Asyifa rela jadi adik madu dari Naura, wanita cantik yang bersosialita tinggi demi pendidikan yang layak untuk kedua adiknya. Hanya saja, Adrian menolak ide gila dari Naura. Jangankan menyentuh Asyifa, Adrian malah tidak mau menemui Asyifa selama enam bulan setelah menikahinya secara siri menjadi istri kedua. Lantas, mampukah Asyifa menyadarkan Adrian bahwa keduanya adalah korban dari perjanjian egois Naura, sang istri pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Satu - SAH
“Saya tidak mau melanggar perjanjian saya dengan Mbak Naura, Pak,” jawab Asyifa.
“Bukan itu jawaban yang aku inginkan, Asyifa! Aku hanya ingin satu jawaban darimu, kamu mencintai aku atau tidak. Ya, atau tidak! Itu yang ingin kudengar dari mulutmu!” tekan Adrian.
“Saya belum memikirkan jawaban apa pun, saya hanya ingin semuanya berjalan lancar sesuai dengan perjanjian, itu saja, Pak!”
Adrian mengusap kasar wajahnya, lalu menyugar rambunya. Jawaban yang ingin ia dengar, tidak sedikit pun dilontarkan oleh Asyifa. Adrian paham dengan keadaan. Meski ia melihat sorot mata Asyifa yang terlihat mencintainya, tapi Asyifa memilih menghargai kakak madunya.
“Jadi kamu gak mau menjawabnya, Asyifa?” tanya Adrian lagi.
“Itu jawaban saya, dan tolong hargai jawaban saya, Pak,” jawab Asyifa.
“Baiklah, saya tidak akan memaksa kamu untuk menjawabnya, untuk apa dijawab kalau dalam hatimu berkata lain? Aku bisa menebak perasaanmu padaku dari sorot matamu, Asyifa. Aku paham itu, dan aku yakin jawabanmu bahwa kamu mencintaiku,” ucap Adrian.
“Jangan menerka-nerka, Pak. Sudah malam bapak mau pulang atau menginap di sini. Ada Mbak Naura di rumah, lebih baik bapak pulang saja,” ucap Asyifa.
“Kamu mengusirku, Asyifa?”
“Bapak sudah sebulan lebih di sini, Mbak Naura sekarang di rumah, saya harap bapak bisa adil akan hal itu,” ucap Asyifa.
Benar apa yang Asyifa katakan. Namun, Adrian tidak mau dekat dengan Naura. Entah kenapa rasanya sudah tidak senyaman dulu bersama Naura. Apalagi setelah Naura melakukan ide gila menyuruh dirinya menikah lagi.
**
Dua minggu berlalu, Adrian berhasil membujuk Asyifa untuk melaksanakan pernikahan ulang, supaya pernikahannya itu sah di mata hukum dan agama. Setelah Asyifa pertimbangkan sisi baik dan buruknya, memang dia harus menikah sah dengan Adrian, itu semua demi keturunannya nanti, apalagi setelah melahirkan Asyifa harus menyerahkan anaknya untuk Naura dan Adrian, jadi dia harus membuat anaknya itu benar-benar sah anak Adrian secara hukum, agar tidak bisa dipermainkan oleh Naura, jikalau Naura nantinya hamil dan memiliki anak.
“Panggil mama saja, Nak. Saya juga mamamu,” ucap Rosa, ibu dari Adrian.
“I—iya, Ma.” Jawab Asyifa.
“Terima kasih, kamu mau menikah dengan anak Mama satu-satunya. Mama butuh penerus lagi dalam keluarga besar Mama, kalau bukan anak Adrian mau siapa lagi? Naura benar-benar perempuan tidak tahu diri! Maunya hanya uang Adrian saja untuk bersenang-senang, untuk liburan, foya-foya denagan teman sosialitanya!” ucap Unt dengan raut wajah penuh dengan kekecewaan.
“Mama jangan begitu, mungkin Mbak Naura ada alasan sendiri kenapa tidak mau hamil. Ya meskipun keputusannya sangat melawan kodratnya sebagai perempuan? Di luar sana, banyak sekali perempuan yang ingin hamil, entah kenapa Mbak Naura tidak ingin merasakan hamil,” ujar Asyifa.
“Mama juga kaget, saat Adrian mengatakan hal seperti itu. Lebih kaget lagi Naura mencarikan perempuan untuk Adrian nikahi, dan perempuan itu kamu,” ucap Rosa.
Rosa memang ingin mencarikan madu untuk anaknya, karena Naura sudah sepuluh tahun belum kunjung hamil. Rosa kira Naura ada kelainan di dalam rahimnya, ternyata rahim Naura sehat dan baik-baik saja. Ternyata Naura tak kunjung hamil karena memang tidak ingin hamil, takut bentuk tubuhnya yang indah menjadi rusak setelah hamil dan melahirkan.
