Rere jatuh cinta pada pria buta misterius yang dia temui di Sekolah luar biasa. Ketika mereka menjalin hubungan, Rere mendapati bahwa dirinya tengah mengandung. Saat hendak memberitahu itu pada sang kekasih. Dia justru dicampakkan, namun disitulah Rere mengetahui bahwa kekasihnya adalah Putra Mahkota Suin Serigala.
Sialnya... bayi dalam Kandungan Rere tidak akan bertahan jika jauh dari Ayahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penobatan Putri Mahkota
Bab 31-
Di dalam aula megah istana Taewon, Raja Arthur duduk di singgasananya dengan wibawa yang tak tergoyahkan. Sosoknya yang tinggi dan penuh karisma, memberikan aura seorang pemimpin yang dihormati sekaligus ditakuti. Namun, hari ini wajahnya dipenuhi ketegangan saat Tetua Vorbest, Robin De Vorbest, datang menghadap. Robin, dengan wajah yang merah padam, menyatakan ketidakpuasannya dengan nada yang penuh amarah.
"Bagaimana mungkin, Yang Mulia, sampai sekarang belum ada pemilihan resmi untuk menunjuk Putri Mahkota? Keluarga kami, khususnya Areum, telah siap untuk posisi tersebut," Robin memulai dengan tegas, suaranya menggema di seluruh aula.
Raja Arthur mengerutkan kening. la memandang Robin dengan mata yang tajam, jelas-jelas tidak terintimidasi oleh kemarahan Tetua Vorbest.
"Tetua Robin, apakah Anda mempertanyakan otoritas saya?" suara Arthur tenang, namun dingin. "Posisi Putri Mahkota bukanlah sesuatu yang bisa diperebutkan melalui pemilihan. Itu keputusan yang diambil dengan pertimbangan matang, bukan ambisi semata."
Robin tidak menyerah. "Yang Mulia, keluarga kami telah memberikan segalanya untuk kerajaan ini. Sudah saatnya kami diberi penghargaan yang pantas. Apalagi, Areum adalah pilihan yang ideal untuk posisi itu. Anda tahu betapa pentingnya aliansi strategis ini bagi stabilitas kerajaan!" Wajah Raja Arthur tetap tenang, namun tatapannya semakin tajam. "Aliansi strategis tidak ditentukan oleh paksaan atau dorongan ambisi pribadi, Tetua Vorbest. Kerajaan ini tidak akan tunduk pada kehendak keluarga mana pun, termasuk keluarga Anda."
Perdebatan semakin memanas. Robin, yang merasa didesak, semakin menaikkan suaranya. "Kalau begitu, siapa yang akan menjadi Putri Mahkota? Apakah putra mahkota Arion sudah memilihnya? Atau mungkin seseorang telah melangkah di depan kami tanpa sepengetahuan kerajaan?"
Raja Arthur terdiam sesaat, tatapannya tidak beralih dari Robin. Sejujurnya, dia sendiri belum mendapatkan informasi langsung dari putra mahkotanya, Arion, mengenai keputusan ini. Arion terkenal dingin dan penuh rahasia, bahkan terhadap ayahnya sendiri.
"Putra Mahkota Arion belum memberi tahuku apapun tentang hal itu," jawab Raja Arthur dengan tegas. "Namun, hal itu akan diumumkan pada waktunya. Saya tidak akan mempercepat keputusan yang sepenting ini hanya karena ada yang merasa tak sabar."
Robin mendesah, jelas tidak puas dengan jawaban itu. "Yang Mulia, keluarga kami takkan menerima penolakan begitu saja. Kami berhak mendapat kejelasan. Areum telah dipersiapkan untuk peran ini sejak lama.
"Apa yang keluarga Anda anggap sebagai hak, tidak selalu menjadi hak yang sah dalam pandangan kerajaan ini," tegas Raja Arthur. "Saya sarankan Anda tidak melangkah terlalu jauh, Tetua Robin. Saya menghormati kontribusi keluarga Vorbest, namun keputusan akhir ada di tangan kerajaan, bukan tuntutan keluarga."
