Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Mencari Hendra
Bab 22. Mencari Hendra
POV Lastri
Membangun membangun usaha kota besar seperti ini ternyata semua patut di perhitungan. Seperti lokasi yang mendukung untuk mendapatkan banyak konsumen serta menu masakan yang akan di sajikan sesuai selera rata-rata pembeli.
Dari Mbak Ayu aku belajar banyak hal meski lelah mendatangi beberapa tempat sore ini, tapi semua setimpal dengan lokasi yang akhirnya cocok untuk membangun usaha kami.
"Maaf ya Mbak, tadi aku ketiduran jadi kita selesai sampai sore begini."
"Tidak apa-apa Las. Mbak ngerti, kamu pasti capek. Yang penting urusan lokasi sudah beres. Nanti soal karyawan, biar Mbak yang carikan."
"Terima kasih ya Mbak."
"Sama-sama, ini kan usaha Mbak juga meskipun modal yang paling besar dari kamu."
"Sama aja lah Mbak. Semoga rumah makan kita ini nantinya bisa rame ya Mbak."
"Aamiin..."
Syukur lah, urusan hari ini selesai sebelum maghrib. Besok aku bisa pergi bersama Mbak Yuli dan pulang lusa bersama Fahri. Semoga saja urusan ku tidak molor, jadi aku tidak meninggalkan Diah terlalu lama.
Ku rebahkan tubuhku di atas kasur Nunik setelah mandi, sholat dan makan malam bersama Mbak Ayu dan Nunik. Kami semua benar-benar kelelahan hari ini. Dan untungnya, semua waktu dan tenaga yang sudah tercurah tidak terbuang dengan percuma.
Rumah yang aku beli memiliki halaman yang cukup luas untuk parkiran pengunjung kelak. Meski rumah perlu di rehab dan di cat ulang, tapi lokasinya yang terletak di keramaian antara kantor dan para pekerja toko-toko kecil sangat menguntungkan untuk target penjualan kami.
Mbak Ayu menanamkan sedikit modalnya padaku, keuntungan nanti telah di sepakati dengan pembagian 70% untuk dan 30% untuk Mbak Ayu. Tetapi aku tetap akan menggaji Mbak Ayu kelak yang menjalankan usaha ku itu nantinya.
***
Pagi aku sudah berkemas diri setelah sarapan bersama Mbak Ayu dan Nunik.
"Kamu mau pergi Las?"
"Iya Mbak ada sedikit urusan dengan temanku. Nanti dia akan menjemput kemari."
"Oh, kamu tidak mau ikut Mbak bertemu tukang yang akan mengerjakan rumah makan itu?"
"Kayaknya aku kurang paham yang begituan Mbak, semua aku serahkan sama pilihan Mbak saja."
"Nanti jelek loh Las?"
"Mana mungkin Mbak. Interior dalam rumah Mbak aja sebagus ini. Jadi aku yakin pilihan Mbak juga aku suka."
Mbak Ayu terkekeh.
"Halah, bisa saja kamu Las. Jadi bener ini tidak apa-apa Mbak yang menentukan?"
"Iya Mbak, tidak apa-apa. Soal biaya nanti Mbak bisa rincian sama aku."
"Ya sudah, kamu hati-hati pergi sama temanmu itu ya. Jangan pulang terlalu malam ya Las."
"Iya Mbak. Berasa punya Kakak aku jadinya. Hehehe..."
"Lah bagus itu. Anggap saja aku ini Kakak mu." Ujar Mbak Ayu sambil tersenyum.
Aku pun ikut tersenyum. Senang mengenal Mbak Ayu lebih dekat yang ternyata murah senyum, baik dan begitu ramah serta perhatian. Andai saja aku punya Kakak ipar seperti ini. Tapi kayaknya itu cuma akan menjadi angan ku saja. Nyatanya Mbak Tatik tidak mungkin seperti Mbak Ayu.
Tidak lama Mbak Yuli datang menjemput dengan motor bebek maticnya.
Aku pun segera menghampiri Mbak Yuli, di ikuti Mbak Ayu di belakangku.
"Sudah siap Las."
"Iya Mbak. Mbak Ayu, aku jalan dulu ya?"
"Iya. Hati-hati ya..."
Aku mengangguk. Lalu perlahan menaiki sepeda motor Mbak Yuli. Cukup sulit duduk di sepeda motor Mbak Yuli. Apalagi Mbak Yuli orangnya gemuk, aku pun mendapat tempat di separuh jok dan separuh lagi batang besi. Takut-takut berani berboncengan dengan Mbak Yuli, aku seperti sedang menaiki wahana ekstrem dengan duduk di ujung besi seperti ini.
