seorang gadis "bar-bar" dengan sikap blak-blakan dan keberanian yang menantang siapa saja, tak pernah peduli pada siapa pun—termasuk seorang pria berbahaya seperti Rafael.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lince.T, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di ambang bahaya
Malam itu, gudang di Distrik Selatan menjadi medan pertaruhan. Tim pengintai Rafael melaporkan setiap gerakan kecil kelompok Darius yang mendekat ke wilayah mereka. Rafael, yang berada di ruang kendali, terus memantau laporan melalui radio sambil memikirkan langkah berikutnya.
Liana duduk di sudut ruangan, memperhatikan ekspresi tegang di wajah Rafael. Ia ingin menawarkan saran, tetapi ia tahu batasnya. Dunia ini adalah milik Rafael, dan ia hanya tamu yang sedang mencoba memahami semua aturan yang berlaku.
“Bos, mereka berhenti di titik B-7. Sepertinya mereka menunggu sesuatu,” kata Marco melalui radio.
Rafael menyipitkan matanya, mempelajari peta yang ada di depannya. “Mereka nggak akan berhenti tanpa alasan. Ada yang mereka tunggu. Perhatikan baik-baik, tapi jangan serang dulu.”
Marco mengonfirmasi perintah itu, sementara suasana di ruang kendali semakin tegang.
---
Di Distrik Selatan, Viktor memimpin kelompok kecil anak buah Darius. Mereka berkumpul di luar gudang tua yang kosong, membawa tas-tas yang tampak mencurigakan. Viktor memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mulai memasang sesuatu di sekitar gudang—bom waktu.
“Kita buat mereka berpikir ini hanya serangan kecil,” ujar Viktor dengan suara rendah. “Kalau mereka terpancing keluar, Darius akan punya alasan untuk menyerang besar-besaran.”
Anak buahnya bergerak cepat dan tenang, memastikan tidak ada suara atau gerakan mencurigakan yang bisa terdeteksi oleh pengintai Rafael.
Namun, mereka tidak tahu bahwa setiap langkah mereka sudah diawasi.
---
Di vila, Rafael mendengar laporan dari salah satu pengintainya. “Bos, mereka memasang sesuatu di sekitar gudang. Sepertinya bom.”
Liana, yang mendengar itu, langsung berdiri. “Lo harus segera bertindak! Kalau mereka berhasil, lo bakal kehilangan salah satu aset lo!”
Rafael menatap Liana dengan tatapan tajam. “Gue tahu, tapi gue nggak bisa gegabah. Kalau gue serang sekarang, gue bisa jatuh ke perangkap mereka.”
“Dan kalau lo nggak bertindak, mereka akan menghancurkan semuanya!” seru Liana, tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Rafael menghela napas panjang. Ia tahu Liana benar, tetapi ia juga tahu risiko yang harus ia ambil.
“Marco,” ujar Rafael melalui radio, “siapkan tim penyerang. Tapi jangan bertindak sampai gue beri aba-aba.”
“Siap, bos,” jawab Marco.
Liana berjalan mendekat, menatap Rafael dengan tatapan serius. “Gue tahu ini bukan dunia gue, tapi kadang lo harus ambil risiko. Kalau lo terus bermain aman, Darius akan terus mendominasi.”
Rafael tersenyum tipis. “Lo nggak tahu betapa seringnya gue mengambil risiko. Tapi kali ini, gue harus pastikan semuanya berjalan sesuai rencana.”
---
Sementara itu, Viktor dan anak buahnya sudah hampir selesai memasang bom di sekitar gudang. Mereka memeriksa waktu hitung mundur yang menunjukkan lima belas menit.
“Kita keluar sekarang,” perintah Viktor. “Kalau mereka cukup bodoh untuk masuk, mereka akan hancur bersama gudang ini.”
Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, suara tembakan terdengar dari arah lain.
“Serang!”
Anak buah Rafael menyerbu dari arah yang berlawanan, mengepung Viktor dan kelompoknya. Marco memimpin serangan dengan tembakan presisi, memastikan setiap gerakan lawan terkunci.
“Bos, kita sudah masuk!” suara Marco terdengar melalui radio.
Rafael mengangguk. “Bagus. Pastikan mereka tidak sempat meledakkan bom itu. Tangkap Viktor hidup-hidup.”
Pertempuran pecah di sekitar gudang. Viktor menyadari bahwa jebakan mereka telah terungkap, tetapi ia tidak menyerah begitu saja. Ia memimpin anak buahnya untuk melawan, tetapi jumlah mereka terlalu sedikit dibandingkan tim Rafael yang sudah terlatih.
