Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Malika senyum-senyum membawa kopi ke ruang keluarga. Kemudian duduk di sofa melipat kaki. Sambil menunggu kopi hangat, ia main game, itulah pekerjaan Malika selama dua tahun tinggal di kediaman keluarga Davin.
30 menit kemudian, ia ke ruang kerja Davin yang tidak dikunci. Namun, Davin tidak terganggu dengan langkah kaki Malika. Mungkin saja Davin sedang fokus dengan pekerjaan, Malika tidak tau.
"Banyak kerjaan ya Kak" Malika yang sudah berdiri di samping meja kerja Davin, melirik kopi yang baru diminum seperempat.
"Kamu Lika, mau apa kesini?" Davin menoleh sekilas lalu kembali kerja.
"Lah... kok pakai tanya, biasanya kan aku sering menemani Kakak kerja" Malika langsung duduk di samping Davin.
"Bukan begitu Lika, sekarang saya sudah punya istri" Davin tidak ingin ada salah paham. Walaupun saat ini ia tahu bahwa Arumi belum menaruh hati kepadanya, tentu Davin menjaga perasaan istri.
"Aku bingung mau apa Kak, tidak ada Aunty, terasa sepi" Lika pura-pura menjadi wanita kesepian dan minta ditemani.
Davin tidak lagi menjawab memilih melanjutkan pekerjaan.
"Kopinya kok belum dihabiskan Kak, kalau dingin kan nggak enak" Lika mantengin kopi tidak juga Davin habiskan padahal menunggu reaksi.
Davin meneguk kopi hanya tinggal seperempat, lalu meletakkan cangkir kembali. Tanpa Davin tahu Lika tersenyum, ia pikir selangkah lagi misinya akan berhasil.
Sepi di ruang kerja, hingga 15 menit kemudian, Davin tidak tenang. Bayangan pesona bibir Arumi ketika tersenyum manis membuatnya deg degan, hingga tidak lagi konsentrasi untuk bekerja
Davin menyugar rambutnya ke belakang, alisnya terangkat, badannya berkeringat padahal ac ruang itu menyala.
"Kenapa Kak" Malika merangkul pundak kakak sepupunya itu ketika napas Davin terdengar ngos-ngosan.
Malika merangkul semakin erat, bibirnya tersenyum, membayangkan sebentar lagi Davin akan mengemis cinta kepada Lika yang selama ini ia tolak. Namun, tiba-tiba saja Davin menyentak tangan Lika lalu berlari ke luar.
"Lah, kenapa malah keluar Dia, jangan-jangan nanti justru Arumi yang menikmati. Sial" Malika meninju angin.
Sementara Davin, pria itu ke kamar Adel di mana Arumi berada. Dia memusatkan pikiran agar ingat jika di dalam kamar ada putrinya. Davin tidak mau mengganggu tidur Adel.
Tiba di kamar, Arumi sudah tidur pulas, bahkan anak dan ibu sambung itu saling berpelukan.
Davin cepat-cepat keluar harus bisa mengendalikan juniornya yang ingin segera masuk ke dalam sarang.
"Kak Davin kenapa?" Malika menghadang langkah Davin.
"Minggir Lika!" Tandas Davin mendorong tubuh Lika yang menghalangi jalan, lalu membuka pintu kamar. Setelah masuk, Davin menutup pintu dengan kasar.
"Kak Davin, buka pintunya, Kakak kenapa?" Malika mencoba membuka pintu tetapi dikunci dari dalam.
"Sial" Malika marah-marah sambil masuk ke kamar sendiri. Dia banting bokongnya di kasur menyesali kegagalannya. Padahal rencana ini sudah ia rencanakan sebelum Davin dan Arumi pulang ke Jakarta. Ia sengaja membubuhkan obat perangsan ke dalam minuman Davin, hanya karena ingin Davin menyerah. Jika misinya berhasil, Lika akan membuat video dan menyebarkan agar Arumi mundur meninggalkan Davin. Namun, Davin sama sekali tidak tertarik dengan tubuhnya.
"Jika aku mau, bisa menundukkan banyak pria di luar sana, tetapi kenapa hati ini harus jatuh cinta sama Kamu Kakak" Lika pun akhirnya tidur terlentang.
***************
"Kenapa aku bisa bangun kesiangan sih" Gerutu Arumi ketika jam 5 baru bangun. Mungkin karena lelah hingga tidurnya tidak mendengar Adzan subuh. Setelah melipat selimut Arumi meninggalkan Adel yang masih pulas.
