Mungkin ada banyak sekali gadis seusianya yang sudah menikah, begitulah yang ada dibenak Rumi saat ini. Apalagi adiknya terus saja bertanya kapan gerangan ia akan dilamar oleh sang kekasih yang sudah menjalin hubungan bersama dengan dirinya selama lima tahun lamanya.
Namun ternyata, bukan pernikahan yang Rumi dapatkan melainkan sebuah pengkhianatan yang membuatnya semakin terpuruk dan terus meratapi nasibnya yang begitu menyedihkan. Di masa patah hatinya ini, sang Ibu malah ingin menjodohkannya dengan seorang pria yang ternyata adalah anak dari salah satu temannya.
Tristan, pewaris tunggal yang harus menyandang status sebagai seorang duda diusianya yang terbilang masih duda. Dialah orang yang dipilihkan langsung oleh Ibunya Rumi. Lantas bagaimana? Apakah Rumi akan menerimanya atau malah memberontak dan menolak perjodohan tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon safea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 04
Siang tadi Rumi memang sedang dalam suasana hati yang tidak baik sama sekali, bahkan ia tidak bersemangat untuk menyantap makan siang yang sudah bundanya siapkan sebelum beliau pergi.
Namun lain lagi dengan malam ini. Rumi justru terlihat begitu bahagia sampai ia tidak sadar sedang menggigit selimut dengan senyuman yang tak bisa ia cegah sama sekali kemunculannya. Persis seperti remaja tanggung yang sedang jatuh cinta.
Memangnya apa yang membuat Rumi begitu senang sampai ia melakukan hal yang sebenarnya cukup memalukan itu? Jawabannya adalah sebuah pesan yang ia terima dari Digo—kekasihnya. Akhirnya pesan singkat Rumi terbalaskan meski hanya beberapanya saja.
Di sana Rumi juga mendapatkan permintaan maaf dari Digo karena tak kunjung membalas pesan darinya, katanya ia begitu sibuk. Lalu bubble chat terakhir yang Rumi temukan adalah sebuah informasi yang mengatakan kalau kekasihnya itu akan kembali lembur malam ini.
"Lembur ya?" Sebuah ide cemerlang tiba-tiba saja muncul di benak Rumi sehingga gadis itu segera bangkit dari posisi tidurnya dan keluar dari tempat persembunyiannya.
"Mau ngapain, Mba?" Melihat kehadiran Rumi yang tampak sangat berbeda dari ketika makan malam tadi, membuat Rafka jadi bertanya-tanya. Apalagi saat melihat sang kakak yang kini sudah menggunakan celemek.
"Ya mau masak lah, masa iya mau akrobat di dapur." Oh? Nampaknya suasana hati Rumi sudah sangat membaik sekarang ini. Ada apa gerangan?
"Lah? Kan kita baru aja makan malem tadi sekeluarga, masa iya Mba udah laper lagi jam segini? Belum ada satu jam deh perasaan." Untungnya saat ini Rumi sedang berbaik hati sehingga ia tidak langsung menyemburkan kekesalannya pada Rafka.
"Mba mau bikin bekal buat Digo, soalnya malam ini dia lembur lagi." Begitu rupanya, pantas saja wajah kakaknya itu nampak berseri sekali.
Tapi tunggu dulu, bukannya pasangan kekasih ini sedang tidak akur ya akhir-akhir ini? Apa sekarang mereka sudah berdamai sampai-sampai Rumi ingin membuatkan makan malam untuk Digo?
Ya semoga saja begitu, karena sejujurnya pun Rafka sudah muak melihat Rumi yang acap kali memasang tampang sedih di wajahnya sembari memegang ponsel pintarnya seolah tengah menunggu pesan yang Digo kirimkan.
"Mba bikin apa tuh? Lebihin dong buat aku juga." Sebagai adiknya Rumi, Rafka tentu saja tahu kalau masakan kakaknya ini luar biasa enaknya. Yah meskipun masih enakan masakan Bundanya sih.
