Kara sangat terkejut saat Ibunya tiba-tiba saja memintanya pulang dan berkata bahwa ada laki-laki yang telah melamarnya. Terhitung dari sekarang pernikahannya 2 minggu lagi.
Karna marah dan kecewa, Kara memutuskan untuk tidak pulang, walaupun di hari pernikahannya berlangsung. Tapi, ada atau tidaknya Kara, pernikahan tetap berlanjut dan ia tetap sah menjadi istri dari seorang CEO bernama Sagara Dewanagari. Akan kah pernikahan mereka bahagia atau tidak? Apakah Kara bisa menjalaninya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ririn Yulandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Ingin Berjauhan
Proses akad berlangsung dengan khidmat setelah itu kami pun di persilahkan untuk menikmati pesta, lebih tepatnya resepsi yang tengah berlangsung. Aku berpisah dengan Clare setelah tadi di panggil oleh Mama untuk di perkenalkan kepada temannya. Setelah itu Mas Saga mengajakku untuk pergi bersalaman dan mengucapkan selamat kepada kedua mempelai pengantin. Walaupun akhirnya kami harus mengantri panjang.
Mas Saga langsung berpelukan dengan sepupunya itu begitu giliran kami tiba, tak lupa kami mengucapkan selamat dan giliranku memeluk istri dari Dean yang setahuku namanya adalah Tasya.
"Aku kirain Mbak Kara ga datang, soalnya Mas Saga bilang Mbak susah dapat cuti," kata Dean memanggilku Mbak karna memang Dean lebih muda daripada kami. Lebih tepatnya lebih muda dari Mas Saga sih, karna kata Mas Saga sendiri Dean itu seumuran denganku.
Aku tersenyum pelan. "Alhamdulillah tetap dapat cuti, walaupun nanti malam harus balik lagi ke Jakarta."
Mendengar itu sontak Dean terlihat menatap iba kepada Mas Saga, ah lebih tepatnya mengejek. "Yah, kenapa di tinggal. Kasian loh Mas Saga nanti malam tidurnya meluk guling lagi," ujarnya sambil tertawa pelan.
Mas Saga langsung menatap tajam. "Mentang-mentang baru nikah, sombongnya udah selangit. Nanti di tinggal kerja sama Tasya gue ketawain balik."
Dean melirik ke samping, dimana Tasya hanya terdiam dan sesekali tersenyum menyimak obrolan kami sejak tadi. "Ngga dong, gue mah ga biarin istri gue kerja. Mau gue kurung di kamar terus soalnya," guraunya semakin menjadi, menarik pinggang perempuan yang baru menjadi istrinya itu agar semakin dekat dengannya.
"Mau gue suruh lari tapi sayang udah lo nikahi," kata Mas Saga menimpali membuat kami tertawa pelan. Begitulah obrolan singkat kami sebelum akhirnya kami berfoto bersama lalu turun ke bawah mengingat yang mengantri masih banyak.
Kini aku dan Mas Saga tengah duduk mencicipi makanan-makanan yang di hidangkan. Di sampingku ada Mas Saga yang sama sekali tak melepas tangannya dari pinggang ku. Entah kenapa dengan suamiku ini, padahal kami sedang duduk tapi tetap saja tangannya itu sudah seperti di lem, tak ingin lepas. Walaupun begitu aku tetap menyuapinya, tentu saja atas permintaan Mas Saga.
Sejak tadi aku hanya satu kali bertemu Ayah dan Ibuku, entah pergi kemana sepasang paruh baya itu. Makanan di tanganku hampir habis, tak lama kemudian datang seseorang menghampiri kami. Mengatakan aku di panggil oleh Mama, sambil menunjuk keberadaan wanita paruh baya itu.
"Bentar Mas, aku di panggil Mama," kataku pada Mas Saga. Bermaksud agar suamiku itu bisa melepaskan tangannya sebentar dari pinggangku.
Dia yang semulanya menunduk kemudian menatapku. "Di panggil buat apa sayang?"
"Ga tau Mas, tapi katanya disuruh samperin kesana."
Dengan rasa tak ikhlas yang terang-terangan Mas Saga tunjukkan, akhirnya dia tetap memilih mengalah dan mengizinkanku pergi walaupun sambil berkata. "Jangan lama."
"Iya, Mas," sahut ku kemudian pergi menghampiri Mama yang ternyata sedang berkumpul dengan beberapa wanita paruh baya seumurannya.
Aku menampilkan senyumanku begitu mendekat ke mereka, tentu mereka menyadari keberadaanku. Belum aku bertanya kenapa Mama memanggilku, Ibu dari suamiku itu sudah memperkenalkan aku kepada Ibu-Ibu sosialita yang ternyata adalah temannya. Aku pun tanpa di suruh lagi mulai menyalami tangan mereka satu persatu yang ada 3 orang.
"Cantik loh menantu mu," puji seseorang yang terakhir aku salami tangannya.
Aku hanya tersenyum menanggapi.
"Tapi katanya sebentar malam kamu udah balik lagi ya ke Jakarta, kata Mama mertuamu kamu kerja disana," kata yang di sebelahnya lagi.
