Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Fotokopi
Pusat perbelanjaan, dengan penuh keramaian pengunjung. Mulai restoran, toko pakaian, tas, sepatu, hingga time zone. Ada juga toko mainan, yang selalu membuat kedua mata Khaira berbinar.
"Tante, Aila, mau beli plinses belbi," Khaira menunjuk jejeran boneka princess.
"Oke, deh. Tante, belikan."
"Yeee, tante Aila memang aling cantik."
Telunjuk kecilnya, menunjuk boneka yang ia pilih. Ia juga mengambil mainan masak-masak dan dua boneka pinguin.
"Khay, kamu tidak membeli mainan, sayang?"
"Tidak, Oma."
"Kenapa?"
"Masih ada dilumah."
"Lalu, Khay mau apa?"
"Makan esklim, boleh?"
"Boleh, dong."
Khaira, terus bercoleh dengan memeluk boneka pinguin. Tangan kirinya, digenggam sang Tante, yang meladeni obrolannya.
Mereka duduk berhadapan, di restoran. Dengan buku menu, ditangan Resti. Ia memesan lebih dulu dan Saphira. Lalu, bertanya pada dua cucunya.
"Kalian mau makan, apa?"
"Khay, mau es klim vanila. Khaira, mau apa?"
"Es klim stlobelli."
Dua es krim, dan Dua jus tomat, tersaji diatas meja. Ditemani, dua porsi cheese cake. Dua bocah, kini membisu, sibuk menyendok es krim ke dalam mulut mereka. Sherly dan Saphira, menikmati jus, sembari memperhatikan mereka.
Setiap minggu, mereka akan ke mall atau jalan-jalan ke taman bermain. Sementara, Maya tidak pernah ikut, dengan alasan pekerjaan. Padahal, Sherly dan Fira, mengetahui alasan sebenarnya.
"Habis ini, kita pulang yah?"
"Oma, Aila mau bobo dilumah Oma."
"Boleh. Nanti Oma, telpon Mami."
Sherly menggendong Khay, sementara Fira menggendong Aira. Mereka menggunakan eskalator untuk turun dilantai bawah.
"Hai, jeng," sapa Resti.
"Oh, hai." Sherly membalas, dengan terbata dan gugup. Kedua kalinya, wanita ini selalu membuatnya terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. "Sendirian?" tanya Sherly.
"Zamar," ujar Resti tiba-tiba. Kedua maniknya, menatap intens pada anak laki-laki dalam pelukan Sherly, yang memang terlihat sangat mirip, dengan Zamar saat masih kecil.
Deg.
Sherly dan Fira, membulatkan mata dan saling berpandangan. Keduanya, mengeratkan pelukan pada dua bocah itu.
"Anda datang bersama, Zamar?" Sherly mencoba mengalihkan pembicaraan dan bersikap waspada.
Resti tidak menjawab. Ia mengangkat tangan kanannya, mencoba menyentuh wajah Khaysan. Dengan refleks, Sherly mundur.
"Anda kenapa, Jeng?"
"Cucumu. Kenapa wajahnya sangat tidak asing?"
"Maksudmu?"
"Dia mirip putraku."
Sumpah. Detak jantung Sherly dan putrinya, sudah seperti baru saja berlari maraton. Fira yang mudah panik, tiba-tiba berkeringat dingin dan wajahnya sudah menengang.
"Hahaha... Anda bisa saja. Bagaimana mungkin, cucuku mirip putramu?" Sherly tertawa canggung, Fira ikut-ikutan tertawa yang dipaksakan.
"Apa na lucu Oma?"
"Tidak ada, sayang. Ini teman Oma."
"Halo, Oma cantik."
"Hai, sayang."
Resti ingin memeluknya. Namun, tentu saja Sherly tidak membiarkannya. Ia kembali mundur dan mengeratkan pelukan.
"Maaf, Jeng. Kami harus pulang, sebentar lagi gelap."
"Permisi, Tante."
Saphira mengikuti langkah ibunya, yang sengaja dipercepat. Ia sama sekali tidak menoleh, berpura-pura sibuk dengan meladeni omongan Khay, yang padahal tidak mengajaknya bercerita.
"Mama, bagaimana ini? Kenapa Tante Resti selalu berkeliaran dan bertemu kita?"
"Mama, juga pusing. Mama, seperti mau jantungan setiap bertemu dia."
Dalam perjalanan, Sherly dan Fira sudah sepakat, untuk tidak membicarakan ini pada Maya. Ia tidak mau, Maya khawatir dan melarang kedua anaknya keluar rumah.
"Oma, telpon Mami. Aila mau bobo lumah Oma."
"Iya, sayang. Sebentar." Sherly mengaduk tasnya, mencari ponsel.