"Yaa." Baiklah, Rafka sudah mendapatkan jawabannya, lebih baik sekarang ia melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi.
"Lho Mba? Udah laper lagi aja kamu?" Ternyata kegaduhan yang Rumi timbulkan di dapur sana membuat Nirma penasaran dan langsung melihat apa gerangan yang sedang terjadi.
"Bukan buat Mba, Bund. Ini Mba lagi bikinin bekal buat Digo, lembur lagi dia tuh malam ini." Kepala Nirma hanya mengangguk saja, wanita itu juga tak mengatakan apapun lagi dan lebih memilih berlalu meninggalkan kedua anaknya di dapur sana.
Dua puluh menit kemudian, bekal yang Rumi peruntukan untuk Digo akhirnya selesai. Ia juga sudah menyusunnya serapi mungkin di dalam kotak bekal sana, jika dilihat dari penampilannya pasti orang-orang akan langsung merasa lapar.
"Mba mau pergi sekarang?" Sadar kalau masakannya Rumi sudah selesai, Rafka lantas mematikan laptop yang sejak tadi ia gunakan.
"Iya, takut kemaleman juga." iya sih, apalagi ini sudah pukul delapan. Kalau kemalaman takutnya Digo malah sudah menyelesaikan pekerjaanya.
"Aku temenin deh, Mba sana ganti baju dulu." Kalau saja Rafka tidak mengingatkan, mungkin Rumi sudah pergi dengan memakai pakaian tidurnya saat ini.
"Bawain sekalian ya, dek." Duh Rumi ini, sudah dikasih hati malah minta jantung sekalian. Untung Rafka ini tipekal adik yang penurut.
Rumi hanya memakai pakaian yang sederhana dan menurutnya pantas, tidak perlu terlalu berlebihan karena ia bukan bersiap untuk pergi berkencan malam ini. Yah, begini saja sudah cukup lah.
"Ayah, Bunda, Rumi pergi sebentar ya sama adek. Mau anterin makan malam ke kantornya Digo." Sebelum menyusul Rafka, Rumi berhenti sebentar di ruang keluarga karena ia memang harus berpamitan terlebig dahulu sebelum pergi.
"Naik mobil aja perginya ya, Mba. Takutnya nanti kalian berdua malah masuk angin." Baiklah, nanti Rumi akan meminta Rafka mengeluarkan mobil saja daripada motor.
Berpamitan sudah ia lakukan, kotak bekalnya pun sudah ia serahkan pada Rafka. Itu artinya yang harus Rumi lakukan hanya berjalan ke garasi rumahnya karena adiknya pasti sedang menunggu di sana.
Namun sebelum Rumi memasuki ruangan khusus itu, ia mendengar suara klakson yang berasal dari luar sana. Ah, rupanya Rafka sudah menunggunya di luar bersama dengan mobil. Baru saja Rumi akan menyampaikan permintaan sang Bunda.
"Kok naik mobil?" Yang Rumi lakukan setelah memasuki kursi bagian penumpang malah memberikan pertanyaan yang membuat Rafka menjelingkan matanya dengan malas.
"Udah malem kali Mba, kalo naik motor yang ada nanti Mba malah sakit." Oh? Rumi kira Rafka menggunakan mobil karena tidak suka dengan angin malam, tapi ternyata karena takut dirinya akan sakit. Manis sekali adiknya ini.
"Aduh manisnya adikku ini, love you jangan?" Tubuh Rafka langsung bergidik ngeri setelah mendengar ucapan Rumi, tapi hal itu tidak menghalanginya untuk menyalakan mesin dan mulai mengendarai kendaraan beroda empat itu.
Dalam perjalanan yang terdengar hanyalah suara dari lagu yang telah Rumi pilih sebelumnya. Terkadang Rumi atau Rafka akan mengikuti beberapa lirik yang hanya mereka ketahui saja, lalu selebihnya kembali terdiam. Hingga pada akhirnya mobil yang mereka kendarai berhenti tepat di depan sebuah gedung perkantoran.
