NovelToon NovelToon
ANAKKU DIJUAL IBU MERTUA

ANAKKU DIJUAL IBU MERTUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam
Popularitas:4.7k
Nilai: 5
Nama Author: Non Mey

Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

sengaja dipermalukan

Pagi itu, Amira bangun seperti biasa sebelum matahari sepenuhnya terbit. Angga sudah pergi bekerja, meninggalkan dirinya sendirian di rumah bersama Bu Ratna dan Loli. Amira berpikir mungkin hari ini akan berjalan seperti biasanya berisi pekerjaan rumah yang tiada habisnya. Namun, suara ramai dari ruang tamu membuatnya penasaran.

Ia mengintip dari dapur dan melihat beberapa perempuan berpakaian rapi sedang duduk mengelilingi meja, tertawa dan berbincang. Teman-teman arisan Bu Ratna rupanya datang pagi itu. Amira merasa canggung karena tidak pernah diberi tahu sebelumnya.

“Amira! Ke sini sebentar,” panggil Bu Ratna dengan nada yang sulit diartikan, setengah memerintah, setengah memancing perhatian tamunya.

Amira segera keluar dari dapur dengan hati-hati. Senyumnya dipaksakan, meskipun ada rasa tidak nyaman yang merayap di dadanya.

“Ini dia menantu saya,” kata Bu Ratna sambil melirik Amira dengan tatapan yang dingin.

Beberapa tamu menoleh, menatap Amira dari ujung kepala hingga kaki, seperti menilai seseorang yang sedang mengikuti wawancara kerja. Amira mencoba tersenyum, tapi rasa gugup membuatnya sulit untuk berkata apa-apa.

“Cantik, ya, Bu Ratna,” kata salah satu perempuan, meski nadanya terdengar lebih sebagai basa-basi daripada pujian tulus.

“Cantik sih, iya,” sahut Bu Ratna sambil mengangkat bahunya. “Tapi ya, hanya itu saja. Kalau bicara soal latar belakang, jauh dari harapan. Dia ini anak yatim piatu, lho. Tidak ada keluarga yang bisa diandalkan.”

Amira terkejut mendengar kata-kata itu. Ia merasa seperti dihantam sesuatu yang tak terlihat. Namun, ia hanya bisa diam, tidak tahu bagaimana harus menanggapi.

“Oh, jadi begitu?” tanya salah satu tamu dengan nada mengejek. “Kok Angga mau ya? Padahal kamu, Bu Ratna, biasanya pilih-pilih banget.”

“Ya, itu dia,” jawab Bu Ratna sambil mendesah, seolah menyesali keputusan Angga. “Saya sudah kasih tahu Angga berkali-kali. Kalau mau menikah, carilah yang selevel. Setidaknya punya keluarga yang bisa diajak bicara. Tapi apa boleh buat, namanya anak muda, tidak mau dengar orang tua.”

Amira merasa wajahnya memerah karena malu dan marah. Ia berdiri di sana, seperti seorang anak kecil yang dimarahi di depan kelas. Pandangan beberapa tamu yang mencibir hanya memperparah perasaan itu.

“Bu Ratna, jangan terlalu keras. Mungkin menantu ini bisa belajar,” kata seorang tamu lainnya dengan nada yang sedikit lebih lembut. Perempuan itu, bernama Bu Sari, menatap Amira dengan pandangan kasihan.

“Belajar apa, Bu Sari?” jawab Bu Ratna dengan cepat. “Sudah dua hari di sini saja, pekerjaan rumah banyak yang tidak beres. Kalau saya biarkan, rumah ini bisa berantakan. Angga saja yang terlalu baik hati.”

Kata-kata itu seperti hujan duri yang menyayat hati Amira. Ia ingin membela diri, ingin menjelaskan bahwa ia telah berusaha sebaik mungkin, tetapi ia tahu bahwa Bu Ratna tidak akan mendengarkannya.

Setelah beberapa menit berdiri di sana, mendengarkan percakapan yang semakin lama semakin menyakitkan, Amira merasa tidak kuat lagi. Dengan langkah pelan, ia kembali ke dapur, pura-pura sibuk mencuci piring. Namun, begitu ia berada di luar pandangan, air matanya mulai mengalir.

Ia menahan isakan agar tidak terdengar, tetapi hatinya terasa hancur. Ia tidak pernah menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh ibu mertuanya sendiri. Semua kerja kerasnya selama dua hari terakhir seolah tidak berarti apa-apa.