"Bismillah..." Doa ku, sambil memegang pinggang Mbak Yuli yang mirip tandon air.
Kami pun akhirnya berangkat dan melaju menuju kantor Mas Hendra. Untung saja aku tahu dimana letak kantor itu. Berharap disana nanti bertemu salah satu teman Mas Hendra dan bisa bertanya langsung pada mereka.
Sampai di kantor ku lihat banyak kendaraan terparkir disana. Hanya ada beberapa yang lalu lalang hendak keluar kantor dengan kendaraan mereka.
"Las, kita nunggu di kantin situ saja. Ini masih jam kerja jadi orang-orang masih sangat sibuk. Nanti jam istirahat, semoga ada yang makan disini, jadi kita bisa tanya sama mereka."
Aku mengangguk setuju. Lupa jika ini masih jam kerja dan tentunya mereka masih sibuk bekerja. Aku pun mengikuti langkah Mbak Yuli menuju kantin kantor yang berada di samping bangunan gedung kantor. Lalu memesan minum dan kue yang ada disana.
"Maaf Mbak, sepertinya kita akan jadi lama menunggu." Kataku merasa tidak enak merepotkan Mbak Yuli.
"Tidak apa-apa toh Las. Lagian aku juga tidak ada kerjaan di rumah. Anak sekolah, Mas pur juga kerja." Tutur Mbak Yuli.
"Bu, rokok Black satu!"
"Tumben sendiri? Pak Hendra mana?"
Aku menajamkan telinga mendengar percakapan antara Ibu kantin dan salah seorang karyawan yang membeli rokok seperti menyebutkan nama suamiku.
"Sibuk sekarang dia Bu. Maunya nempel terus istrinya, maklum pengantin baru."
"Oalah, Ibu kok tidak di undang?"
"Hehehe, nanti ibu tanyakan saja sama Hendra. Jadi berapa Bu?"
"Tiga puluh ribu saja Mas."
"Ini ya Bu."
"Makasih ya. Oh ya Mas, jodohnya orang mana Mas?"
"Hendra?"
"Iya lah masa situ? Yang Saya tahu kan situ masih jomblo."
"Hehehe iya ya. Istrinya orang kantor sini juga Bu. Cantik orangnya, idola kantor sini. Ibu pasti kenal deh."
"Yang paling cantik cuma Mbak Rara toh Mas."
"Nah itu dia ibu tahu. Sudah ya Bu, Saya mau balik ke ruangan."
"Iya Mas monggo..."
Sudah menikah?? Aku berusaha menenangkan degub jantungku yang tidak tentu berdetak. Perasaan berdebar-debar dengan gemuruh napas mengekspresikan isi hati yang sudah bercampur aduk antara penasaran, sakit hati, marah dan juga kecewa. Bahkan tangan ku gemetar meraih cangkir minuman yang ingin ku reguk airnya untuk sekedar menenangkan perasaan ini.
Apakah yang mereka bicarakan itu Hendra, suamiku? Atau kah disini ada Hendra yang lain?
Tidak bisa, sebaiknya aku memastikan lewat lelaki tadi mumpung dia belum terlalu jauh.
Aku segera beranjak dan langsung berlari mengejar lelaki tadi sebelum ia masuk ke dalam bangunan gedung.
"Loh Las?! Mau kemana?!"
Tak ku hiraukan Mbak Yuli yang tersentak melihat ku berlari mengejar lelaki itu.
"Mas? Tunggu Mas?! Tunggu sebentar!" Ujar ku setengah berteriak.
Lelaki itu berbalik badannya menatap ku.
"Saya?" Tanyanya pada diri sendiri.
"Iya Mas, tunggu sebentar Saya mau bicara."
Napas ku turun naik mengejar lelaki itu. Begitu tiba di dekatnya, ku atur napas perlahan untuk menghilangkan rasa lelah sesaat mengejarnya.
"Ada apa Mbak?"
"Maaf Mas minta waktunya sebentar saja. Ada Yang ingin Saya tanyakan. Saya tidak sengaja mendengar percakapan Mas sama Ibu tadi."
Aku mengeluarkan handphone ku dan menunjukan gambar Mas Hendra kepada lelaki itu.
"Apa yang Mas maksud Hendra itu yang di bicarakan tadi adalah yang ini, sepupu Saya?"
Bersambung...
tambah keluarga toxic,menjijikkan jadi lelaki..