Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Dengan mengucap syukur, akhirnya Halim dan Medina sampai juga di TPU. Tempat peristirahatan terakhir Ayah Medina.
Untung saja ketika putar balik, mereka masih menemukan rumah-rumah warga. Tidak banyak sih, Cuma satu dua rumah saja.
Halim mendoakan Ayah Mertuanya itu dengan khidmat. Doa yang terbaik dia panjatkan.
Setelah mengaminkan doanya, Halim menoleh pada Medina yang menatap sendu nisan Ayahnya.
Halim tersenyum tipis. Dia mengerti akan perasaan Istrinya.
Halim mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Medina.
“Adek gapapa?”
Medina tersentak. Dia langsung menoleh ke arah Halim dan tersenyum.
“Adek gapapa, Bang.”
“Jangan sedih, ya? Sekarang ada Abang.”
Mendengar itu, mata Medina langsung berkaca-kaca. Entah kenapa, ya? Walau kata itu sederhana, tapi mengena di hatinya.
“Makasih ya, Abang.”
Halim melebarkan senyumnya dan mengangguk. Lagi-lagi rasa ingin memeluk dan mencium muncul tidak pada tempatnya.
Halim berdehem, menetralkan rasa aneh dalam dirinya.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk pulang. Lagi pula, tidak baik lama-lama berada di pemakaman.
......***......
Halim membawa Medina ke rumahnya. Selain untuk mengambil motor, Halim juga ingin mengajak Medina jalan-jalan nanti. Sekalian bilang, kalau dia mau ajak Medina untuk tinggal di rumahnya.
“Assalammu’alaikum!” ucap Halim melenggang masuk ke dalam rumah. Di susul Medina di belakangnya.
“Wa’alaikumsalam! Eseeeeh! Penganten baru! Asey geboy!” sahut Habibah yang lagi duduk di sofa sambil nonton tv.
Halim berdiri di depan tv. Dia berkacak pinggang dan menaikkan dagunya pada Habibah.
“Kenapa? Iri, ya? Bilang sama Mama kalau kamu mau nikah juga!”
Habibah melirik Medina yang sudah senyum-senyum. Kemudian melirik lagi pada Halim.
“Eh! Eh! Eh! Bukannya semalam itu Bang Halim gak mau—“ Habibah berucap dengan tangan menutupi mulutnya.
Halim langsung melotot. “Muncungmu ya, Bibah! Abang kasih gramocon baru tahu kamu, ya!”
Habibah mencebik. “Uuuhh. Kok Abang gitu! Gini-gini aku loh yang banyak ikut mempersiapkan pernikahan Abang sama Medina.”
Halim berdecak. “Ck! Gitu aja sombong!”
Baru saja Habibah mau balas, Aisyah tiba-tiba muncul.
“Astaghfirullah! Kalian ini apa-apaan ‘sih? Malu sama Ipar kamu, Bah!” Aisyah langsung kasih tatapan peringatan sama Habibah yang cengengesan.
Aisyah kemudian mengalihkan atensinya pada Medina. “Menantu Mama, udah dari tadi, ya?”
Medina tersenyum, terus mendekat dan menyalim tangan Mertuanya. “Belum, Ma. Baru aja.”
“Kalian dari mana? Udah makan? Kalau belum, makan dulu sana.”
“Tadi ziarah ke makam Ayah. Tadi udah makan, Ma,” jawab Medina sopan.
Aisyah tersenyum dan manggut-manggut. Dia kembali melihat keadaan Abang dan Adek itu lagi. Ternyata pertengkaran masih berlanjut.
Mereka sama-sama saling menuding tanpa suara. Membuat Aisyah geleng-geleng kepala. Masih kecil begitu, eh udah besar juga sama begitunya. Subhanallah!
“Heeeeiii! Bisa berhenti gak kalian?”
Halim dan Habibah menoleh ke sumber suara dan langsung ciut seketika.
“Maaf, Ma,” ucap mereka berdua kompak.
Setelah itu, Habibah memilih untuk masuk ke kamar.