"Wah sayang banget, padahal masih pengantin baru udah jauhan tinggalnya. Kenapa ngga berhenti kerja aja? Kan uang anaknya Bu Indira banyak, masa istrinya cantik gini malah di suruh kerja," sahut teman Mama cepat sebelum aku berbicara.
Mama tampak melirik padaku lalu kemudian menatap kearah teman-temannya. "Ini kalau pulang ke Jakarta memang mau ngurus kepindahannya buat berhenti bekerja, biar ga jauhan terus sama Saga. Memang sedikit susah karna menantu ku ini masih ada kontrak kerjanya."
Aku mengangguk pelan mengiyakan, tentu saja itu tak benar. Tapi, Mama berkata seperti itu pasti agar teman-temannya itu tidak mengira yang tidak-tidak.
"Oh sudah program hamil juga kah kalian?" tanya teman Mama lagi.
"Tentu dong, walaupun jauhan gini anak-anakku usahain program hamil, makanya biar di lancarkan. Menantuku cepat-cepat ngurusin kepindahannya, iya kan nak?" tanya Mama melirikku.
Aku mengangguk kikuk. "Iya, Ma."
Setelah itu berlanjutlah kepertanyaan-pertanyaan lain yang tidak ada habisnya. Sungguh aku rasanya ingin segera kabur dari sini, tapi mana bisa kalau Mama belum menyuruhku. Aku dengan terpaksa harus mengiyakan terus ucapan Mama dan teman-temannya yang tentu beda dari kenyataannya dan dari yang bisa ku tangkap, sepertinya Mama menjaga sekali imagenya di depan teman-temannya ini. Dia terlihat tak ingin ada minus biarpun sedikit.
...****...
Pukul 7 malam aku dan Mas Saga sampai di rumah, kami pamit meninggalkan acara yang masih berlangsung karna aku harus mempersiapkan ke berangkatanku ke Jakarta. Dimana pesawatku akan terbang nanti jam 12 malam.
Ada Ibu dan Ayah ku juga yang akan ikut mengantarku malam ini ke bandara, tapi tidak dengan mertua ku karna mereka tentu saja sibuk ikut membantu melayani tamu yang punya acara, yaitu adik dari Papa.
Ayah dan Ibuku ku suruh istirahat di kamar, aku mengatakan mereka mau di lantai berapa. Senyaman mereka saja. Sedangkan aku dan Mas Saga ke kamar kami sendiri untuk membersihkan badan, Mas Saga aku suruh mandi duluan karna aku akan menghapus make up ku terlebih dahulu.
Tak lama dari aku selesai membersihkan wajahku Mas Saga pun keluar dengan rambut basahnya. Aku memberi tahunya bahwa di kasur sudah aku siapkan baju untuknya, kini giliranku untuk mandi.
Cukup lama karna aku memilih berendam sebab badanku rasanya lelah sekali. Selesai mandi dan berganti pakaian aku menyiapkan barang di koperku, tiba-tiba dari arah belakang Mas Saga datang memelukku, menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku.
"Kenapa Mas?" tanyaku masih sibuk melipat baju-bajuku kedalam koper.
"Jangan pergi..." kata Mas Saga dengan nada sedihnya. "Kamu ga bisa berhenti kerja aja sayang? Mas ga tahan jauhan terus," ujar Mas Saga tak menutup-nutupi lagi apa yang mungkin ia pendam selama ini.
Aku berbalik, kini aku dan Mas Saga sudah saling berhadapan. Duduk di atas kasur dengan raut wajah Mas Saga seperti anak kecil yang akan segera menangis. Ingin tertawa tapi mengingat situasinya jadi aku urungkan.
Tanpa pikir panjang aku mengecup lalu mengelus rambut Mas Saga. "Sabar ya, Mas, kontrak kerja aku bentar lagi habis kok. Sisa setahun lagi."
"Sayang! Itu masih terlalu lama. Jadi untuk setahun ini Mas harus jauh terus dari kamu? Kamu ga mau berhenti kerja aja sayang?"
Aku tersenyum, berusaha memberinya pengertian. "Ngga bisa berhenti kerja gitu aja dong Mas, aku kan masih terikat kontrak, kalau berhenti tiba-tiba gitu malah aku bakal di denda."
"Berapa dendanya? Mas bakal bayar berapa pun itu, asalkan kamu mau berhenti bekerja dan ada disini sama Mas," kata Mas Saga menatapku lekat.
"Mas dengerin aku dulu, kontrak kerjanya sisa setahun lagi. Biarin aku jalanin dulu yaa, aku janji setelah itu aku bakal berhenti bekerja dan fokus ngurusin kamu, siapin semua keperluan kamu dan nungguin kamu pulang kerja."
Mas Saga menggeleng. "Tapi, Mas ga mau kalau masih setahun lagi, Mas mau mulai sekarang kamu udah di sini sayang," kata Mas Saga menarik aku masuk ke dalam pelukannya. Erat sekali.
"Ini resiko kamu menikah sama aku yang belum siap, Mas," kataku pelan.