Dokter Fikri adalah seorang psikiater dari kepolisian. Dokter Fikri adalah seorang profesional yang sering menangani kriminal yang mengalami gangguan kepribadian.
Namun kali ini, Dokter Fikri mendapatkan sebuah pasien yang unik, seorang gadis berusia 18 tahun yang mempunyai riwayat penyakit kepribadian ambang (borderline).
Gadis itu bernama Fanny dan diduga membunuh adik tiri perempuannya yang masih berumur 5 tahun.
Apakah Dokter Fikri biaa menguak rahasia dari Fanny?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 : Malam Kehangatan
Aku menatap bayanganku di cermin, tersenyum tipis kepada sosok yang memantul di sana. Segalanya berjalan seperti yang sudah kurencanakan. Reino kini sepenuhnya terjebak dalam jaringku, dan tak ada yang bisa menariknya keluar. Baginya, akulah satu-satunya yang bisa dipercaya, penyelamatnya, pelindungnya, dan suatu hari nanti, aku akan menjadi seluruh dunianya.
"Kenikmatan ini benar-benar luar biasa," gumamku pelan, menikmati kesendirian ini.
Aku menyisir rambut panjangku dengan jemariku, sebuah ritual kecil untuk merayakan setiap kemenangan yang telah kucapai. Tak ada yang lebih memuaskan daripada melihat seseorang sepenuhnya bergantung padaku, terutama seseorang seperti Reino. Sejak awal, aku tahu dia harus menjadi milikku, dan sekarang, dia sudah hampir sepenuhnya berada dalam genggamanku.
Aku masih ingat bagaimana Reino jatuh ke dalam rencanaku. Setelah insiden itu, ketakutan dan kebingungan di matanya begitu nyata. Dia mulai melihatku sebagai satu-satunya tempat perlindungan. Aku memainkan peran itu dengan sempurna, menghapus darah dari wajahnya, menawarkan kenyamanan yang dia butuhkan. Sedikit demi sedikit, aku membuatnya bergantung padaku, sampai pada titik di mana dia tidak bisa lagi membedakan antara cinta dan ketergantungan.
Itulah bagian favoritku, saat seseorang kehilangan kendali, saat keinginan mereka tak lagi milik mereka sendiri, melainkan hasil dari apa yang telah kutanam dalam benak mereka.
Aku beranjak dari cermin dan melangkah ke jendela, memandangi halaman di mana kami sering berlatih bersama. Dalam sepinya malam, aku merasakan kepuasan yang mengalir dalam tubuhku. Reino, dengan segala kepolosannya, kini tak lebih dari seorang anak yang tersesat, dan akulah satu-satunya yang bisa menuntunnya.
Tiba-tiba, ponselku bergetar di meja. Reino, tentu saja. Aku meraih ponsel itu dan membaca pesan yang masuk.
"Kak Laura, aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan. Bisakah kita bicara?"
Senyumku semakin lebar. Sempurna.
Aku segera mengetik balasan, memastikan nadanya penuh perhatian seperti yang dia harapkan.
"Tentu, Reino. Datanglah ke rumah sekarang. Aku di sini untukmu."
Setelah mengirim pesan itu, aku menatap ke luar jendela lagi, rasa puas tadi berubah menjadi kegembiraan yang tak tertahankan. Malam ini, aku akan membawa Reino semakin dalam ke dalam kekuasaanku.
Tak lama kemudian, ketukan di pintu terdengar. Reino berdiri di sana, wajahnya kusut, matanya dipenuhi keraguan. Aku menyambutnya dengan senyum simpati, membuka pintu lebar-lebar.
"Ada apa, Reino?" tanyaku, mempersilahkannya duduk di sofa. Aku duduk di sampingnya, menjaga jarak yang cukup dekat untuk membuatnya nyaman, tetapi tidak terlalu dekat agar dia tidak merasa terintimidasi.
Dia menunduk, bergulat dengan pikirannya sendiri. "Aku... aku merasa nggak mampu, Kak. Aku lemah, dan aku nggak tahu harus bagaimana. Aku sudah berlatih, tapi tetap saja merasa lemah. Aku ingin melindungi diriku sendiri dan juga orang lain."
Suaranya penuh keraguan dan ketakutan, persis seperti yang kuharapkan. Aku menatapnya, memastikan ekspresiku menunjukkan perhatian yang tulus. Dia begitu naif, dan aku menyukai itu.
Inilah saatnya. Saat yang tepat untuk membuatnya semakin bergantung padaku.