Liana mendengar suara tembakan dan ledakan kecil melalui radio. Ia berjalan mondar-mandir di ruangan, merasa tegang. Ia bukan bagian dari pertempuran itu, tetapi pikirannya terus berlari, membayangkan apa yang terjadi di lapangan.
“Lo nggak khawatir kehilangan mereka?” tanya Liana akhirnya, mencoba memecah kesunyian.
Rafael menoleh padanya. “Setiap orang yang bekerja untuk gue tahu risikonya. Tapi tugas gue adalah memastikan mereka semua pulang dengan selamat.”
Liana terdiam, merasa kagum dengan jawaban Rafael. Meski dingin dan tegas, Rafael ternyata peduli pada orang-orangnya lebih dari yang ia tunjukkan.
“Kalau lo tahu risikonya sebesar ini, kenapa masih terus ada di dunia ini?” tanya Liana, penasaran.
Rafael menatapnya dengan tatapan tajam namun lembut. “Karena ini bukan pilihan gue, Liana. Gue lahir di dunia ini, dan untuk keluar, harga yang harus dibayar jauh lebih mahal dari yang lo bisa bayangkan.”
Liana mengangguk pelan. “Tapi sekarang, lo punya pilihan. Lo bisa berhenti kalau mau.”
Rafael tersenyum kecil, tetapi senyum itu penuh ironi. “Berhenti? Dan membiarkan semua orang yang bergantung pada gue hancur? Kadang, pilihan itu hanya ilusi.”
Percakapan mereka terhenti oleh suara dari radio. Marco melaporkan, “Bos, kita sudah menangkap Viktor. Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?”
Rafael memegang radio dengan tangan kokoh. “Bawa dia ke vila. Gue mau bicara langsung dengannya.”
Liana menatap Rafael dengan rasa ingin tahu. “Apa lo akan bunuh dia?”
Rafael menggeleng pelan. “Belum tentu. Gue mau tahu apa yang dia tahu. Kalau dia berguna, mungkin dia bisa tetap hidup.”
Liana tersenyum sinis. “Kau selalu punya rencana di balik rencana, ya?”
“Selalu,” jawab Rafael singkat.
Namun, meski malam itu Rafael menang, ia tahu ini baru permulaan. Darius tidak akan tinggal diam setelah kehilangan salah satu orang kepercayaannya. Pertempuran berikutnya akan lebih besar, dan Rafael harus lebih siap dari sebelumnya.Liana berjalan ke jendela besar yang menghadap halaman depan vila, memandangi kegelapan malam yang hanya diterangi lampu taman. Hatinya bergejolak dengan berbagai emosi. Ia belum lama mengenal Rafael, tetapi semakin hari ia merasa tertarik dengan sisi-sisi dirinya yang tersembunyi di balik sosok dingin dan tak terkalahkan itu.
“Jadi, apa langkah lo selanjutnya?” tanyanya, memecah keheningan.
Rafael berdiri, membenarkan jasnya yang sedikit kusut. “Langkah selanjutnya adalah memastikan Darius tahu gue nggak main-main. Viktor akan memberi gue informasi yang gue butuhkan. Dari situ, gue bisa menentukan gerakan berikutnya.”
“Kedengarannya lo selalu satu langkah di depan. Tapi gimana kalau Darius juga punya rencana lain yang lebih besar?” Liana menatapnya dengan sorot tajam, seakan mencoba menantang kepercayaannya pada strateginya sendiri.
Rafael mendekatinya, berdiri di sisinya di dekat jendela. “Kalau dia punya rencana lain, gue akan siap. Darius mungkin licik, tapi dia terlalu percaya diri. Itu kelemahan utamanya.”
Liana mengangguk pelan, meski di dalam hati ia tetap merasa was-was. “Jangan terlalu yakin. Kadang musuh yang diam-diam menyusun strategi adalah yang paling berbahaya.”
Rafael menoleh ke arahnya, menyadari ada kebenaran dalam kata-kata Liana. “Lo benar. Itu sebabnya gue harus lebih cepat dan lebih cerdas. Karena di dunia ini, hanya yang terkuat yang bertahan.”
Liana terdiam, matanya kembali tertuju ke kegelapan di luar sana. “Semoga lo tahu apa yang lo lakukan, Rafael. Karena kalau lo gagal, lo nggak hanya kehilangan wilayah. Lo juga bisa kehilangan semua yang lo punya.”
Rafael tidak menjawab, tetapi sorot matanya mengeras. Dalam diam, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan kalah, tidak malam ini, tidak selamanya.