Not Life In A Dream

Not Life In A Dream

BAB 1

BAB 1

“Sah”.

Satu kata yang telah merubah hidupku 180° atau bahkan lebih.

Suara orang–orang menggema di sepenjuru masjid. Bersahutan dengan suara Mbah Kakung yang langsung memanjatkan doa keberkahan untukku.

Sedangkan aku, hanya bisa terdiam terpaku disini. Ditempat aku duduk. Dibagian shof khusus untuk jamaah putri. Tampa gaun pengantin, tampa riasan cantik diwajahku, dan pastinya tak ada henna cantik yang menghiasi jari jemariku.

Hanya gamis simpel yang untungnya kumasukkan kedalam tasku kemarin pagi persiapan untuk ganti apabila aku dan keluargaku menginap ditempat ini.

Masa bodo dengan orang yang ada didepan sana. Entah pakaian apa yang dipakai atau entah bagaimana rupanya aku pun aslinya tak peduli.

Masa bodo lagi dengan adab yang selama ini orangtuaku ajarkan bahkan sejak aku belun tau apa-apa. Kalau aku tak ingat dengan rasa malu karena menjadi pusat dari seribu lebih para santri putri dan lagi entah berapa ribu santri putra diluar sana. Mungkin aku sudah berlari dengan sekuat tenaga.

Usapan halus ditanganku akhirnya menjadi pancing yang berhasil menarik kesadaranku. Kutengok kananku, pelaku tersebut dengan senyum yang begitu cerah memandangku dengan penuh sayang. Setidaknya itulah yang kutangkap dari gelagatnya.

Yah beliau ibu orang didepan sana entah dimana tepatnya posisinya aku pun sejatinya tak begitu tau.

Di sisi kiriku ibuku tampak tak kalah tengang denganku sambil kedua tangannya saling bertautan.

Saat pikiranku baru saja kembali keasalnya. Dia datang.

Menyingkap satir pembatas antara bagian putra dengan bagian putri. Dengan wajah yang sedikit anoying menurutku.

Apakah dia tak seburuk yang kupikirkan atau malah sebaliknya entahlah. Mari kita lihat bersama apa yang akan dia lakukan saat ini.

*******

Ketukan keras terdengar dari arah pintu kamarku. Aku tau siapa pelakunya si anak kebanggaan ibu yang selalu disayang- sayang setiap saat setiap setiap waktu. Entah ini hanya ada dalam keluargaku atau berlaku juga pada keluarga yang lain diluar sana bahwa si sulung yang super duper manja dengan ibu yang juga entah sadar atau tidak kalau sangat memanjakannya.

Entahlah aku malas memikirkannya saat ini.

“Kak”. Ketukan semakin keras dengan aku sang objek semakin malas menyahuti anak itu.

“Kak..... kakak dipanggil ayah tuh. Cepetan gak ada lama”. Kalimat terakhirnya setelah sedari tadi membuat rumah berisik dengan teriakannya.

“Ya”. Jawabku akhirnya itu pun karena ada kata ayah yang dia ucapkan.

Pasti ada yang penting kalau pagi- pagi gini ayah sudah memanggilku. Apa lagi beliau tahu kalau aku baru sampai rumah sebelum subuh tadi.

Rasanya badanku masih sangat sulit untuk kuajak hanya sekedar duduk . Perjalanan belasan jam dari Pasuruan ke Bekasi itu sangat melelahkan.

Akhirnya dengan sangat memaksakan diri setelah sekitar sepuluh menit aku melawan rasa kantuk aku turun kebawah menemui ayah.

“Kak”. Sapa ayah saat melihatku mendekat dengan wajah bantal masih terpampang nyata.

“Uh.. anak gadis baru bangun. Padahal langit sudah terang benderang ini”. Goda ayah mungkin agar wajah sebelku segera menghilang digantikan dengan senyum. Walaupun malah kubalas dengan rengekan.

“Mandi sana kak. Siap- siap nanti jam setengah delapanan kita berangkat”. Kata ayang yang lebih kepada sebuah perintah dari pada sebuah ungkapan.

“Ihh.. kok cepet banget sih yah, kakak masih mau tidur dulu”. Jawabku masih sedikit merengek.

