Dialah Azzura. Wanita yang gagal dalam pernikahannya. Dia ditalak setelah kata sah yang diucapkan oleh para saksi. Wanita yang menyandang status istri belum genap satu menit saja. Bahkan, harus kehilangan nyawa sang ayah karena tuduhan kejam yang suaminya lontarkan.
Namun, dia tidak pernah bersedia untuk menyerah. Kegagalan itu ia jadikan sebagai senjata terbesar untuk bangkit agar bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada orang-orang yang sudah menyakiti dia.
Bagaimana kisah Azzura selanjutnya? Akankah mantan suami akan menyesali kata talak yang telah ia ucap? Mungkinkah Azzura mampu membalas rasa sakitnya itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Bab 35
Seperti yang Angga katakan, Adya pulang duluan untuk mengurus pekerjaan kantor yang sedang menumpuk. Sementara Angga sendiri sibuk berusaha mengejar Zura dengan memulai cara yang lebih mudah.
Angga mengirimi Zura bunga ke rumah Hani. Namun, belum sampai ke tangan Zura, bunga malah sudah nyungsep ke tong sampah. Karena paman Zura yang duluan bertemu dengan bunga tersebut.
"Pria bajingan masih saja tidak paham dengan apa yang aku katakan. Tunggu dan lihat saja nanti apa yang akan aku lakukan padanya." Kesal si paman sambil berkacak pinggang.
"Ada apa, Paman?" Zura yang baru muncul langsung melontarkan pertanyaan saat melihat wajah gusar dari pamannya sekarang.
"Ya ampun, baru juga datang udah memasang wajah kesal. Cepat tua lho tar wajahnya itu." Zura malah menggoda pamannya sekarang.
"Lihat itu, Zu!" Paman berucap sambil mengarahkan telunjuknya ke arah tong sampah. "Bunga dari pria bajingan itu sudah paman singkirkan. Tolong, jangan buat paman kecewa, Azzura."
Zura terdiam sejenak. Matanya menatap lekat pada tong sampah di mana sebuket bunga mawar ada di dalam sana.
"Jika paman tidak melakukannya. Maka aku juga akan melakukan hal yang sama dengan apa yang paman lakukan. Aku tidak pernah berniat untuk menerima apapun dari dia. Sudah cukup rasa sakit itu, aku tidak akan menambahkannya lagi."
"Pegang kata-katamu, Zu. Jangan pernah membuka hati untuk orang yang telah menyakiti kamu ya, nak."
Zura langsung meraih lengan pamannya.
"Iya, pamanku yang ganteng. Jangan cemas."
"Udah, ah. Ayo masuk. Mama sudah menunggu di dalam. Rencana pernikahan megah sudah kami bahas tadi malam. Paman hanya perlu mempersiapkan diri saja. Selebihnya, aku yang akan handle."
"Kamu ini, Zu. Rencana pernikahan megah apanya? Paman ini sudah tua. Jangan berlebihan. Cukup yang sederhana saja. Yang penting sah."
"Oo ... tidak bisa begitu, paman. Kalian memang sudah berumur. Tapi resepsi megah juga harus diadakan. Umur bukanlah alasan untuk tidak membuat sebuah resepsi yang megah, bukan?"
"Dasar kamu. Pintar banget kalo ngomong."
"Ya harus dong. Zura gitu lho, Man."
"Oh iya, dua hari lagi aku terpaksa harus pulang ke kota sebelah, paman."
Si paman langsung menghentikan langkah kakinya. "Pulang? Ada urusan apa?"
"Pengadilan meminta aku datang untuk menyaksikan putusan hukuman buat tante dan Mirna. Sidang terakhir mereka akan di adakan dua hari lagi."
Paman Zura langsung mengubah raut wajahnya. "Mereka ... akhirnya membayar mahal apa yang telah mereka lakukan."
"Paman ... merasa keberatan jika mereka menerima hukuman?"
Sontak, tatapan paman Zura langsung beralih ke arah wajah keponakannya.
"Pertanyaan apa itu, Zu? Tidak sedikitpun ada rasa keberatan yang muncul dalam hati paman saat mereka menerima hukuman."
"Ya ... meskipun terasa sedikit tidak nyaman saat mengingat mereka, tapi paman tidak pernah merasa keberatan jika mereka menerima hukuman. Sebab, hukuman itu mereka dapatkan karena ulah mereka sendiri juga."
"Ah! Ya sudah. Nanti kamu katakan pada paman lagi berapa lama mereka harus di hukum. Paman tidak bisa ikut pulang bersama kamu karena paman punya banyak urusan di sini. Apa ... kamu tidak keberatan jika pulang sendiri, Zu?"
