Siapa sangka, cinta yang dulu hangat kini berubah menjadi api dendam yang membara. Delapan tahun lalu, Alya memutuskan Randy, meninggalkan luka mendalam di hati lelaki itu. Sejak saat itu, Randy hidup hanya untuk satu tujuan : membalas sakit hatinya.
Hidup Alya pun tak lagi indah. Nasib membawanya menjadi asisten rumah tangga, hingga takdir kejam mempertemukannya kembali dengan Randy—yang kini telah beristri. Alya bekerja di rumah sang mantan kekasih.
Di balik tembok rumah itu, dendam Randy menemukan panggungnya. Ia menghancurkan harga diri Alya, hingga membuatnya mengandung tanpa tanggung jawab.
“Andai kamu tahu alasanku memutuskanmu dulu,” bisik Alya dengan air mata. “Kamu akan menyesal telah menghinakanku seperti ini.”
Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Mampukah cinta mengalahkan dendam, atau justru rahasia kelam yang akan mengubah segalanya?
Kisah ini tentang luka, cinta, dan penebusan yang mengguncang hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Pagi ini setelah mendapatkan beberapa foto dari Andik, Randy beserta Geni dikawal oleh dua orang anak buahnya yang lain segera menuju ke kantor pengacara menemui Pak Rusdiana, seorang kuasa hukum yang telah diutus Pak Antonio untuk mengurus perihal warisan orang tuanya.
Tentunya, dengan kendaraan milik salah seorang anak buahnya. Mereka juga sengaja menggunakan pakaian yang berbeda dari biasanya agar tak bisa terdeteksi oleh siapa pun. Tak hanya itu, Randy juga sengaja tak berangkat dari rumahnya, melainkan dari sebuah co working space. Ia berganti baju sesaat sebelum keluar dari tempat itu, untuk berjaga-jaga jika ada yang ingin mengikutinya.
Ia bertekad ingin segera menyelesaikan semua ini agar segera bisa memikirkan Alya dan Gio. Apalagi setelah menanyakan kondisi Alya saat ini pada Pak Antonio semalam. Hancur hatinya melihat kondisi psikis Alya akibat perbuatannya di masa lampau.
Setibanya di sana, Randy segera menyerahkan apa yang sudah ia dapat, mulai dari berkas dari Pak Antonio, berkas yang berhasil Geni ambil di ruang arsip, dan foto dari Andik.
“Apa kita bisa mencari pengakuan dari Notaris ini, Pak, pasti dia masih punya riwayatnya. Setidaknya dia bisa membeberkan kesaksiannya nanti,” Randy mengutarakan opininya.
“Akan kami usahakan bisa segera menemui notaris ini,” tutur Pak Rusdiana.
Terdiam sejenak, mantan asisten Pak Antonio itu lalu memanggil salah seorang pegawainya. Dengan menunjukkan foto akta yang didapatkan Andik, setengah berbisik ia memerintahkan bawahannya tersebut untuk menemui notaris yang dimaksud. Tak lupa, ia tampak memberikan peringatan agar tindakan itu dilakukan dengan hati-hati.
Kembali berbicara pada Randy, Pak Rusdiana yang telah mendapatkan penjelasan dari Pak Antonio terkait persoalan ini, berjanji akan mengusahakan kasus ini bisa secepatnya selesai. “Saat itu, saya masih magang dan diminta menjadi asisten Pak Antonio ikut mengurus warisan Pak Luki Atmaja. Jadi, saya juga bisa menjadi saksi atas surat wasiat ayah Anda."
Ia kemudian meminta Randy berhati-hati agar tak ada seorang pun yang tahu penyelidikannya ini.
Selesai mereka berbincang, Randy dan para anak buahnya pun pamit.
“Aku ingin mampir ke panti sekarang, melihat keadaan Alya dan ke sekolah Gio,” tutur Randy pada Geni.
Menundukkan kepalanya, Geni mempersilakan tuannya itu segera masuk mobil.
35 menit perjalanan, tiba lah ia di sekolah Gio. Melihat Nana yang sedang menunggu anak-anak keluar kelas, Randy menghampirinya. Ia lalu tampak menanyakan keadaan Alya padanya.
“Mbak Alya kembali seperti dulu. Untuk itu, aku diminta Bu Puri mengurus Gio sementara waktu, karena Mbak Alya tampak mengabaikannya. Kasihan Gio, dia terus menangis karena mamanya tak mau banyak bicara padanya,” jelas Nana.
Tertunduk lesu mendengar penjelasan Nana, Randy begitu menyesal. Ia tak menyangka sejauh ini trauma yang ia berikan. Terlebih, Gio juga terkena dampaknya.
Tak lama, Gio dan teman-temannya berhamburan keluar kelas. Tentu, anak Alya itu langsung berlari ke arah Randy setelah melihatnya berdiri di halaman sekolah. Dengan raut wajah sendunya, Gio seakan ingin menceritakan kesedihannya beberapa hari ini.
“Mama marah sama Gio, Om. Mama tidak mau bicara sama Gio,” adunya.
Pilu mendengarnya, Randy mengusap lembut wajah Gio. Ia lalu tampak menenangkan dan menghibur Gio agar tak berpikiran seperti itu. “Mama sedang sakit, Gio, bukan marah. Gio tidak boleh sedih ya, mama sayang sekali pada Gio, jadi tidak mungkin mama marah sampai tidak mau bicara.”
