Leuina harus di nomor duakan oleh ibunya. Sang ibu lebih memilih kakak kembarnya.yang berjenis.kelamin pria. Semua nilainya diakui sebagai milik saudara kembarnya itu.
Gadis itu memilih pergi dan sekolah di asrama khusus putri. Selama lima tahun ia diabaikan. Semua orang.jadi menghinanya karena ia jadi tak memiliki apa-apa.
bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RUTINITAS
Hari berganti. Luein kembali bekerja, ia kini mengenakan kemeja putih dengan kerah berpita, dengan bawahan celana kulot warna hitam. Ia mengendarai mobilnya menuju perusahaan di mana ia magang.
Seperti biasa, ia datang bersamaan Hugo, Brandon, dan Diana. Mereka bertiga keluar dari mobil Brandon.
"Tumben bareng!" sahut Luien menatap ketiganya dengan senyum di bibir.
"Kasihan aja ngeliat mereka di halte, nyaris seperti orang kebingungan," seloroh Brandon meledek.
Luien terkekeh. Sedang Diana dan Hugo hanya acuh dengan apa yang dikatakan Brandon. Ketiganya masuk lift. Lagi-lagi, Gloria datang sambil berlari dan berteriak.
"Tunggu!"
Luein menahan lift. Kemudian Gloria pun masuk dengan napas terengah-engah. Ia menatap Luien dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"Wah, baru dapat lotre ya, bajunya bagus gini?!" tanya Gloria sambil menyindir.
"Kalau pun iya, toh kamu nggak rugi, Glor," sahut Brandon datar.
"Wah ... wah ... wah ... sudah jadi pendukung orang miskin juga ternyata. Aku, tahu perusahaan ayahmu sedang colab. Tak usah menurunkan standarmu, kau masih lebih kaya dari mereka," sahut Gloria menyadarkan Brandon.
Ting!Pintu lift terbuka. Brandon lebih dulu keluar, pemuda itu masuk divisi pengolahan industri. Lalu dua lantai berikutnya, Hugo keluar. Pria itu masuk di divisi pengembangan industri, baru satu lantai berikutnya Gloria yang masuk di divisi administrasi. Terakhir, Luein dan Diana. Mereka turun di lantai paling atas.
Keduanya kembali sibuk. Lagi-lagi, Adrian dan Vic kembali mengerjai mereka berdua. Sayangnya, tak ada keluhan keluar dari mulut kedua gadis itu.
Sedang di ruangan lain, Gloria yang sudah merekap semua laporannya, mengingat kejadian semalam. Ia sangat yakin jika ia tengah ada di klub bersama Jessy, Anneth dan Brenda. Ia sangat yakin tengah berseteru dengan salah satu pria yang hendak melecehkannya. Lalu, ia pun tertidur. Entah, mengapa, malam itu ia sangat mengantuk sehabis meminum minuman yang disodorkan Jessy.
"Berterima kasihlah pada temanmu. Ia mengantarkan kamu yang sudah tak sadarkan diri, lalu meminta Daddy memanggil, Dokter. Kau tau, kau baru saja mengkonsumsi obat penenang untuk penderita depresi berat," jelas Ageele, ayah Gloria.
"Siapa yang membawaku pulang tadi malam?" tanyanya dalam hati. "Apa maksud Jessy memberiku minuman yang tercampur obat penenang?"
"Gloria, mana rekap laporan yang saya minta?!" seru Nona Anabeth. Kepala divisi administrasi.
"Ah, iya Nona. Sudah saya siapkan!" sahut Gloria tersentak.
Jika di luaran, gadis itu mampu merendahkan orang lain. Namun, di kantor ini. Gloria hanyalah bawahan yang tak berarti. Ia pun menyerahkan rekapannya.
"Kalau sudah selesai itu langsung diserahkan. Jangan saya harus teriak-teriak dulu!" bentak Anabeth.
"Baik, Nona. Maafkan saya!" sahut Gloria sambil menunduk takut.
Anabeth mengangkat dagunya. Gadis berusia tiga puluh dua tahun itu adalah karyawan senior di perusahaan Maxwell. Ia ditugaskan di anak cabang perusahaan, selama dua tahun, setelah ia mengabdikan diri selama nyaris lima tahun di perusahaan pusat.
Kini, gadis itu mengoles lagi lipstik dan mengaca sebentar. Setelah yakin akan penampilannya. Gadis itu melenggang menyerahkan laporan kepada atasannya.
"Tuan Adrian ... aku datang," ujarnya sedikit genit. Lalu melenggang ke lantai dua puluh tujuh, di mana ruang atasannya berada.
Ketika sudah sampai di lantai yang dituju. Ia pun dengan begitu percaya dirinya membuka pintu dan masuk begitu saja.