Aisyah menghela nafas. Dia memilih duduk di sofa. “Uuuhh. Oh iya, Lim. Besok Mama dan Bibah mau pulang, ya? Bibah udah mulai kuliah lagi. Butik Mama juga udah lama gak dibuka.”
Halim mengangguk. “Iya, Ma. Ya udah, Halim mau ke kamar dulu, ya?”
Aisyah mengangguk. Dalam hati dia senyum-senyum. Penganten baru memang enaknya di kamar, ya? Ahai.
“Yok, Dek.”
Medina mengangguk. “Medi sama Abang ke kamar dulu ya, Ma?”
Aisyah tersenyum. “Iya, Nak.”
.....**.....
“Di sini kamar kita, Dek.” Halim menoleh sekilas ke belakang di mana Istrinya berdiri. Setelah itu dia mengunci pintu kamarnya.
“Di sini ya, Bang? Lumayan luas juga kamarnya ya, Bang?”
Halim beranjak menuju ranjang dan duduk di sana. “Adek mau ‘kan tinggal sama Abang di sini? Di rumah ini? Rumah kita?”
Mendengar kata-kata itu aja, sukses membuat pipi Medina bersemu merah.
Medina mendekat dan duduk di samping Halim. “Abang itu Suaminya Adek. Ke mana Abang pergi, Adek akan ikut.”
Halim berbinar. “Alhamdulillah. Tinggal bilang sama Ibu aja nanti, ya?”
Medina mengangguk dan tersenyum. Dia lalu menunduk. Entah kenapa rasa malu dan grogi kembali menyerang.
Dan benar saja, Halim mendekat dan melepas seluruh hijab Medina. Tangan Halim dengan lembut mengusap lehernya. Lalu menekan sedikit lehernya hingga wajahnya dekat dengan Halim.
Halim mencium bibir Medina dengan menggebu. Ternyata ciuman itu enak ya, Weh? Untung aja ciumannya sama Istri sendiri. Pahala mengalir. Asek!
Tiba-tiba Halim teringat, kalau di rumah ini bukan Cuma mereka saja. Ada 2 manusia lagi. Rasanya gak leluasa aja gitu. Mana tahu saking keenakan, malah buat suara dia jadi menggelegar, ‘kan malu, ya?
CK! Mata bawah Halim berkedut-kedut. Kali ini gagal lagi sepertinya. Haduh! Kepala Halim mendadak jadi pening.
Medina yang otaknya mikir, kalau melakukan hubungan Suami Istri itu, Cuma sebatas di pegang-pegang dan di jilat-jilat saja.
Makanya ketika lagi-lagi Halim berhenti, atau menyudahi kegiatannya, berarti hubungan Suami Istrinya sudah selesai.
Dan polosnya, dia langsung mandi wajib setelah itu, coba!
Medina! Anak sapa sih kau, Medina? Ya amplop!
Halim merebahkan badannya. Dia juga meminta Medina untuk rebahan juga.
“Dek, Abang ngantuk. Abang tidur bentar, ya?”
Medina yang dasarnya ingin jadi Istri Sholehah, langsung mengiyakan permintaan Suami.
“Dek, Abang jadiin Adek guling, ya?”
Medina langsung membelalak. Belum lagi protes, Halim sudah memeluk dirinya erat sekali. Bak memeluk sebuah guling.
Medina hanya bisa pasrah. Posisi dia itu terlentang. Suaminya dengan leluasa memeluk, mencemol-cemol apa yang mau dicemol. Sedang Medina Cuma bisa menahan nafas.
‘Ya Allah, Suami gue! Perasaan tadi malam tidurnya gak begini amat? Gapapalah, yang penting Suami gue senang.’
.....**.....
Halim terbangun setelah merasakan tidur enak dan mimpi indah. Setelah menikah sejak kemarin, dia jadi sering mimpi enak. Untung saja tidak sampai membuat celana dia basah. Wuuuh. Mimpi apakah itu?
Dia menoleh pada Istrinya yang ternyata ikut tidur juga. Halim jadi kasihan. Posisi tidur Istrinya seperti tidak nyaman.