"Mau ditemenin sampe ke dalam nggak?" Sebelum sang kakak turun, Rumi memberikan pertanyaan yang malah membuat Rumi mendelik.
"Ngapain dih? Adek tunggu di sini aja." Pertanyaan tadi itu hanya basa basi saja kok, karena sangat tidak mungkin Rafka masuk ke dalam sana dengan pakaian yang seperti ini.
Gedung ini sudah cukup familiar bagi Rumi sehingga ia tak perlu bertanya sama sekali pada beberapa penjaga kemanan yang sempat ia lewati tadi. Rumi juga sudah hapal dimana letaknya meja kerja Digo.
Pasti yang akan Rumi temukan nanti ekspresi wajah Digo yang nampak begitu terkejut karena ia memang sengaja tidak memberitahukan pada kekasihnya itu mengenai kedatangannya.
"Duh, kok jadi gue yang deg-degan sih?" Sesampainya di depan sebuah pintu yang sebentar lagi akan mengantarkan dirinya bertemu dengan Digo, Rumi menghentikan langkah kakinya sebentar.
Di sana ia tengah sibuk mengatur degup jantungnya sendiri. Ini aneh, karena Rumi tidak pernah seperti ini saat akan bertenu dengan kekasihnya.
Setelah dirasa cukup, barulah Rumi membuka pintu tersebut menggunakan tangan kanannya. Kedua netranya lantas mencari keberadaan Digo di setiap kubikel yang ada. Tunggu dulu, itu kan...
"DIGO!" Suara Rumi menggelegar, memenuhi ruangan yang ternyata hanya diisi oleh Digo seorang. Oh tidak, lebih tepatnya dihuni oleh dua orang manusia yang tengah asik bercumbu di sana.
"R-Rumi." Berkat teriakannya Rumi, Digo langsung melepaskan pagutan bibirnya dengan seorang wanita yang tidak Rumi kenali siapa. Ia juga langsung mendorong tubuh wanita itu agar menjauh dari sisinya.
"Ini lembur yang kamu maksud itu?" Netra Rumi nampak memerah dan ada genangan di pelupuk matanya saat ini, dan jika ia berkedip pasti akan ada air yang jatuh dari sana.
"Enggak gitu sayang, aku bisa jelasin. Yang kamu lihat itu sa—"
"Bagian mananya yang salah? Kamu sama perempuan ini ciuman kan tadi?" Emosi dan air matanya sudah tidak bisa tertahankan lagi hingga keluar di saat yang bersamaan.
"Rumi dengerin aku dulu, aku cuma—"
"Nggak, aku nggak mau denger apa-apa lagi. Apa yang aku lihat tadi udah cukup, aku nggak butuh penjelasan apapun lagi dari kamu." Sudah cukup, Rumi tidak bisa bertahan di tempat ini lebih lama lagi karena itu hanya akan membuat hatinya malah semakin sakit.
"RUMI! TUNGGU DULU!" Terlambat, percuma saja Digo memanggilnya dengan keras karena sekarang Rumi sudah berlalu pergi bersama dengan sekotak makanan yang tadi ia buat dengan penuh cinta.
"Ngapain sih dikejar lagi? Kan kamu sendiri juga yang bilang udah nggak cinta sama dia lagi, biarin ajalah Go." Langkah kaki Digo yang akan menyusul Rumi juga terhenti begitu saja karena wanita yang tadi bercumbu dengannya menahan.
Memang benar kalau perasaan yang Digo miliki pada Rumi itu sudah tidak seperti dulu lagi, tapi setidaknya Digo tidak bisa membiarkan Rumi pergi begitu saja setelah melihat yang tadi ia lakukan bersama rekan kerjanya sendiri.
kalau Kaka bersedia follow me ya ..
maka Kaka BS mendapat undangan dari kami. Terima kasih