"Tuan," panggilnya dengan suara seseksi mungkin.
"Kenapa tidak sopan sekali kamu!" bentak Vic langsung.
Anabeth terdiam. Ia lupa, ada penjaga setia tuannya. Sungguh, gadis itu membenci Vic yang menurutnya terlalu ikut campur ruang pribadi atasannya.
"Aku ... aku ...."
"Keluar dari ruangan dan ketuk pintu!" titah tegas keluar dari mulut Vic.
Anabeth mengumpat kesal dalam hatinya. Ia pun terpaksa keluar dan mengerjakan apa yang diperintah oleh asisten pribadi Adrian.
"Tuan ini rekapan semua laporan yang anda minta, ssys telah mengerjakannya tadi. Walau sedikit berat, karena anda memintanya mendadak," ujarnya memberitahu sekaligus mengeluh.
"Oh, jadi pekerjaan ini memberatkan mu Anabeth?" tanya Adrian.
"Sedikit Tuan. Tapi, saya tetap lakukan sebagai rasa profesionalisme saya," ujarnya menjawab dengan penuh percaya diri.
"Kau atau Gloria yang menyusunnya, Anabeth?" tanya Vic tiba-tiba sambil membaca hasil rekap.
Pria itu dapat mengenali ciri khas para pegawainya jika melakukan pekerjaannya. Tentu saja ia tahu bagaiman Gloria menyelesaikan pekerjaannya, laporan didiknya dialah yang memberi nilai.
"Tentu saja saya Tuan!" seru Anabeth tetap mempertahankan apa yang ia utarakan.
"Anabeth. Kau tau, jika ingatanku sangat baik. Bahkan aku bisa membedakan tulisan aslimu atau bukan. Kau bekerja di perusahaan ini selama tujuh tahun. Kau ingin membohongiku?" tekan Vic pada gadis yang kini berdiri kaku.
Sedang Adrian acuh saja. Semua pekerjaan sepele semua ia serahkan pada Vic.
Anabeth terdiam. Ia pun meluapkan satu hal. Jangan pernah berbohong pada Vic, pria itu tak mudah untuk dimanipulasi. Akhirnya Anabeth mengakui itu bukan miliknya.
Kini, gadis itu tengah menghentak-hentakkan kakinya ketika di luar ruangan. Luien dan Diana yang baru saja kembali dari ruang divisi akunting sedikit heran dengan Anabeth.
"Kenapa kau?" tanya Diana ingin tahu.
"Panggil aku Nona, anak magang!" sentak Anabeth tak suka dengan panggilan Diana.
"Ingat, setiap kau melihatku. Panggil aku Nona!" tekannya.
"Aku tidak mau!" tekan Diana sambil mendekatkan wajahnya pada Anabeth.
"Kau menentang ku!" seru Anabeth arogan.
"Ada apa ini ribut-ribut!" bentak Vic yang keluar dari ruangan di susul oleh Adrian.
"Tuan, anak magang ini tak sopan pada atasannya. Ia menolak memanggilku Nona," adu Anabeth setengah merengek.
"Kenapa harus begitu?" tanya Adrian kini.
"Aku kan senior mereka, jadi semestinya dong jika mereka memanggilku, Nona," jelas Anabeth dengan begitu percaya diri.
"Well, Nona Anabeth Cole. Silahkan anda kembali ke divisi anda. Anda menghalangi kami, berjalan," sindir Adrian.
Anabeth mengangkat dagunya lalu pergi dari tempat itu..Luein dan Diana hanya terbengong.
"Sudah, abaikan dia. Terlalu lama menjadi perawan. Otaknya sedikit bermasalah," sindir Adrian.
Baik Luien dan Diana hanya diam menanggapi. Kini keempat orang itu berjalan menuju divisi akunting yang ada di lantai delapan. Ketika mereka sampai di lantai yang di tuju. Alex sudah berada di sana.
"Kak. Kau sudah baca semua laporannya?" Alex mengangguk.
"Berkat kejelian Diana, Luein dan Gloria. Ternyata, tak percuma menyelamatkan dia kemarin malam," sambung Vic.
Luein dan Diana menatap Vic. Keduanya tak suka dengan ucapan pria itu barusan.
"Minta maaf Vic. Kau baru saja merendahkan wanita!" tegur Alex.
Vic pun menunduk. Ia terkadang terlalu lepas kontrol jika berbicara. Gloria masuk ruangan. Gadis itu memang akan melakukan review-nya tentang kejanggalan angka-angka yang menurut dia tak masuk akal.
Luien dan Diana juga memberi keterangan yang lebih kuat lagi. Banyak wajah-wajah pucat di dalam ruangan. Penggelapan dana selama tiga bulan pun terbongkar.
bersambung.
wah Gloria pinter juga ternyata.
next?