Sambil menangis pelan, Amira teringat kata-kata neneknya. "Jangan pernah biarkan orang lain merendahkanmu, Mira," begitu neneknya selalu berkata. Namun, bagaimana ia bisa mempertahankan harga dirinya ketika setiap langkahnya selalu disalahkan?

Saat Amira masih di dapur, Bu Sari masuk dengan hati-hati. Perempuan itu membawa segelas air putih dan menaruhnya di meja dekat Amira.

“Amira, kamu tidak apa-apa?” tanya Bu Sari dengan suara lembut.

Amira buru-buru menghapus air matanya dan memaksakan senyum. “Saya baik-baik saja, Bu.”

Bu Sari menatap Amira dengan penuh simpati. “Saya mengerti, pasti sulit untukmu. Ibu mertuamu itu memang keras, tapi jangan biarkan kata-katanya membuatmu merasa rendah. Kamu punya hati yang baik, saya bisa melihatnya.”

Amira tertegun. Perkataan Bu Sari, meski sederhana, memberi sedikit penghiburan di tengah luka yang ia rasakan. Ia hanya bisa mengangguk, tidak mampu berkata apa-apa.

Bu Sari melanjutkan, “Kalau kamu butuh teman bicara, jangan ragu untuk datang ke rumah saya. Saya tinggal di ujung jalan ini. Kadang, kita hanya butuh seseorang untuk mendengarkan.”

Amira tersenyum tipis, merasa sedikit lebih ringan. “Terima kasih, Bu Sari.”

Setelah para tamu pulang, Amira kembali ke kamar dan merenung. Ia tahu bahwa hidupnya di rumah ini tidak akan mudah. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan rasa sakit ini menguasai dirinya.

Amira memutuskan untuk bertahan, bukan karena ia ingin membuktikan sesuatu kepada Bu Ratna, tetapi karena ia percaya pada dirinya sendiri. Ia percaya bahwa kebaikan hati dan kerja kerasnya suatu hari akan membuahkan hasil, meskipun sekarang semuanya terasa sulit.

Di malam harinya, ketika Angga pulang, ia menceritakan sedikit tentang apa yang terjadi, meskipun ia menyembunyikan sebagian besar rasa sakitnya.

“Angga, aku tidak apa-apa. Aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri,” kata Amira dengan senyuman kecil.

Angga menggenggam tangannya dengan lembut. “Aku tahu kamu perempuan kuat, Mira. Kalau ada apa-apa, aku di sini untukmu.”

Kata-kata itu menjadi penyemangat bagi Amira. Meskipun ia merasa sendirian di rumah ini, ia tahu bahwa ia memiliki seseorang yang mencintainya. Dan itu cukup untuk membuatnya bertahan satu hari lagi.

****

Pagi itu, Amira terbangun lebih awal seperti biasa, bersiap menjalani hari baru dengan semangat yang ia paksakan. Namun, rutinitasnya sedikit berbeda. Bu Ratna memintanya pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan bulanan.

"Amira, kamu pergi ke pasar dengan Loli," perintah Bu Ratna sambil menyerahkan daftar belanja. "Dia itu semakin malas saja. Mungkin kalau disuruh pergi sama kamu, dia jadi ada kerjaan."

Amira hanya mengangguk. Ia tidak ingin membantah, meskipun ia merasa sedikit khawatir karena belum pernah pergi ke pasar itu sebelumnya. Sementara itu, Loli, yang baru saja bangun dengan wajah malas, mendesah keras.

"Kenapa harus aku yang ikut? Kan Kak Amira saja cukup!" protes Loli.

"Loli, kamu itu bukan tamu di rumah ini. Sudah lulus sekolah, bukannya bantu-bantu malah makin santai. Kalau tidak mau bantu, cari kerja sana!" kata Bu Ratna dengan nada kesal.

Akhirnya, Loli dengan enggan bersiap-siap, sementara Amira memastikan dirinya membawa cukup uang dan tas belanja.

Setibanya di pasar, hiruk-pikuk pedagang dan pembeli membuat Amira merasa sedikit gugup. Ia mencoba mengikuti langkah Loli yang berjalan di depannya sambil memainkan ponsel.

Namun, sebelum Amira sempat memahami arah mana yang harus ia tuju, Loli tiba-tiba berhenti dan berbalik.

"Kak Amira, kamu kan sudah pegang daftar belanja. Aku ada urusan sebentar. Kamu selesaikan sendiri saja, ya," katanya sambil tersenyum tipis, lalu berbalik dan berjalan pergi begitu saja.

"Loli! Tunggu!" panggil Amira, tetapi Loli tidak menoleh.