Dengan ketegasan dan keagungan yang tak bisa disangkal, Raja Arthur menutup diskusi dengan tatapan yang menunjukkan bahwa perdebatan ini tidak akan berlanjut lebih jauh. Tetua Vorbest hanya bisa menggertakkan giginya, meski dalam hati ia bertekad untuk tidak mundur begitu saja.
Saat Tetua Vorbest berjalan keluar dari aula, hatinya penuh dengan amarah dan kekecewaan. Areum, cucunya, adalah permata keluarga, dan ia tidak akan membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja.
Aula resmi kerajaan Taewon dipenuhi dengan ketegangan yang tak terlihat. Para tetua suin serigala telah berkumpul, menanti pengumuman besar dari Putra Mahkota. Meski tanpa kehadiran Tetua Vorbest, setelah perdebatan sengitnya dengan Raja Arthur beberapa waktu lalu, suasana tetap dipenuhi bisik-bisik dan spekulasi.
Tetua Estyor, seorang pria tua bijaksana dengan janggut putih, duduk berdiskusi dengan Tetua Angeres, pemimpin yang dikenal kaku dan tegas dalam aturan adat.
"Menurutmu, siapa wanita yang berhasil memikat hati Putra Mahkota?" tanya Tetua Estyor, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.
"Aku tidak tahu. Namun satu hal yang pasti, siapa pun itu harus memiliki darah yang murni dan kehormatan yang sesuai dengan tahta kerajaan Taewon," jawab Tetua Angeres dengan nada serius. "Syukurlah keluarga Vorbest tidak berhasil merebut posisi ini. Keluarga mereka terlalu ambisius."
"Benar, Vorbest memang terlalu sering bermain di politik dalam istana, Tetua Estyor mengangguk setuju. Ketika mereka masih berbincang santai, perhatian mereka segera teralih saat Raja Arthur dan Ratu Liliana memasuki aula. Keduanya melangkah dengan penuh wibawa, menyapa para tetua yang telah berkumpul. Ratu Liliana, dengan tatapan lembut namun cermat, mengamati setiap orang yang hadir. Mereka tahu, pengumuman ini akan menentukan masa depan kerajaan Taewon.
Namun, kejutan sesungguhnya belum datang.
Langkah berat terdengar menggema di aula ketika Putra Mahkota Arion akhirnya muncul. Namun yang mengejutkan semua orang bukan hanya kehadirannya, melainkan siapa yang dia bawa bersamanya. Tangan Arion menggenggam lembut tangan seorang wanita yang wajahnya sebagian tertutup cadar. Wanita itu adalah utusan peri-sosok yang dikenal para tetua namun tidak pernah mereka bayangkan akan berdiri di sini, dalam acara resmi seperti ini.
Seisi ruangan terdiam.
Arion, dengan tatapan tegasnya, memandangi para tetua dan orang tuanya. "Aku telah membuat keputusan," katanya, suaranya penuh keyakinan. "Aku ingin menikah dengan utusan peri ini."
Sejenak, ruangan terdiam seolah waktu berhenti. Para tetua, termasuk Raja Arthur dan Ratu Liliana, tampak terkejut dengan pernyataan yang baru saja diucapkan. Raja Arthur tersenyum kecil, namun kekehan lembut keluar dari bibirnya, memecah keheningan.
"Utusan peri, putra mahkotaku? Bagaimana kau bisa menjadikan seorang utusan peri sebagai istrimu?" tanya Raja Arthur, nadanya penuh rasa penasaran, namun sedikit cemooh.
Di balik cadarnya, Rere berdiri diam, menahan gejolak dalam dirinya. Semua tatapan tertuju padanya, seolah-olah dia adalah pusat perhatian yang tidak diinginkan. Namun, dia tahu, ini semua bagian dari rencana. Dia tidak boleh menyerah atau menunjukkan keraguannya, apalagi mengungkapkan rahasia tentang bayi yang dikandungnya.
Tetua Angeres, yang duduk tak jauh dari sana, langsung melayangkan protes. "Ini tidak masuk akal! Posisi Putri Mahkota adalah posisi yang terhormat. Bagaimana mungkin seorang utusan peri, yang tak memiliki kedudukan atau darah murni, bisa menduduki posisi ini? Ini penghinaan terhadap aturan dan tradisi kita!"
