Di era 90-an tanpa ponsel pintar dan media sosial, Rina, seorang siswi SMA, menjalani hari-harinya dengan biasa saja. Namun, hidupnya berubah ketika Danu, siswa baru yang cuek dengan Walkman kesayangannya, tiba-tiba hadir dan menarik perhatiannya dengan cara yang tak terduga.
Saat kaset favorit Rina yang lama hilang ditemukan Danu, ia mulai curiga ada sesuatu yang menghubungkan mereka. Apalagi, serangkaian surat cinta tanpa nama yang manis terus muncul di mejanya, menimbulkan tanda tanya besar. Apakah Danu pengirimnya atau hanya perasaannya yang berlebihan?
“Cinta di Antara Kaset dan Surat Cinta” adalah kisah romansa ringan yang membawa pembaca pada perjalanan cinta sederhana dan penuh nostalgia, mengingatkan pada indahnya masa-masa remaja saat pesan hati tersampaikan melalui kaset dan surat yang penuh makna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mom alfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Rencana Sederhana yang Berakhir Kacau
Rina terjaga dari tidurnya dengan perasaan campur aduk. Hari ini adalah hari yang sudah direncanakannya sejak beberapa minggu lalu. Dengan penuh keyakinan, ia sudah memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya kepada Danu. Tidak ada lagi alasan untuk menunggu. Mereka sudah cukup lama saling berpura-pura tidak ada yang berubah, padahal hati mereka sudah jelas bicara. Ini adalah langkah besar, meskipun dalam hati, Rina merasa cemas. Namun, dia harus melakukannya.
Sari, sahabatnya yang sudah mengetahui tentang perasaan Rina, selalu memberi semangat. "Kamu harus bilang, Rina. Kalau tidak, kamu bakal terus bingung dan tidak akan tahu jawabannya," ujarnya pada beberapa hari yang lalu. Rina tidak bisa membantah. Sari memang benar. Sudah terlalu lama perasaan ini menumpuk dan belum ada satu pun langkah yang jelas. Setiap kali mereka bertemu, Rina merasa ada yang mengganjal, dan itu adalah ketidakpastian dari Danu.
Namun, mengungkapkan perasaan bukan hal yang mudah, terutama saat kamu masih remaja seperti mereka. Bahkan di tahun 90-an, di mana segala hal dilakukan dengan cara yang sedikit lebih tradisional, mengungkapkan perasaan cenderung masih dianggap sesuatu yang "besar." Hanya ada satu cara yang bisa dipilih Rina—langsung berbicara padanya, tetapi dengan cara yang tidak memaksakan. Ia tidak ingin membuat Danu merasa tertekan. Jadi, setelah sekolah, mereka sepakat untuk bertemu di taman dekat rumahnya, tempat yang biasa mereka kunjungi untuk bercanda, ngobrol tentang musik, dan hal-hal kecil yang tak penting. Danu selalu lebih santai di sana, dan Rina merasa mungkin, di sana, ia bisa membuka hati mereka.
Setelah jam terakhir pelajaran berakhir, Rina mulai merapikan tasnya dengan tangan yang agak gemetar. Hari ini, ia mengenakan kaos band Nirvana yang baru saja dibelinya minggu lalu, dipadu dengan celana jeans favoritnya yang sudah agak pudar warnanya. Tampilannya sangat 90-an—sesuatu yang ia rasa cocok untuk pertemuan seperti ini. Sambil berjalan menuju pintu, ia bisa merasakan degup jantungnya semakin kencang. Ini adalah momen yang ia tunggu, namun tak pernah siap untuk benar-benar menghadapinya.
Taman itu lebih sepi dari biasanya, mungkin karena waktu sudah agak sore dan banyak anak sekolah lain yang sudah pulang. Rina berdiri di sudut taman, berusaha mengontrol napasnya yang mulai tak teratur. Beberapa menit berlalu, dan ia mulai merasa gelisah. Seharusnya Danu sudah datang. Rina memutuskan untuk duduk di bangku kayu yang ada di dekat kolam kecil. Ia mengeluarkan buku catatannya, mencoba menenangkan diri dengan cara membaca hal-hal yang tidak terlalu penting, seperti catatan tentang ujian matematika yang sebentar lagi akan datang. Tetapi pikirannya tetap terfokus pada satu hal: Danu.
