
Batita itu masih terus berjalan sampai ke gedung madrasah. Lumayan jauh untuk hitungan langkah bayi. Tapi sepertinya dia belum menemukan apa yang dicari.
Kucoba bujuk untuk yang kesekian kalinya agar mau aku gendong. Dan syukurlah akhirnya kali ini mau juga walaupun tetep aku yang harus menuruti kemauannya terlebih dahulu.
“Tuh ya.. tu tu”. Tunjuknya kesalah satu kelas yang biasa dia datangi.
Ada salah satu anak dikelas itu yang termasuk dekat dengan mas Musa. Sering bermain bareng karena kebetulan kamarku dekat dengan kamar anak itu. Dan juga sering kali diajak bermain dikelasnya saat free class tiba.
‘Huh sepertinya ada acara pengambilan gambar deh’. Batinku saat melihat banyak orang asing yang berada di sekitar gedung madrasah putri. Kulihat mas Musa yang sepertinya masih kekeh dengan keinginannya.
"Mas Musa mau ketemu sama mbak Ulfa ya". Tanyaku pada bayi gembul di gendonganku ini.
Dengan semangan dia menganggukkan kepalanya membenarkan perkataanku.
"Tapi mbak Ulfanya gak ada dikelas loh. Nanti aja ya di asrama mau ya". Kataku pelan sedikit takut sebenarnya kalau kembali tantrum. "Lihat tuh mas rame kan ya lah kelasnya mbak Ulfa itu dipakek orang jadinya mbak Ulfanya gak ada dikelas deh". Tambahku.
Dengan wajah polosnya dia nampak berpikir keras. Mungkin berusaha untuk memahami ucapanku atau entah lah bahasa bayi kan memang rumit bukan.
"ya.. Uuu.. No tu". Katanya tak jelas sebenarnya. Tapi sepertinya dari mimik wajah yang dia tunjukkan ini dia sepertinya mengerti apa yang berusaha kuberitahu.
"Iya itu gak ada mbak Ulfanya. Kita balik yuk nanti ketemu mbak Ulfanya di asrama ya". Kataku entah sebenarnya sesuai dengan apa yang dia inginkan atau tidak.
Anggukan kepala yang begitu menggemaskan diberikan oleh mas Musa tanda dia setuju dengan ucapanku. Pun juga aku yang ikut senang agar segera pergi menuju ndhalem.
Sebenarnya bukan kelasnya si Ulfa sih sepertinya yang sedang digunakan. Tapi masa bodho dengan hal itu yang paling penting sekarang adalah aku segera pergi dari area ini. Terserah lah kemana pun sebenarnya.
Aku tahu. Aku tahu kalau dia ada disini. Aku tahu dia yang menjadi salah satu topik utama pembicaraan para tamu didalam kamar. Pun juga aku tahu dati temanku yang memang pernah membahas kalau dia ikut berperan didalan proyek ini.
kalo siang ada jadwal yang lebih penting.
makasih ya dukungannya🙏🙏🫶🫶