Rere mengepalkan tangannya di balik jubahnya, berusaha menahan kekesalannya. Dia tahu, dirinya dianggap rendah, hanya karena statusnya sebagai utusan peri. Padahal, tak ada yang tahu perannya yang jauh lebih besar di balik layar.
Namun, sebelum Rere bisa berkata apa-apa, Arion melangkah maju dan menatap Tetua Angeres dengan tajam. "Aku tidak peduli dengan aturan atau tradisi lama. Hanya ada satu alasan untuk memilih seorang istri, dan itu adalah cinta. Dan aku hanya mencintai utusan peri ini. Aku tidak akan menikahi wanita lain."
Pernyataan tegas Arion mengundang keheningan yang lebih mendalam di antara para tetua. Sebagian dari mereka terkejut, sebagian lagi mulai khawatir dengan keputusan putra mahkota yang dianggap impulsif ini. Bahkan Ratu Liliana tampak bingung dan mulai mempertanyakan langkah Arion, meskipun dia mengenal sifat keras kepala putranya.
Di belakang cadar, Rere menunduk, menyembunyikan kekacauan batinnya. Apa yang diucapkan Arion hanyalah kebohongan belaka, bagian dari perjanjian mereka untuk menikah kontrak. Mereka sepakat bahwa ini hanyalah strategi politik untuk sementara, namun kata-kata itu masih menghantam hatinya. Fakta bahwa Arion tak lagi mengingat hubungan mereka, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, membuat situasi ini terasa lebih berat.
Raja Arthur menghela napas panjang, pandangannya beralih dari Arion ke Rere. "Jika itu yang kau inginkan, Arion, maka aku takkan menghalangimu. Namun, ingat, keputusan ini akan memiliki konsekuensi besar bagi kerajaan.
Arion menatap ayahnya tanpa ragu. "Aku siap menghadapi konsekuensi apapun."
Sementara itu, di balik wajah tenangnya, Rere tahu bahwa permainan ini baru saja dimulai, dan posisinya di tengah kekuasaan serta politik kerajaan Taewon akan jauh lebih rumit dari yang pernah dia bayangkan.
Rere berdiri di depan jendela kamarnya, menatap langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Udara malam yang sejuk seolah menenangkan, namun tidak cukup untuk meredakan kegelisahan yang terus menggerogoti hatinya. Sejak Arion memperkenalkannya sebagai calon Putri Mahkota, rasa cemas itu semakin memburuk, membebani pikirannya siang dan malam.
Dahulu, di dunia manusia, hubungan mereka terasa jauh lebih sederhana, atau setidaknya itulah yang dia pikirkan pada awalnya.
Namun kenyataannya, Arion hanya
memanfaatkannya menjadikannya bagian dari rencana yang lebih besar, lalu memberinya ramuan kontrasepsi tanpa pertimbangan.
Rere menelan pil pahit saat mengingatnya. Betapa bodohnya dia saat itu, berpikir bahwa semuanya mungkin lebih dari sekadar politik, lebih dari sekadar rencana dingin tanpa hati. Tapi kini, berdiri di jendela istana Taewon yang megah, dia merasa terjebak dalam kebohongan yang lebih besar. Arion seolah-olah tidak pernah merasa bersalah atas apa yang terjadi di masa lalu. Wajahnya yang dingin dan sikap tegasnya tak pernah menunjukkan penyesalan atau rasa bersalah. Dia, yang pernah begitu jauh dari jangkauan, kini berada di sampingnya, namun perasaannya terhadapnya tetap menjadi misteri.
Rere menggigit bibirnya, matanya memandangi bulan yang tergantung di langit malam. *Apa yang sebenarnya kuharapkan? pikirnya. *Aku tahu ini semua karena prosesi Maros sialan itu. Kenapa aku harus berharap lebih dari Arion? Tentu saja, hubungan mereka diwarnai oleh ambisi, kekuasaan, dan takdir yang menyakitkan. Segala hal yang pernah terjadi di antara mereka tidak lagi relevan. Namun, entah bagaimana, bayangan masa lalu itu terus menghantuinya, seakan tak mau pergi.