“Udah ih sana mandi biar seger tuh wajah”. Tambah ibu yang datang sambil membawa kopi dan juga gorengan untuk ayah.

“Ibuuu aku mau tidur dulu, capek masihan pegel semua ini loh mintak dipijit”. Jawabku lagi kini untuk surgaku.

“Mbah Kakung udah telfon terus kak sejak kemaren. Tadi aja sepulang ayah dari masjid Mbah Kung udah telfon lagi tanya kakak udah sampek rumah belum. Terus kalo udah sampek suruh buru- buru kesana pokoknya sebelum sore kata Mbah Kung”. Kata ibu yang berusaha menjelaskan apa yang terjadi.

“Emang kenapa sih bu, kok mbah kung tumben nanyain aku sampek beliau maksa banget mau ketemu aku”. Tanyaku memastikan dan sejujurnya juga kepo parah.

“Ayah ibu juga gak tau kak tiba- tiba tempo hari telfon langsung nanyain kakak. Padahal kan biasanya beliau kalo telfon mau ada rihlah atau apa. Ini kok malah ya langsung tanya Aliya besok pulangin ya”. Jelas ibu lagi. Mungkin juga takut aku salah faham atau apa.

“Masak Mbah kung nyebut namaku sih. Perasaan setiap kali aku sowan kesana lo mbah kung gak pernah tuh manggil nama aku pasti manggilnya gini “he he Maya cilik mrene o” pesti gitu tuh”. Kataku yang sejujurnya juga begitu tak menyangka.

“Udah sana cepetan mandi terus siap- siap. Gak usah rapi- juga gak papa kak kalo masih capek. Nanti kita mampir di reas area atau pom bensin buat beres- beres”.

“Ya udah deh”. Jawabku sembari beranjak dari ruang keluarga.

Entah kenapa setelah mendengarkan penjelasan dari mereka perasaan ku malah tak enak. Pasti ada apa- apa. Apa lagi beliau juga menyebut manaku alih- alih nama ibu yang juga bisa jadi namaku kalo yang makai mbak kung.

Bekasi- Pekalongan lumayan menguras tenaga. 5 jam perjalanan benar- benar kugunakan untuk tidur hampir selama perjalan penuh.

Akhirnya perjalanan berakhir tepat saat jarum jam menunjuk angka 2 siang. Gerbang yang menjulang tinggi langsing menyambut kami.

Nampak beberapa santri saling bahu membahu membersihkan area pondok. Sisa- sisa jamaah yang mengikuti pengajian umum masih sangat jelas terlihat. Pengajian yang selalu diadakan setiap sebulan sekali sejak sebelum orangtuaku sendiri pun menuntut ilmu disini.

Mobil kami akhirnya berhenti diare parkir khusus untuk tamu mbah kakung dan keluarga.

Sudah lumayan lama aku tak berkunjung kesini. Mungkin sekitar tiga atau empat tahun yang lalu tahun terakhirku di bangku Madrasah Aliyah. Memori masa kecil samar berputar dalam ingatan. Aku tak ingat disaat umur berapa aku pertama kali datang ketempat ini. Tapi aku yakin pasti saat aku masih bayi pun sudah pernah kemari.

“Kak ayo”. Hardik ibu sambil menggandengku.

Suasanan yang memang sangat familiar dalam ingatan membuatku nyaman- nyaman saja disini. Pin rasanya tak jauh beda dengan tempatku menuntut ilmu di Pasuruhan sana.

Aku dan ibu langsung memisahkan diri dengan ayah juga adikku. Karena ruang tamu disini dipisah antara tamu putri dan juga dengan tamu putra. Walaupun dibawah bangunan yang sama namun dari pintu masuk sudah dibedakan.

Aku memasuki pintu samping yang memang diperuntukan untuk para tamu putri masuk. Nampak didalam ada beberapa ibu- ibu sedang saling duduk berjejer belum nampak mbah putri yang selalu menjamu tamu beliau.

Aku dengan ibu duduk berdampingan. Berhadapan dengan sekitar empat orang ibu- ibu. Tak lama nampak mbah putri datang menuju kemari.

“Loh nok wes sampek ya”. Kata mbah putri yang sepertinya diperuntukan untukku dan juga ibu. “Ini lo bu seng namane Aliya”. Kata mbah uti lagi sambil mengusap pundakku halus.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!