menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 31 : ryan mengkhianatiku
Setelah perjalanan panjang dari kampung halaman Diana, kami akhirnya tiba di kosan Diana. Suasana sedikit sepi, terlihat sepeda motor terparkir di depan kamar kos Mira. Kamar Mira tampak tertutup rapat, dengan pintu terkunci dan tirai yang menghalangi pandangan dari luar. Aku dan Diana tidak terlalu memedulikan hal itu, kami pun masuk ke kamar kos Diana, kami lelah dan ingin beristirahat.
Diana meletakkan helmnya di atas meja, sementara aku langsung menyandarkan tubuhku di dinding, merasa lega bisa beristirahat. Kami berdua terdiam sejenak, menikmati ketenangan setelah perjalanan yang cukup panjang. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terusik oleh suara yang datang dari kamar sebelah kamar Mira.
Aku mendengar suara pelan namun jelas, suara Mira yang merintih, terdengar seperti sedang kesakitan. "Aduh, sakit... pelan-pelan..." Suara Mira terdengar serak dan tertahan, membuatku terdiam, sejenak menahan napas. Kemudian, suara seorang pria menyusul, suaranya rendah dan sedikit menggoda. "Sorry ya, tapi kamu suka kan?"
Aku mulai merasa tidak nyaman. Suara dari kamar sebelah semakin lama semakin intens, suara rintihan Mira semakin jelas, bercampur dengan erangan dan tarikan napas berat. Suara-suara yang ku dengar mengingatkanku pada suara Diana saat bercinta dengan Pak Rudi di rumah Pak Rudi. Perasaanku menjadi campur aduk antara heran, tidak nyaman, dan sedikit risih.
Aku melirik ke arah Diana yang duduk di sampingku. Diana tampaknya tidak terganggu, malah tersenyum kecil dan tertawa pelan mendengar suara-suara itu. Tawa Diana membuatku semakin bingung, tapi aku tidak ingin mengatakan apapun. Mungkin Diana sudah terbiasa dengan hal semacam ini, pikirnya.
"Diana, kamu..." Aku ingin bertanya, tapi kata-kataku terhenti saat Diana bangkit dari tempat duduknya.
"Ah, aku mau mandi dulu," kata Diana santai, seolah tidak ada yang terjadi, kemudian berjalan menuju kamar mandi.
Aku hanya mengangguk dan memandang Diana yang melangkah masuk ke kamar mandi, meninggalkanku sendirian di kamar. Suara air mulai mengalir dari kamar mandi, namun suara dari kamar Mira masih terdengar jelas. Aku mencoba mengabaikannya. Aku mengambil ponselku, membuka media sosial untuk mengalihkan perhatian, lalu merebahkan tubuhku di atas kasur Diana, berharap suasana bisa kembali tenang.
Namun, pikiranku tak bisa sepenuhnya fokus. Setiap rintihan dari kamar sebelah membuatku merasa semakin tidak nyaman. Perasaan campur aduk itu semakin kuat antara ingin tahu, bingung, dan juga risih dengan apa yang terjadi. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diriku.
Saat layar ponselku berkedip menandakan ada pesan masuk, aku menatap ponselku dengan mata sedikit mengantuk, berharap suara-suara dari kamar sebelah segera berakhir, dan aku bisa sedikit bersantai di kosan yang awalnya aku kira akan menjadi tempat yang tenang untuk beristirahat.
Pagi itu, setelah Diana keluar dari kamar mandi dengan rambut masih setengah basah, dia menatapku yang masih berbaring di kasur. “Aku mau keluar beli sarapan. Kamu mau nitip apa?” tanya Diana sambil mengambil tas kecil dari meja.
Aku, yang sudah merasa bosan diam sendirian, berpikir sejenak. Daripada menunggu di kamar, dia memutuskan untuk ikut mencari sarapan bersama Diana. "Aku ikut aja. Di kamar aja bikin sumpek," jawabku sambil bangkit dari tempat tidur dan merapikan sedikit penampilannya.
Kami berdua keluar dari kamar kos, suasana gang kos masih sepi, hanya terdengar suara kendaraan dari kejauhan. Saat melewati kamar Mira, mereka melihat pintu kamar Mira sedikit terbuka, seperti tidak tertutup rapat. Diana melirik pintu itu dengan alis terangkat, merasa penasaran. Tanpa berpikir panjang, Diana langsung melangkah ke depan pintu dan membukanya tanpa mengetuk.