**
Akhirnya Adrian dan Asyifa sah menjadi suami istri. Pernikahan yang disaksikan oleh kedua orang tua Adrian, juga orang kepercayaan Adrian yaitu Yoga. Wali Asyifa pun sah, karena yang menjadi wali adalah pamannya, adik dari almarhum ayahnya. Adrian rela menjemput keluarga pamannya Asyifa yang di luar jawa, karena dia ingin sekali pernikahannya dengan Asyifa bukan pernikahan untuk permainan saja, seperti yang Naura harapkan.
Pernikahan mereka digelar di kediaman Asyifa, itu semua karena rumah Asyifa yang baru hanya Adrian dan Yoga yang tahu. Kalau di selenggarakan di rumah orang tua Adrian, Adrian takut ada yang membocorkannya pada Naura, karena semua itu belum saatnya Naura tahu.
Semua orang sudah meninggalkan rumah Asyifa, hanya ada Adrian dan Asyifa yang masih sibuk membersihkan sisa-sisa acara tadi. Tidak pernah Adrian melakukan hal seperti itu, membantu istrinya untuk membersihkan rumah. Selama ini urusan rumah diserahkan pada pembantunya, namun Asyifa yang tidak mau memakai jasa pembantu, membuat Adrian merasa kasihan jika Asyifa sendiri yang mengerjakan.
“Biar saya saja, Pak. Bapak istirahat saja,” ucap Asyifa.
“Biar saya bantu.” Adrian tetap membatu Asyifa membersihkan rumah.
“Pak, bapak lebih baik pulang saja, toh saya masih belum selesai datang bulannya?” ucap Asyifa.
“Kamu bilang apa barusan? Kau menyuruh pengantin baru berpisah?”
“Bu—bukan begitu, Pak. Bapak juga kan harus adil, lagian saya sedang datang bulan, bapak lebih baik pulang saja ke rumah Mbak Naura.”
“Aku tetap di sini, Fa!” tegasnya.
“Pak, hargai Mbak Naura, jangan seperti itu.”
“Dia saja tidak pernah menghargaiku? Dia tidak pernah mau tahu apa yang aku mau, dia hanya peduli dengan teman-temannya, bukan aku, Fa”
“Ya tapi tetap saja, Pak!”
Ada benarnya juga yang Asyifa bilang, apalagi Adrian sudah lama tidak pulang ke rumah Naura, dan Naura pun acuh setelah siang itu terjadi. Sejak Adrian melakukannya dengan kasar pada Naura, Naura semakin tahu kalau Adrian sudah berpaling hatinya. Diamnya Naura bukan berarti hanya diam saja, Naura hanya ingin membebaskan suaminya, sampai mana pedulinya terhadap dirinya.
“Ya sudah saya pulang, kamu tidak apa-apa saya tinggal sendiri? Besok pagi aku akan ke sini pagi-pagi, masak yang enak, ya?” ucapnya lalu mengecup kening Asyifa.
“Baiklah, hati-hati ya, Pak,” ucap Asyifa.
Setelah mengantar Adrian ke depan, Asyifa kembali masuk ke dalam rumahnya. Sepi yang ia rasakan. Sebetulnya Asyifa masih ingin Adrian di rumahnya, tapi ia tak mau serakah. Adrian memilik dua istri, tidak mungkin Asyifa akan egois memiliki Adrian seutuhnya.
**
“Nyonya belum pulang, Bi?” tanya Adrian yang baru saja masuk ke dalam rumahnya.
“Belum, Tuan,” jawabnya.
Adrian membuang napasnya dengan kasar. Benar apa yang ia pikirkan, percuma saja pulang kalau istrinya malah masih kelayaban. Harusnya tadi dirinya di rumah Asyifa saja, daripada pulang ke rumah Naura malah membuat emosinya memuncak.
Adrian masuk ke dalam kamarnya, kamar yang sudah sepuluh tahun manjadi saksi cinta dirinya dengan Naura. Kamar yang penuh dengan kenangan indah bersama Naura. Tidak ia sangka rumah tangganya dengan Naura akan serumit ini hanya karena ia ingin memiliki seorang anak.
“Mas? Kok tumben pulang?” Naura yang baru saja masuk ke kamarnya, terlihat begitu bahagia melihat suaminya sudah berada di dalam kamarnya.
“Kamu itu harusnya dikurangin kumpul sama temannya, Ra! Ini nih, yang aku tidak suka, pulang bukannya disambut istri, malah istrinya masih kelayaban yang gak ada faedahnya!” sarkas Adrian.
“Kamu bilang apa, gak berfaedah? Aku jenuh, di rumah sebesar dan seluas ini aku sendirian, Mas!” pekiknya.
“Aku tidak ingin berdebat, bersihkan badanmu, aku tunggu di meja makan! Aku lapar!” titah Adrian.
Naura tersenyum seraya mengangguk, ia turuti saja apa yang suaminya mau, supaya suaminya tidak sadar kalau dirinya sedang merencanakan sesuatu.