"Pak Davin sudah bangun belum ya" Arumi menekan kenop pintu hendak ambil baju ganti di kamar Davin.
"Kenapa dikunci sih..." Arumi pikir Davin tidak mau dia ganggu. Arumi akhirnya balik lagi mandi di kamar mandi Adel. Terpaksa memakai baju yang sama.
"Eh, Adel sudah bangun" Arumi memandangi Adel yang masih malas-malasan di tempat tidur.
"Sudah... tadi mau bangun mencali Mama, eh, kedengelan lagi mandi, telus Adel bobo lagi" celoteh Adeline dengan suara serak.
Arumi gemas lalu mencium pipi Adel. "Adel mandi yuk, biar segar"
"Masih dingin Ma, biasanya kan Adel mandi agak siang" jujur Adeline justru menarik selimut khas anak-anak.
"Ya sudah... Mama mau membuat susu, Adel ikut atau menunggu disini" Arumi memberi pilihan.
"Tunggu sini saja"
Arumi mengangguk lalu ke dapur membuat susu, tidak lama kemudian kembali, memberikan susu Adel.
"Mama buat sarapan dulu ya" Arumi izin Adel akan membuat sarapan untuk papa. Gantian Adel yang menggangguk lalu menyedok susu sambil tiduran.
"Sudah bangun Non?" Tanya bibi yang tengah mencuci beras hendak menanak nasi.
"Tadi saya sudah ke dapur membuat susu Bi" Arumi terkikik.
"Oh, mungkin saya lagi di kamar mandi" bibi gantian tertawa.
"Ada bahan sarapan apa Bi" Arumi yang baru sehari tinggal di rumah itu tentu belum tahu apa isi kulkas.
"Non Arumi lihat saja" bibi membuka kulkas. "Mau apa Non" sambung bibi.
"Biar saya yang membuat sarapan Bi"
"Jangan Non" bibi melarang Arumi karena khawatir dimarahi Davin. Sebab, memasak adalah tugasnya.
"Bibi tenang saja" Rumi menceritakan jika selama tiga hari di Semarang selalu memasak untuk Davin.
"Non Arumi bisa memasak juga"
"Bisa sedikit-sedikit Bi, saya kan anak kost" Arumi memang bisa memasak karena sering belajar dari Anjani yang jauh lebih pintar.
"Pantas" bibi memperhatikan Arumi yang membuat makanan sederhana tetapi sehat untuk sarapan pagi. Yakni tahu, telur, wortel dan daun bawang, sayur kesukaan Adel.
"Mama..." Adel menyusul ke dapur sambil membawa botol.
"Sudah habis susu nya" Arumi yang tengah memindahkan tahu kukus dari mangkuk tahan panas berhenti beberapa detik.
"Sudah habis, tapi masih lapal" ucapnya mungkin karena penciumannya mengendus aroma masakan Arumi.
"Nanti ya, masih panas" Arumi tersenyum menatap Adel yang nampak ingin segera menyantap makanan tersebut.
"Sambil menunggu dingin, Adel mandi dulu ya" Arumi menuntun Adel ke kamar.
Tidak lama kemudian setelah Arumi ke kamar, Davin nampak turun dari tangga dengan rambut basah.
"Yanti kemana Bi?" Davin menghampiri bibi yang sedang mencuci panci pengukus.
"Dia sedang mencuci pakaian Tuan"
"Panggil Dia kemari" perintah Davin nampak marah.
"Baik Tuan" bibi segera memanggil Yanti, hanya dalam hitungan detik, sudah kembali bersama Yanti.
Yanti berjalan ke arah Davin yang sedang duduk di kursi meja makan.
"Tuan memanggil saya?" Tanya Yanti sopan.
"Kamu kan, yang membuat kopi tadi malam?!" Tandas Davin, pria itu berdiri menahan marah.
"Betul Tuan..." Yanti menunduk, tubuhnya gemetar takut menatap Davin.
"Kamu tambahkan apa, kopi untuk saya?" Davin kembali membentak, hingga terdengar oleh Arumi yang hendak mengambil handuk Adel di jemuran. Lalu belok arah di mana Davin menginterogasi Yanti.
"Pak, ada apa sih? Pagi-pagi kok marah-marah?" Arumi berdiri di depan Davin.
...~Bersambung~...