"Kamu nggak perlu melindungi dirimu sendiri, Reino," kataku lembut. "Apalagi orang lain. Kamu punya aku. Aku akan selalu ada di sampingmu. Aku mencintaimu, Reino."
Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, perlahan, memastikan setiap gerakan terasa penuh arti. Aku melihat keraguan di matanya, bercampur dengan keinginan yang dia coba sembunyikan. Hanya satu napas lagi, dan aku tahu dia akan menyerah.
"Aku mencintaimu, Reino," ulangku, kali ini dengan nada lebih lembut, seakan-akan kata-kata itu adalah sebuah janji suci yang tak bisa diingkari. Dia begitu rapuh saat itu, dan aku tahu inilah saatnya untuk memberikan pukulan terakhir.
Tanganku menyentuh pipinya dengan lembut, merasakan kulitnya yang dingin. "Kamu nggak sendiri, Reino. Aku selalu ada di sini untukmu," bisikku pelan, namun cukup kuat untuk membuatnya menggigil.
Reino menatapku, matanya yang penuh keraguan berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, keputusasaan yang telah kutunggu-tunggu. Dia membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Hanya napas berat dan tatapan penuh ketakutan.
"Kak Laura..." suaranya pecah, terdengar seperti permintaan tolong yang terlambat.
Aku tersenyum dalam hati, menikmati momen ini. "Kamu nggak perlu takut, Reino," kataku, jemariku masih menelusuri wajahnya. "Aku ada di sini, dan aku nggak akan pernah meninggalkanmu. Biarkan aku menjadi tempatmu bersandar."
Dia menutup matanya, menyerah pada perasaannya. Aku tahu, dia tidak akan pernah bisa melawan perasaan itu, karena perasaan itu bukan miliknya. Itu milikku, yang kutanamkan dengan cermat dalam pikirannya.
Aku mendekatkan wajahku lagi, tanpa ragu. Bibirku hampir menyentuh telinganya saat aku berbisik, "Kamu milikku, Reino. Hanya milikku."
Saat kata-kata itu terucap, aku bisa merasakan tubuhnya menegang, tapi dia tidak menolak. Sebaliknya, dia menyerah, membiarkan dirinya jatuh dalam pelukan yang telah kusiapkan sejak awal.
Aku memeluknya erat, menariknya lebih dekat, membiarkan dia merasakan kehangatan yang membuatnya merasa aman, sekaligus terjebak lebih dalam dalam jaringku. Dia adalah boneka di tanganku, dan akulah dalang yang mengendalikan setiap gerakannya.
Dia memelukku balik, erat, seakan-akan aku adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya dari dunia yang menghancurkan. Aku bisa merasakan keputusasaan dalam genggamannya, dan itu membuatku merasa lebih kuat.
"Kak Laura, aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan," suaranya gemetar. "Aku takut."
Aku mengusap rambutnya dengan lembut. "Kamu nggak perlu takut, Reino. Aku akan selalu ada di sini untukmu. Aku akan menjagamu, mencintaimu, dan selalu menyayangimu."
Dia mengangguk pelan, masih memelukku erat. Aku tahu, saat ini, dia benar-benar percaya bahwa akulah satu-satunya yang bisa menolongnya. Dan itu adalah kemenangan terbesar bagiku.
Malam semakin larut, kami tetap dalam posisi itu, saling berpelukan dalam keheningan. Di dalam pikiranku, rencana berikutnya mulai terbentuk. Dengan setiap langkah kecil ini, Reino semakin jauh dari dirinya sendiri, dan semakin dekat padaku.
Saat akhirnya kami melepaskan pelukan, aku menatap wajahnya yang pucat dan lelah. "Kamu butuh istirahat, Reino," kataku penuh perhatian. "Tinggallah di sini malam ini."
Dia hanya mengangguk pasrah. Aku menarik tangannya, mengarahkannya ke kamar.
"Hangatkan aku, sayang," bisikku lembut sembari berjalan menuju tempat tidur.
Aku menarik Reino ke tempat tidur, menatapnya dalam keremangan kamar yang hanya diterangi lampu temaram. Tanpa ragu, aku mendekatkan wajahku dan menyentuh bibirnya dengan lembut. Reino, yang awalnya ragu, akhirnya membalas ciumanku dengan penuh hasrat. Tubuhnya gemetar di bawah sentuhanku. Tangannya bergerilya di seluruh tubuhku, aku tahu ini adalah momen penting untuk mengunci dirinya, menjadi milikku seutuhnya. Di antara desahan napas dan sentuhan hangat, aku tahu, malam ini, Reino akhirnya sepenuhnya menjadi milikku.
aarrrrgh~~~