Dari kejauhan, Rina akhirnya melihat Danu muncul dengan langkah santainya. Seperti biasa, ia mengenakan jaket kulit hitam yang sudah agak pudar dan kaos band Pearl Jam yang tampaknya sudah cukup lama ia miliki. Senyumnya selalu membuat Rina merasa lebih tenang, tapi kali ini, ia merasakan ada ketegangan di dalam dirinya. Danu berjalan mendekat, lalu duduk di samping Rina tanpa banyak bicara.
“Hey, gimana ujian kemarin?” tanya Danu, mencoba membuka percakapan dengan topik yang biasa mereka bahas.
Rina tersenyum, meskipun dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk berbicara tentang ujian. "Ujian sih, ya biasa aja. Tapi, ada yang lebih penting yang harus dibicarain, Dan."
Danu memandangnya dengan tatapan sedikit bingung. “Hmm? Apa tuh?”
Rina merasa seperti ada beban besar di dadanya. Inilah saatnya. Ia harus melakukannya sekarang. Tanpa bisa menahan kegugupannya, Rina menatap mata Danu dan mulai berbicara.
“Danu, aku... aku sebenarnya udah lama pengen bilang sesuatu sama kamu.” Rina menggigit bibir bawahnya, berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Aku... aku suka sama kamu.”
Danu diam sejenak. Hening. Rina bisa merasakan suasana tiba-tiba berubah. Ia merasa seolah dunia berhenti berputar. Suara burung di kejauhan menjadi jauh lebih keras, dan ia mendengar detak jantungnya sendiri yang semakin cepat. Danu tetap terdiam, tidak memberi respons apa-apa.
“Dan?” Rina bertanya lagi, sedikit cemas.
Danu mengalihkan pandangannya ke arah lain, seolah mencari-cari sesuatu di udara. “Rina, aku... aku nggak tahu harus gimana jawabnya. Aku cuma... kita kan teman, kan?”
Jawaban itu seperti tamparan. Meskipun tidak langsung, Rina bisa merasakan betapa hancurnya hatinya. “Iya, kita teman, Dan. Tapi, kadang, teman bisa lebih dari itu, kan?” Rina berusaha tersenyum meskipun hatinya terasa berat. “Aku cuma pengen kamu tahu aja, kalau aku nggak bisa terus pura-pura nggak merasa apa-apa.”
Danu tetap diam, menghindari tatapan Rina. “Aku sih... nggak tahu. Aku butuh waktu.”
Rina mengangguk pelan, menahan air mata yang mulai muncul di pelupuk matanya. "Oke," jawabnya singkat, meskipun dalam hati ia merasa begitu kecewa. Danu memalingkan wajahnya, dan sesaat ada keheningan yang mencekam di antara mereka. Semua rasa cemas dan keraguan yang ia rasakan selama ini seakan muncul begitu saja. Tak ada kata-kata yang bisa menghapus ketegangan yang kini mengalir di antara mereka.
Saat mereka duduk bersama dalam hening, Rina menyadari satu hal—bahwa terkadang perasaan tidak bisa dipaksakan. Danu mungkin membutuhkan waktu, atau mungkin ia tidak merasa sama. Tapi Rina sudah berusaha sebaik mungkin. Mungkin ini bukan saat yang tepat, atau mungkin, memang Danu tidak merasakannya sama.
“Aku minta maaf kalau bikin kamu canggung, Dan,” ujar Rina akhirnya, dengan suara yang hampir tak terdengar.
Danu menatapnya dengan tatapan lembut. "Enggak kok, aku nggak canggung. Aku cuma... bingung."
Rina hanya mengangguk, dan mereka duduk berdua, tetap dalam hening, saling berbagi keheningan yang tak perlu diisi dengan kata-kata.
---
Malam itu, Rina pulang dengan perasaan campur aduk. Tiba di rumah, ia duduk di depan kaset player, menatap pita kaset yang sudah lama tertinggal di meja. Ada beberapa lagu yang sudah sering ia dengar, tetapi malam ini, ia merasa bahwa lagu-lagu itu memiliki makna yang berbeda. Ia memilih salah satu kaset Danu yang masih belum sempat ia dengarkan sepenuhnya. Sambil memutar kaset, Rina merenung, mencoba memahami segala sesuatu yang terjadi. Mungkin perasaannya belum diterima, tetapi ia tahu bahwa ia sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Kini, ia hanya bisa menunggu dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kaset itu mengalun lembut, dan dalam sekejap, kenangan indah bersama Danu kembali menghampirinya. Ini mungkin bukan akhir dari cerita mereka, tetapi hanya sebuah jeda dalam perjalanan panjang yang masih harus mereka jalani.