Begitu pintu terbuka, aku dan Diana melihat Mira yang terlihat panik dan kaget di dalam kamar. Tetapi yang paling mengejutkan adalah pemandangan di balik Mira. Ryan, seorang laki-laki yang Nurra kenal sangat baik, sedang duduk di tepi kasur sambil merangkul mira. Laki-laki itu bukan hanya sekadar kenalan; Ryan adalah orang yang pernah berjanji akan menikahi Nurra setelah keduanya melewati malam intim bersama di villa ayahnya Ryan. Namun, kini laki-laki itu ada di kamar Mira, sahabatnya sendiri, dan dari berpakaian yang berantakan, jelas bahwa mereka baru saja melakukan sesuatu yang intim.
Aku mematung sejenak, mataku terbelalak tak percaya dengan apa yang kulihat. Dadaku tiba-tiba terasa berat, seakan semua udara di ruangan itu lenyap. "Ryan... Mira?" suaraku bergetar, antara marah dan terkejut.
Mira tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Nurra... aku... aku bisa jelasin!” serunya panik. Ryan, di sisi lain, hanya terdiam, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Namun, penjelasan apapun saat itu tidak ada artinya buatku. Amarah dan rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak di hatiku membuat aku tidak mampu mendengarkan apapun. "Jelaskan? Jelaskan apa? Kamu? Dengan dia?" Aku menunjuk ke arah Ryan dengan jari gemetar, mataku penuh dengan air mata. "Laki-laki yang dulu bilang cinta sama aku, yang janji mau nikahin aku, sekarang dia ada di sini? Di kasurmu, Mira?"
Diana berdiri di ambang pintu, terdiam, tak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia hanya bisa melihat bagaimana hati sahabatnya hancur berkeping-keping di depan matanya.
Aku tak bisa menahan emosiku lagi. "Kalian berdua... Kalian.... Menjijikkan!" Kalimat-kalimat kasar pun keluar dari mulut Nurra tanpa bisa ia tahan. "Ryan, kau bajingan! Mira... Kau... Kau itu temanku! Bagaimana bisa kau lakukan ini?"
Aku tak sanggup lagi berada di sana. Dengan hati yang penuh dengan luka, aku berbalik dan berlari keluar dari kosan. Aku tidak peduli dengan teriakan Mira yang memanggil namaku, atau dengan Ryan yang mencoba mengejarnya. Langkahku semakin cepat, seiring dengan derasnya air mata yang mengalir di pipiku.
Aku terus berlari, membiarkan angin pagi menyapu wajahku yang basah oleh tangisan. Hatiku hancur. Dua orang yang aku percayai terasa seperti belati yang menusuk tepat di dadaku. Dengan perasaan marah, kecewa, dan patah hati, aku berlari menuju rumah.
Sesampainya di rumah, aku langsung disambut oleh Bu Sari, tetangga rumahku. Melihat Aku menangis tersedu-sedu, Bu Sari mendekat dan bertanya dengan lembut, “Neng, ada apa? Kenapa nangis?”
Aku hanya bisa menggeleng, tubuhku gemetar, tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Bu Sari, memeluk ku dengan erat, mencoba menenangkan hatiku yang terluka. “Sudah, jangan nangis. Ceritakan nanti kalau sudah tenang, ya?”
Hari-hari setelah kejadian itu, semuanya berubah bagiku. Setiap kali berangkat dan pulang kuliah, aku selalu menjauhi Mira dan Diana. Setiap kali aku melihat mereka , perasaan sakit itu muncul kembali, aku memilih untuk terus berjalan tanpa memedulikan panggilan atau pesan dari mereka. Aku tidak ingin lagi terlibat dalam lingkaran pengkhianatan itu.
Ketika kuliah selesai, aku lebih memilih langsung pulang ke rumah, meskipun aku tahu bahwa rumahku kosong. Orang tuaku masih menjalani ibadah umrah, dan hanya ada Bu Sari yang sesekali datang untuk menjengukku. Tapi bagi ku, lebih baik sendirian di rumah daripada harus berhadapan dengan orang-orang yang telah menghancurkan kepercayaanku. Di tengah keheningan rumah yang sepi, aku mencoba berdamai dengan perasaanku, meski rasa sakit itu masih terus menghantuiku.