Halim langsung mengangkat tangan dan kakinya dari tubuh Medina. Dia perhatikan dari atas kepala sampai kaki Medina. Huuuft. Halim bernafas lega. Karena montoknya Medina masih sama, gak mengalami kegepengan akibat dari pelukan eratnya.
Apalagi di bagian yang mumbul-mumbul berbentuk bulatan itu. Ahai! Halim jadi gatal ingin me-re-masnya lagi.
Halim melirik jam. Sudah pukul 14 siang. Halim terkejut, karena keenakan bobok jadi belum sholat.
Halim segera membangunkan Medina. Dengan jurus cium sini cium sana. Padahal itu Cuma modus Halim semata. Agar sang Istri segera terjaga.
Medina akhirnya terbangun juga. Halim segera memerintahkan untuk mengambil wudhu, dan melaksanakan sholat berjamaah.
Sore harinya setelah sholat ashar, Halim mengajak Medina untuk jalan-jalan. Niat hati, sekalian belikan Medina baju. Baju yang talinya setipis kulit ari. Ada gak, ya?
Uuuuhh. Medina pasti sexy sekale. Halim cengar-cengir mengiyakan pikirannya.
“Ayo, Bang. Adek udah siap.” Medina mendatangi Halim yang sedang duduk di teras, menunggunya.
Halim mengangguk. Mereka tidak perlu ijin lagi, karena sudah ijin tadi. Lagi pula, Habibah dan Mama Aisyah sedang keluar entah ke mana. Mereka sengaja kali, ya? Membiarkan mereka berduaan terus. Hahaha.
Baru lagi Halim memasukkan kunci motornya ke slot kunci dan menghidupkannya, mata Halim langsung berkedut ria.
Halim menggeram ketika tahu motornya kehabisan bensin.
‘Ya Allah, Ya Rabbi. Si Bibaaaaah! Boleh gak aku cekekkan dia!’
Baru beberapa hari Halim tidak bawa motor, motornya sudah seperti ini keadaannya. Bukan Cuma kehabisan bensin, body-nya juga begitu jorok. Ya Salaaaam!
Melihat Suaminya Cuma diam dan memperhatikan motornya, Medina jadi mengerutkan alis.
“Ada apa, Bang?”
Halim langsung pasang wajah secerah mentari. “Maaf, ya, Dek? Bensinnya habis. Abang pergi beli dulu, ya, Dek?”
Medina mengangguk. “Iya, Bang.”
“Adek duduk dulu, ya?”
Lagi-lagi Medina mengangguk patuh. Dia beranjak ke teras dan duduk. Sedang Halim pergi membeli bensin, menaiki motor matic sang Mertua.
‘Huuuuft. Si Bibah! Untung aja besok dia pulang.’
Hati Halim tidak berhenti mendumel. Ditambah semakin mendumel ketika hp-nya terus-terusan bergetar.
Halim bahkan menghentikan motornya di pinggir jalan. Dia sudah mulai pasang senyum kalau hp-nya bergetar karena telepon dari Istrinya, tapi ternyata ini nomor baru.
Halim mengernyit. “Siapa nih?”
Panggilan telepon berakhir. Karena Halim memang tidak berniat untuk mengangkatnya.
Tak lama chat masuk secara beruntun.
[Halim. Apa kabar?]
[Halim, aku kangen.]
[Halim, aku masih cinta sama kamu]
[❤️❤️]
Halim tercengang membaca semua chat itu. Tapi dia tidak mau ambil pusing. Selama ini juga banyak orang aneh mengirimi dia chat. Ya, walaupun gak seperti ini isi chat-nya.
“Bodo amat!”
Halim kembali memasukkan kembali hp-nya ke dalam kantung celana. Dia segera pergi untuk membeli bensin eceran.
Halim tidak mau membuat Istri tercintanya menunggu terlalu lama.
Kira-kira siapa si Pengirim chat itu, ya?
......**......
Assalamu'alaikum Pembaca aku 🤗.
Selamat membaca ya?
Jangan lupa untuk like, komen dan subscribe, ya?
Kasih komen yang bikin semangat ya, Weh?
akoh pada kalian, sarang heo love muah muah 💐❤️