Setelahnya, Randy menggendong bocah TK itu menuju panti.
“Mbak Nana, ayo pulang.” Salah seorang anak panti tampak menarik-narik baju Nana yang sedari tadi seperti melamun.
Seketika teman Alya itu pun dibuat gelagapan karena fokusnya buyar saat tengah memandangi Geni yang berdiri tak jauh darinya, begitu pun dengan Geni yang lalu menundukkan kepalanya.
“Iya, iya, ayo kita pulang,” ucap Nana salah tingkah kemudian menggandeng tangan anak-anak panti.
Saat tiba di gerbang panti, Pak Antonio terlihat sedang melakukan olahraga kecil di halaman panti. Randy pun menghampirinya untuk meminta izin. Menurunkan Gio, ia menyalami tangan mantan pengacara itu.
“Pak, Randy izin mau bawa Gio jalan-jalan sebentar ya, agar dia tidak sedih melihat mamanya,” ujarnya penuh harap.
Mengangguk tanda setuju, Pak Antonio mengingatkan agar Gio dipulangkan sebelum sore.
“Memang Gio mau jalan sama Om?” tanya Pak Antonio tersenyum melihat ke arah Gio.
“Mau dong, Opa. Kalau begitu, Gio ganti baju dulu ya, sama pamit mama,” ujar anak kecil itu bersiap berlari masuk ke dalam.
Sontak Randy dan Pak Antonio segera menahannya.
“Nanti biar Opa yang bilang sama mama kalau Gio pergi sebentar sama Om. Gio ganti baju dulu saja ya sama Mbak Nana,” sahut Pak Antonio.
Nana pun bergegas mengajak Gio ke dalam untuk berganti baju setelah mendapat kode mata dari suami Bu Puri itu.
“Ibu bagaimana, Pak?” Randy tampak ragu jika Bu Puri marah.
“Itu urusan Bapak, yang penting kamu jaga Gio baik-baik dan pulangkan dia sebelum sore,” pinta Pak Antonio.
Randy lalu tampak berbisik lirih pada Geni untuk mengerjakan beberapa pekerjaannya, sementara ia akan berjalan-jalan bersama Gio beberapa jam ke depan.
***
“Setelah bermain ini, kita makan ya, karena Gio sudah telat makan siang. Kita bermain 15 menit saja, oke, janji?” Randy mengulurkan jari kelingkingnya pada Gio yang begitu antusias bermain di playground, setelah bermain di 2 arena berbeda.
Gio pun mengangguk dan ikut mengulurkan jari kelingkingnya.
Membiarkan Gio memasuki arena bermain perosotan dan mandi bola, Randy tampak mendokumentasikan momen ini di ponselnya, sembari ikut bermain bersama. Terharu rasanya ketika melihat raut bahagia terpancar dari wajah anaknya itu. Apalagi setelah mendengar pengakuan Gio yang tak bisa sering bermain di tempat seperti ini karena mamanya tak punya uang.
“Maafkan Papa, Nak. Andai dulu Papa tidak gegabah, kita bisa terus sama-sama sekarang dan kamu bisa merasakan apa yang seharusnya kamu rasakan.” Tak sadar satu tetes air matanya terjatuh begitu saja.
“Lempar bolanya ke Papa, Gio.” Seketika Randy keceplosan menyebut dirinya papa dan langsung melirihkan nada suaranya, untung saja Gio tak begitu mendengarnya karena masih seru bermain.
Hingga 15 menit berlalu, Gio mengajak keluar dari arena bermain karena ia merasa harus menepati janji.
Kagum, Randy tersenyum bangga pada anaknya atas didikan Alya, yang sangat berbeda dengan sikap Raina dengan didikan Nadia.
“Gio mau makan apa?” Randy tampak menyebutkan beberapa menu yang bisa Gio pilih.
“Mi itu, Om, nanti kita bawakan juga untuk mama, soalnya mama suka sekali makan mi," jawabnya gemas sembari menunjuk salah satu gerai makanan.
Randy pun seketika teringat saat masa pacaran bersama Alya dulu. Hampir tiap hari ia menemaninya makan mi, meski ia tak begitu menyukai makanan itu. Tapi, demi Alya ia rela mengesampingkan rasa tak suka bahkan rasa bosannya pada mi.
"Eh tapi, Gio juga mau bawakan makanan untuk teman-teman panti. Mereka juga suka sekali makan mi,” ujar Gio sedih.
“Kalau begitu, kita bawakan juga untuk teman-teman panti, oma, opa, dan mbak Nana,” ujar Randy tersenyum.
Bahagia, Gio tak lupa mengucapkan terima kasihnya pada lelaki yang ia panggil om itu.
Hingga saat akan memesan makanan, ponsel Randy berdering.
“Ya, ada berita apa?” Randy tampak serius mendengarkan panggilan telepon yang ternyata dari asistennya itu.
“Oke, aku mau dengar berita buruknya dulu,” pinta Randy.
Tertegun, Randy diam menelan salivanya kasar dan dengan ponsel yang masih menempel di telinganya, hingga tak sadar Gio terus memanggil-manggilnya.
...****************...
alurnya teratur baca jdi rileks banyak novel yang lain tulisan nya di ulang ulang terlalu banyak kosakata aku senang cerita kamu terus deh berkarya walaupun belum juara
Semangat kutunggu Karya selanjutnya Thoor, semoga sehat selalu