"Halo, Ma."
"Halo, May. Mama mau bawa anak-anak menginap di rumah. Apa boleh?"
"Nanti merepotkan, Ma."
"Merepotkan, apanya. Justru, Mama sangat senang."
"Baiklah, Ma. Maya titip mereka."
"Ya, sudah. Kamu hati-hati di rumah."
Sambungan terputus. Aira yang mendengar percakapan mereka, bersorak bahagia. Berbeda dengan Khay, yang membisu menatap mereka.
Mobil sudah memasuki halaman. Khay dan Aira, berlari masuk dalam rumah, sembari memanggil sang kakek.
"Opa. Alu na datang?"
"Iya. Kalian dari mana?"
"Halan-halan," sahut Khay.
Ayah Ansel, menggendong dua bocah itu sekaligus. Mengantar masuk dalam kamar bermain. Kamar yang sepertinya, sengaja disiapkan. Didalam, ada banyak keranjang berisi mainan, karpet, rak buku, dua sofa single dan layar TV.
Ansel memutar TV, dan menampilkan anak-anak yang sedang bernyanyi. Ini adalah kesukaan Khaira, ia ikut bernyanyi dan menari mengikuti gerakan mereka. Khay, dia memiliki selera berbeda. Ia memilih mengambil buku dan menulis acak, entah apa.
"Kau sudah pulang?" Sherly menyambut putranya.
"Iya, Ma. Aku dengar suara musik. Apa ada anak-anak di rumah?"
"Ada. Aira mau menginap dan Mama sudah minta ijin kepada Maya."
"Ansel, mau melihat mereka."
"Sebentar, El. Mama mau bicara. Ini penting!"
Sherly berjalan lebih dulu, disusul sang putra dibelakangnya. Mereka masuk dalam ruang kerja, ayah Ansel dan menutup pintu rapat.
"Ada apa, Ma? Serius sekali?"
"Kapan kau akan menikahi Maya? Ini sudah dua tahun, El."
"May, belum siap dan aku tidak mau memaksanya."
"Tapi, kau harus memaksanya. Mama tadi bertemu ibu Zamar. Dan kau tahu, ia mengatakan cucu Mama, mirip putranya."
"Apa...? Tapi, mana mungkin?"
"Mana mungkin, bagaimana. Kau tidak, lihat wajah Aira dan Khay. Mereka seperti fotokopi ayahnya. Resti, pasti akan cari tahu. Mama tidak mau kehilangan mereka dan jalan satu-satunya, kau harus segera menikah dengan Maya."
"Oke, oke, Mama jangan panik." Ansel menyentuh pundak sang ibu. "Aku akan membicarakan ini pada Maya. Aku juga tidak mau, Zamar mengambil mereka."
"Oke. Mama tunggu kabar baiknya, segera."
Sherly melangkah keluar lebih dulu, meninggalkan Ansel yang masih terpaku menatapnya. Sherly sudah terlanjur menyayangi dua anak itu. Ia mengasuh dari bayi dan sudah menganggap mereka cucu. Tentu saja, ia tidak akan terima jika suatu hari, Resti tiba-tiba datang dan merebut keduanya.
Dalam ruang bermain, Khaira masih menyanyi bersama sang kakek, mengikuti gerakan dalam layar TV. Saphira juga ikut-ikutan, bahkan memaksa Khay untuk bergerak bersama.
Dari depan pintu, Resti merekam mereka dalam ponsel. Mengabadikan momen ini, sekaligus memperlihatkannya pada Maya. Betapa, dua cucunya menginginkan keluarga lengkap. Dan keluarga mereka, sangat menyayangi Khaira dan Khaysan.
Sekarang, empat orang yang tengah menari bersama, berpegangan tangan dan membentuk lingkaran. Mereka bernyanyi dan bergerak berputar, sambil tertawa. Apalagi, Aira yang suaranya lebih mendominasi diantara mereka.
"Opa, gelak-gelak, angan sepelti patung." Aira memberikan contoh, dengan menggerakkan bokongnya. Sontak, suara tawa memenuhi ruangan dan saat itu, Ansel ikut bergabung.
"Ayah," panggil Aira dan Khay, yang langsung menghamburkan pelukan.
"Ayah. Kita nali-nali."
Lingkaran kecil itu, kini bertambah satu orang. Dan suasana semakin riuh. Sementara, Resti menelpon Maya, dengan panggilan video. Sengaja memperlihatkan kebahagiaan, dua anaknya didalam keluarga mereka.
Dalam layar, Maya tersenyum dengan mata yang berenang. Tidak dipungkiri, kedua anaknya memang bahagia bersama keluarga Ansel. Namun, bagaimana dengan hatinya?
🍋 Bersambung.
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️