"Gak kok, Paman. Aku udah biasa lho pergi pulang sendiri. Dan lagi, aku juga gak akan sendirian kok. Pergi di temani Lula juga ke mana-mana."
"Jaga diri baik-baik kalo pergi nanti. Jangan buat paman cemas."
"Hm." Zura berucap sambil menganggukkan kepalanya pelan.
Sejujurnya, Zura tahu akan apa yang saat ini hati pamannya rasakan. Bagaimanapun, Mirna itu adalah anak yang ia besarkan sejak kecil meski bukan darah dagingnya sendiri. Sedangkan mantan istrinya itu adalah orang yang sudah hidup lama dengannya.
Hati paman Zura tentu saja merasa tidak nyaman jika mereka bertatap muka. Makanya, si paman tidak pernah ingin mengunjungi anak juga mantan istrinya yang saat ini ada di dalam penjara.
Kesalahan memang harus menerima hukuman. Tapi hati manusia itu juga lembut. Ada sisi marah, tapi juga ada sisi sedih. Tentu saja saat mengingat saat-saat bersama pasti akan muncul perasaan tidak tega nantinya.
'Maafkan aku, Paman. Aku terpaksa berhati batu saat berhadapan dengan mereka. Karena bukan hanya aku saja yang mereka sakiti selama ini. Paman juga menerima perlakuan buruk dari mereka berdua. Mereka tidak pernah menghargai paman selama mereka bersama paman. Jika saja mereka punya sisi lembut, mungkin aku juga bersedia meringankan tuntutan untuk mereka,' kata Zura dalam hati.
....
"Tuan muda. Bagaimana ini? Perusahaan sangat membutuhkan kehadiran tuan muda sekarang. Apakah tuan muda benar-benar berencana untuk menetap di sana?"
"Adya. Apa kamu masih tidak bisa aku handal kan? Kenapa juga aku kirim kamu pulang jika kamu tidak bisa mengurus perusahaan?"
"Tuan muda. Masalahnya terlalu rumit. Saya ini bukan pemilik dari perusahaan ini. Saya hanya asisten tuan muda saja. Sedangkan pemiliknya adalah tuan muda. Semau dokumen membutuhkan tanda tangan tuan muda untuk di selesaikan."
"Dasar kamu. Jangan mengajari aku apa yang sudah aku ketahui."
"Heh! Baiklah. Besok aku akan kembali."
"Kenapa tidak hari ini saja, tuan muda?"
"Adya .... "
"Oo baiklah tuan muda. Ya. Besok harus kembali. Saya jemput di bandara, oke?"
"Hm."
Panggilan vidio call itupun langsung diakhiri oleh Angga. Rasanya kesal memang. Tapi mau bagaimana lagi? Apa yang Adya katakan itu ada benarnya juga. Dia yang memiliki perusahaan tersebut. Tentu saja dialah yang bisa menyelesaikan semua pekerjaan. Bukan Adya yang hanya seorang asisten pribadinya saja.
"Baiklah. Aku harus pulang dulu besok. Setelah pekerjaan di kantor beres, aku akan datang lagi untuk mengejar Zura."
"Namun, sebelum pulang juga harus melakukan pengejaran. Aku harus datang sendiri ke kediaman Hani Adinda."
Karena niatnya untuk mengejar Zura masih belum pudar, Angga malah berniat untuk datang ke kediaman Hani untuk bertemu langsung. Dua hari dia membuat jadwal bertemu setelah malam itu, tapi tidak ada yang berhasil sedikitpun.
Kali ini ia datang dengan keadaan pasrah. Jika ia diusir lagi, maka dia akan menerimanya dengan lapang dada. Mobil Angga jalankan menuju kediaman Hani. Saat tiba ke tempat yang ingin ia tuju, di sana malah sudah ada mobil lain yang terparkir. Dan mobil itu sepertinya bukan mobil dari si pemilik rumah.
Angga beranjak turun dari mobil dengan seikat bunga di tangan. Buket indah untuk yang kesekian kalinya untuk wanita yang ia puja saat ini. Angga melangkah dengan langkah mantap untuk bertemu Zura.
Bel pintu ia bunyikan. Beberapa saat kemudian, seorang pelayan muncul dari balik pintu tersebut.
"Permisi, mas. Cari siapa?"
"Ee ... cari ... nona Zura. Apakah nona Zura nya ada?"
"Ada. Tunggu sebentar! Saya tanya dulu bisa menerima tamu lagi sekarang atau tidak. Soalnya, di dalam juga ada tamu."
tp bila baca kisah angga kesian juga dye...