Kiana hanya mencintai Dio selama sembilan tahun lamanya, sejak ia SMA. Ia bahkan rela menjalani pernikahan dengan cinta sepihak selama tiga tahun. Tetap disisi Dio ketika laki-laki itu selalu berlari kepada Rosa, masa lalunya.
Tapi nyatanya, kisah jatuh bangun mencintai sendirian itu akan menemui lelahnya juga.
Seperti hari itu, ketika Kiana yang sedang hamil muda merasakan morning sickness yang parah, meminta Dio untuk tetap di sisinya. Sayangnya, Dio tetap memprioritaskan Rosa. Sampai akhirnya, ketika laki-laki itu sibuk di apartemen Rosa, Kiana mengalami keguguran.
Bagi Kiana, langit sudah runtuh. Kehilangan bayi yang begitu dicintainya, menjadi satu tanda bahwa Dio tetaplah Dio, laki-laki yang tidak akan pernah dicapainya. Sekuat apapun bertahan. Oleh karena itu, Kiana menyerah dan mereka resmi bercerai.
Tapi itu hanya dua tahun setelah keduanya bercerai, ketika takdir mempertemukan mereka lagi. Dan kata pertama yang Dio ucapkan adalah,
"Kia, ayo kita menikah lagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana_Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
(Warning! Selalu perhatikan tanggal yang tertera yaaa)
...20 Maret 2018...
Ain't never felt this way,
Can't get enough so stay with me,
It's not like we got big plans,
Let's drive around town holding hands.
And you need to know,
You're the only one, alright, alright.
And you need to know,
That you keep me up all night, all night.
Oh, my heart hurt so good,
I love you, babe, so bad, so bad ....
Oh, oh my heart hurts so good
I love you babe, so bad, so bad ....
Dalam rasa sepi, alunan lagu Lany memenuhi isi kamar Kiana. Meski matanya berhadapan dengan laptop, tidak demikian dengan isi pikirannya. Ia sedang melanglang buana, berpindah pada kenang demi kenang di satu bulan sebelum akhirnya ia menikah.
Bila dipikirkan kembali, Kiana memang sangat dibutakan cinta. Ia yang selalu menyukai Dio diam-diam, tiba-tiba terkejut bukan main kala Maura mengatakan bahwa mereka ada janji makan malam dengan Dio dan temannya –Rayn– yang merupakan gebetan Maura.
Kiana tidak terpaksa sama sekali, tentu saja. Ia dengan senang hati minta ditemani Andara dan Maura untuk membeli baju baru demi bisa makan malam bersama dengan Dio. Fyi, sekalipun Kiana dan Dio dulu juga satu kampus di ENS Paris, ia tetap tidak pernah berada dalam hubungan lebih jauh dari sekedar teman satu Negara, satu sekolah SMA.
Bisa makan malam dengan Dio a.k.a double date –yah walau tidak bisa dibilang date juga– adalah rekor terbaik dalam perjalanan cinta Kiana.
Dan malam itu, Kiana benar-benar dibuat jatuh cinta. Dio yang hanya bisa dikaguminya diam-diam, memperlakukannya dengan baik dan perhatian. Bagaimana Dio memotong steik miliknya, menemani Kiana ke toko buku sebab ogah menonton film horror yang disiapkan Maura juga mengantarnya pulang hingga bertemu dengan ayah dan mamanya.
Anehnya, keesokan harinya, Dio meminta Kiana untuk menjadi kekasihnya.
Dan sebulan setelah berpacaran, Dio meminta Kiana untuk menjadi isterinya.
Sesingkat itu.
Semudah itu.
Kiana terus terpekur. Mungkin sejak awal, dirinyalah yang tak pernah waspada. Rasa cintanya yang besar justru mengartikan sikap 'biasa saja' sebagai sesuatu yang istimewa. Hingga akhirnya, Kiana terjebak. Keluar pun tak bisa, bertahan pun sama sulitnya.
Kiana hanya sebentuk pelarian dari sebuah kisah yang kandas. Kisah sejati antara Dionata Dierja dan Rosiana Sjahna.
Merasa pusing di kepalanya kembali menyerang, Kiana memilih menutup laptopnya. Ia kembali ke pembaringan. Diletakkannya kaca mata di nakas dan siap untuk memejamkan kembali mata. Hingga sebuah ketukan di pintu mencegahnya.
"Kia ... udah tidur?"
Suara Dio. Kiana tahu, ia seharusnya memilih berpura-pura tidur. Rasa sakit hatinya mengatakan untuk menghindari Dio bagaimana pun caranya. Namun, kadang, manusia yang dilengkapi akal sehat sekalipun, lebih mengedepankan perasaannya. Di mana, kebanyakan logika buntu di sana.
Kiana tak menjawab. Ia memilih bangkit untuk membuka pintu.
"Kamu masih sakit?"
Laki-laki itu berdiri di depan Kiana. Wajah yang selalu berekspresi datar dan dingin kini berubah khawatir. Di tangannya, sebuah nampan berisikan bubur ayam, air mineral, juga obat pereda sakit.
"Aku nggak sakit."
"Tapi kata Mbok Dar kamu belum makan dari siang." Kiana belum mengizinkannya masuk, namun laki-laki itu justru masuk ke dalam kamar kiana dan meletakkan makanannya di atas nakas. "Badan kamu panas." Tangannya bergerak pada dahi Kiana, mengecek suhu tubuh perempuan itu.