Amira berdiri terpaku di tengah keramaian pasar, bingung harus mulai dari mana. Ia memandangi daftar belanja di tangannya sambil mencoba mengingat arahan Bu Ratna tadi pagi. Namun, pasar ini begitu luas, penuh dengan gang-gang sempit yang terlihat sama.

Dengan langkah hati-hati, Amira mencoba mencari barang-barang di daftar itu. Namun, semakin jauh ia berjalan, semakin bingung ia menjadi. Ia salah masuk gang beberapa kali, membuatnya semakin cemas.

Ketika rasa putus asa mulai menyerang, Amira tiba-tiba mendengar suara yang familiar.

"Amira? Kamu ngapain sendirian di sini?"

Amira menoleh dan melihat Bu Sari berdiri di depannya dengan keranjang belanja di tangan. Wajah ramah perempuan itu langsung memberikan rasa lega pada Amira.

"Bu Sari... syukurlah saya ketemu Ibu," kata Amira sambil tersenyum kaku. "Tadi saya datang ke sini sama Loli, tapi dia tiba-tiba pergi."

Bu Sari menggeleng pelan, memahami situasi tanpa Amira perlu menjelaskan lebih lanjut. "Anak muda sekarang memang banyak yang kurang bertanggung jawab," gumamnya. "Ayo, sini ikut saya. Kita belanja bareng. Kamu belum tahu seluk-beluk pasar ini, kan?"

Amira mengangguk penuh rasa syukur. Bersama Bu Sari, ia mulai mencari barang-barang di daftar belanja. Bu Sari dengan sabar membantu menunjukkan tempat-tempat terbaik untuk membeli kebutuhan dengan harga yang lebih murah.

"Kamu memang sabar sekali, Amira," kata Bu Sari sambil tersenyum. "Kalau jadi kamu, mungkin saya sudah marah-marah tadi."

Amira tersenyum kecil. "Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik, Bu."

Setelah semua belanjaan selesai, Amira dan Bu Sari berjalan menuju pintu keluar pasar. Namun, di sudut pasar yang sepi, mereka melihat sosok yang familiar. Loli sedang duduk di bangku kayu, tertawa-tawa bersama seorang pemuda yang tampak seperti pacarnya.

Amira berhenti sejenak, ragu apakah harus menghampiri atau tidak. Bu Sari, yang juga melihat pemandangan itu, hanya menggeleng pelan.

"Itu Loli, kan?" tanya Bu Sari.

Amira mengangguk, merasa canggung.

"Kamu diam saja. Jangan sampai dia merasa disalahkan. Nanti malah kamu yang kena marah," saran Bu Sari.

Amira setuju. Ia memutuskan untuk tidak menghampiri Loli dan langsung pulang. Namun, dalam hati, ia merasa kecewa karena harus menanggung semua beban belanja sendirian sementara Loli asyik bersenang-senang.

Sesampainya di rumah, Bu Ratna sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya langsung berubah saat melihat Amira datang sendirian dengan tas belanja yang penuh.

"Loli mana?" tanya Bu Ratna tajam.

Amira meletakkan belanjaan di meja dan menjawab dengan hati-hati, "Dia tadi bilang ada urusan sebentar di pasar."

Bu Ratna menghela napas panjang. "Anak itu memang makin malas saja. Terima kasih sudah beres belanjanya, Amira. Tapi kalau lain kali dia seperti itu lagi, langsung bilang ke saya."

Amira hanya tersenyum tipis dan mengangguk, meskipun dalam hati ia tahu bahwa Bu Ratna tidak akan benar-benar menegur Loli.

Malam itu, setelah Angga pulang, Amira menceritakan apa yang terjadi di pasar, meskipun ia menyembunyikan perasaan kecewanya.

"Angga, Loli tadi pergi entah ke mana di tengah belanja. Untung saja ada Bu Sari yang membantu," kata Amira.

Angga menggelengkan kepala. "Aku akan bicara dengan Loli. Dia tidak seharusnya membiarkan kamu sendirian seperti itu."

Namun, Amira tahu bahwa percakapan itu mungkin tidak akan mengubah banyak hal. Ia hanya berharap suatu hari nanti, ia bisa mendapatkan sedikit lebih banyak penghargaan di rumah ini. Hingga saat itu tiba, ia akan terus menjalani hari-harinya dengan sabar, meskipun hatinya terus diuji.

1
Aini Qu
Lumayan
Sri Wahyuni
bagus karya ini,.... ini realisasi kehidupan nyata
Non Mey: Makasih Kakak 🩷
total 1 replies
karya yang bagus, semoga kedepannya Amira punya keberanian untuk melawan mertuanya.gedek juga lihatnya
sangat keren
lanjutkan kakak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!