Kegundahan yang menyelubungi hatinya tak dapat ia abaikan begitu saja. Rere menghela napas panjang, dadanya terasa berat seiring dengan pikirannya yang semakin berkecamuk. Mana yang disalurkan untuk bayi di dalam kandungannya semakin terbatas, dan itu membuat tubuhnya sering lemah. Apalagi dengan tekanan menjadi calon Putri Mahkota, tanggung jawab yang menumpuk hanya menambah beban pada bahunya.
Sementara Rere larut dalam pikirannya, Undine yang berdiri di dekatnya mengamati dalam diam. Sebagai peri kecil yang setia, Undine bisa merasakan perubahan suasana hati Rere dengan mudah. Matanya yang besar dan cerah menatap Rere dengan penuh kepedulian, mengetahui betapa berat beban yang ditanggung oleh wanita hamil itu.
"Rere," suara lembut Undine memecah keheningan malam. "Kau terlihat sedih... Apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu merasa lebih baik?" Rere tak langsung menjawab. Dia masih menatap langit, seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang. Undine yang merasa Rere tidak sedang ingin bicara, perlahan melayang lebih dekat, lalu hinggap di bahu Rere dengan hati-hati. Sentuhan hangat dari sayap Undine yang lembut membuat Rere sedikit terhibur.
"Aku hanya... Rere menghela napas lagi, mencari kata-kata yang tepat. "Aku hanya merasa terjebak, Undine. Semuanya... segalanya terasa terlalu cepat. Dulu, aku berpikir aku bisa melupakan semuanya, menjalani hidupku tanpa mengingat apa yang terjadi. Tapi sekarang? Arion seolah tidak pernah peduli, dan aku... aku tidak tahu harus bagaimana."
Undine menunduk, merasakan betapa dalam kekecewaan yang Rere rasakan. "Kau tidak sendirian, Rere. Aku akan selalu ada untukmu. Lagipula, bayi kecil dalam kandunganmu membutuhkan kekuatanmu. Dan aku yakin, meskipun Arion tidak mengingat semuanya sekarang, kebenaran akan terungkap pada waktunya."
Rere tersenyum tipis mendengar kata-kata Undine. Meski kecil, peri itu selalu mampu memberinya sedikit ketenangan. "Kau benar, Undine. Bayi ini... dia adalah masa depanku. Tak peduli apa yang terjadi dengan Arion, aku harus kuat untuknya."
Undine tersenyum cerah, lalu terbang memutar di sekitar kepala Rere, berusaha membuat suasana hati tuannya menjadi lebih ringan. "Lihat? Kau lebih kuat dari yang kau kira! Dan lagi, kau tidak perlu terlalu memikirkan apa yang Arion rasakan. Yang penting adalah apa yang kau rasakan. Kau sudah melakukan yang terbaik, dan aku yakin semuanya akan baik-baik saja."
Rere menatap Undine dengan rasa terima kasih yang mendalam. Peri kecil itu benar. Dia tidak bisa terus membiarkan bayang-bayang masa lalu menghantui dirinya dan memengaruhi keputusannya. Meskipun Arion tampak tak peduli, dia memiliki dirinya sendiri dan bayi yang harus dilindungi. Apapun yang terjadi ke depannya, dia tahu bahwa hidupnya kini bukan hanya tentang masa lalu dengan Arion, tapi juga tentang masa depan yang akan ia ciptakan bersama anak yang dikandungnya.
Perlahan, Rere kembali duduk di dekat jendela, menenangkan dirinya. Dalam heningnya malam, dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa apapun yang terjadi, dia akan tetap berdiri kuat, untuk dirinya sendiri dan untuk bayi yang akan segera lahir ke dunia.
Namun, di balik keteguhan hati yang perlahan ia bangun, tetap ada kegelisahan yang tersisa. Bagaimana mungkin dia bisa terus menyembunyikan kebenaran dari Arion? Bagaimana mungkin, dengan semua perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya, dia bisa bertahan dalam kebohongan yang semakin lama semakin sulit disembunyikan?
pliz jgn digantung ya ...
bikin penasaran kisah selanjutnya
apa yg dimaksud dgn setengah peri dan manusia? apakah rere?