Dio memang sesulit itu ditebak. Ia adalah laki-laki yang sama dengan laki-laki yang meninggalkan Kiana kemarin demi perempuan lain. Perubahan yang membingungkan, membuat Kiana menyingkirkan punggung tangan Dio dari dahinya.
"Ini cuma demam."
"Demam bukan cuma."
"Tapi aku nggak apa-apa."
"Kamu sakit."
Dio menyentuh bahu Kiana dengan kedua tangannya. Setengah memaksa, laki-laki itu menyuruh Kiana duduk di ranjang. Lantas kemudian, ia mengambil bubur ayam yang tampaknya masih hangat.
"Kamu makan. Mau aku aduk atau nggak?"
Kiana menatap Dio penuh dengan tanda tanya. Bagi Kiana, Dio justru semakin membuat langkahnya bingung. Ia bermaksud mundur, namun mengapa laki-laki itu sekarang seperti tengah menahan langkahnya?
"Aku bisa makan sendiri, mending kamu istirahat."
Dio menatap Kiana sayu. "Aku tahu aku salah. Maaf."
"Kamu sadar, 'kan sudah nyakitin aku?" Kiana tak bisa membendung air matanya. Rasa kecewanya seperti berkumpul menjadi satu, menyeruak dengan lantang, menimbulkan sesak yang bukan kepalang.
"Maaf."
"Kenapa kita harus nikah kalau kamu nggak sayang sama aku?"
Dio meletakkan kembali mangkok buburnya. Pandangannya teralih pada jendela kamar. "Karena ... kamu orang yang tepat."
Haaah ... Kiana lelah.
"Tepat untuk kamu sakitin?"
"Aku nggak bermaksud begitu. Maksudku ... eyang, ayah, ibu, mereka menyukai kamu. Jadi aku rasa itu tepat."
"Tapi kamu nggak!"
"Maaf."
Kiana memijit dahinya lagi, pening lagi.
"Sekarang kamu makan dulu."
Dio mengambil mangkok buburnya. "Aaaa dulu."
Kiana bergeming.
"Mau aku cium biar kamu mau buka mulut?"
"Orang gila."
"Makanya makan."
Kiana akhirnya menurut meski tetap tidak habis. Setelah itu Dio memberikannya obat yang tadi dibelinya dari apotik.
"Sekarang istirahat. Kata ibu, mulai besok kamu mau bantu ibu di yayasan, 'kan? Kalau besok masih enggak enak badan, biar aku bilang ibu."
Kiana hanya diam. Setengah mengabaikan Dio karena hatinya masih kesal.
"Good night."
Dio bangkit. Ia memilih melangkah meninggalkan Kiana yang menatap punggungnya keluar dari kamar. Tiba-tiba, bayangan kemarin saat ia bergegas menemui Rosa kembali hinggap. Bayangan yang sangat sulit dienyahkan.
...^^^^...
Kiana terkejut saat ia membuka mata. Ada handuk yang setengah kering di dahinya. Di sisi ranjangnya, Dionata Dierja si laki-laki dingin itu sedang tertidur dengan posisi terduduk. Jemarinya menggenggam jemari Kiana.
Untuk sesaat, Kiana terdiam. Ia menikmati pemandangan yang ada di hadapannya. Wajah Dio yang anehnya tetap saja tampan meski sedang tertidur. Matanya yang terpejam membuat Kiana bisa dengan jelas melihat bulu matanya yang ternyata lebih panjang dan lentik. Pipi Dio yang berbantal sebelah lengan kanannya, nampak chubby dan menggemaskan.
Pada akhirnya, Kiana menyadari satu hal.
Ia tidak benar-benar ingin mengakhiri pernikahannya sekalipun laki-laki yang ada di hadapannya itu tidak mencintainya.
Ia tahu, sejak awal, ia yang mencintai Dio.
Ia yang ingin menikah dengannya.
Ia yang ingin hidup bersama dengannya.
Itu semua keinginannya.
Lalu ... kenapa ia masih serakah dengan memaksa laki-laki itu untuk mencintainya juga?
Ia hanya perlu terus mencintai Dio seperti ini. Bertahan dan terus bertahan.
Lalu bila suatu ketika, rasa cinta miliknya tak lagi cukup untuk membuat dirinya bertahan, maka hari itu, Kiana baru akan melepaskan tangannya. Melepaskan Dionata untuk kebahagian dirinya juga laki-laki itu.
Sekali ini saja, biar Kiana egois.
Sekali saja.
"Kamu sudah bangun?" sapa Kiana.
Laki-laki itu hanya menggumam, mengucek matanya pelan. Tidak menjawab, tangannya justru sibuk mengambil handuk di dahi kiana dan mengecek suhu tubuh perempuan itu. "Syukurlah udah nggak demam."
"Kamu kapan masuk ke sini?"
"Tadi malam. Aku cuma mau ngecek demam kamu yang anehnya malah naik makin panas. Jadi aku putuskan buat kompres dahi kamu." Dio mengambil handuk dan wadah air yang dibawanya. "Aku siapin sarapan kamu dulu." Lalu kemudian berdiri.
Sayangnya, langkahnya tertahan. Kiana memegang tangan Dio pelan. Laki-laki itu menatap Kiana.
"Ada yang kamu pengen?"
"Iya."
"Apa? Nanti aku buatin atau pesenin."
"Kamu."
"Hah?"
"Aku mau egois dengan terus sayang sama kamu sekalipun kamu nggak sayang sama aku. Kalau suatu hari aku sudah lelah, aku baru mau lepasin kamu."
...^^^...
JANGAN LUPA TEKAN LIKE