Ralina Elizabeth duduk tertegun di atas ranjang mengenakan gaun pengantinnya. Ia masih tidak percaya statusnya kini telah menjadi istri Tristan Alfred, lelaki yang seharunya menjadi kakak iparnya.
Semua gara-gara Karina, sang kakak yang kabur di hari pernikahan. Ralina terpaksa menggantikan posisi kakaknya.
"Kenapa kamu menghindar?"
Tristan mengulaskan senyuman seringai melihat Ralina yang beringsut mundur menjauhinya. Wanita muda yang seharusnya menjadi adik iparnya itu justru membuatnya bersemangat untuk menggoda. Ia merangkak maju mendekat sementara Ralina terus berusaha mundur.
"Berhenti, Kak! Aku takut ...."
Ralina merasa terpojok. Ia memasang wajah memelas agar lelaki di hadapannya berhenti mendekat.
Senyuman Tristan tampak semakin lebar. "Takut? Kenapa Takut? Aku kan sekarang suamimu," ucapnya lembut.
Ralina menggeleng. "Kak Tristan seharusnya menjadi suami Kak Karina, bukan aku!"
"Tapi mau bagaimana ... Kamu yang sudah aku nikahi, bukan kakakmu," kilah Tristan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Si Tuan Arogan
"Ralin ... Kamu sudah ada rencana magang dimana nanti?"
"Magang? Itu kan masih lama. Kita baru semester empat. Bukannya lebih baik fokus dulu ke ujian semester bulan depan?"
"Ya ... Waktu kan cepat berputar. Semester 6 itu tahun depan, kan? Harus kita pikirkan dari sekarang."
"Entahlah ... Aku belum memikirkannya."
"Apa kamu mau magang di hotel keluargamu?"
"Aku rasa tidak ... Aku malah lebih tertarik untuk magang di perusahaan skincare ibumu. Sepertinya lebih menarik."
"Hm, bagaimana kalau kita bertukar tempat magang? Aku ingin magang di hotel soalnya."
"Hahaha ... Boleh juga."
Selesai perkuliahan, Ralina dan Felicia sempat berbincang-bincang sembari berjalan ke arah parkiran. Setelah menghadiri perkuliahan dari pagi sampai siang tanpa jeda, mereka akhirnya bisa menikmati waktu bebas.
"Eh, siapa itu? Ada orang ganteng di parkiran," ujar Felicia.
Langkah mereka terhenti memandangi seorang lelaki yang sedang berdiri di bawah pohon dalam posisi membelakangi. Saat lelaki itu berbalik, Ralina langsung mengenalinya.
"Ah, itu Kak Tristan," ucap Ralina.
"Eh, kamu mengenalnya?" telisik Felicia keheranan.
Ralina mengangguk. "Dia calon suami kakakku."
"Oh ... Tapi kenapa dia ada di sini?"
"Katanya mau membelikan hadiah kejutan untuk kakakku. Dia memintaku membantu memilihkan hadiah."
"Oh ...." Felicia mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu, aku duluan, ya," pamit Ralina.
"Ah, iya. Sampai jumpa besok."
Ralina melambaikan tangan sebelum meninggalkan felicia. Ia berjalan menghampiri tempat Tristan berdiri di sana. Lelaki itu tampak mengembangkan senyum kepadanya.
"Kuliahnya sudah selesai?" tanya Tristan.
Ralina menjawab dengan anggukkan.
"Kalau begitu, ayo kita pergi sekarang!"
Mereka berjalan beriringan ke arah mobil yang Tristan bawa. Ralina agak terkejut ketika Tristan membukakan pintu depan dan menyuruhnya untuk masuk.
"Kakak ... Tidak bersama sopir?"
"Ah ... Hari ini aku sopirnya. Naiklah!" pinta Tristan.
Dengan perasaan canggung, Ralina masuk mobil dan duduk di bangku depan. Tak lama kemudian Tristan menyusulnya masuk di bangku samping.
Entah mengapa ia selalu merasa tidak nyaman, padahal lelaki itu tidak pernah jahat kepadanya. Wajahnya yang datar dan dingin seolah tidak bisa untuk diajak bercanda.
"Bisa pakai sabuk pengamannya?"
"Ah, hah?" Ralina terkejut karena sempat melamun.
"Mau aku bantu pasangkan?"
"Oh, tidak usah! Aku bisa sendiri!"
Dengan gugup Ralina bergegas memasang sabuk pengamannya sendiri. Tristan terlihat menyunggingkan senyuman kecil melihat kepanikan wanita yang ada di sebelahnya.
Mobil mulai berjalan setelah Ralina memasang sabuk pengaman. Jantungnya berdebar-debar dan rasa canggung meliputi diri. Ralina bahkan tak berani bergerak sedikitpun berada di sebelah Tristan. Ia hanya berharap mereka segera sampai di tempat tujuan. Suasananya sangat kaku dan menegangkan.
"Kamu suka makan apa?" tanya Tristan.
"Hah? Makanan kesukaan?"
"Iya."
Nada bicara Tristan yang datar membuat Ralina menggenggam jari jemarinya sendiri. Ia takut salah bicara dan membuat lelaki itu marah.
"Aku ... Suka ...."
"Kamu mau makan shabu-shabu?"
Tristan memotong jawaban Ralina. Ia seakan tidak sabar mendengar jawaban yang terlalu bertele-tele.
"Eh, shabu-shabu? Boleh ...."
Ralina tak bisa menolak makanan kesukaannya. Ia tidak mengira Tristan akan menawarkan makanan yang memang sangat disukainya. Ia tersenyum tipis.
Tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di tempat makan yang ingin didatangi. Tristan mengajak Ralina makan di restoran khusus masakan Jepang yang paling terkenal enak dan lumayan mahal di sana.
"Kamu sudah pernah ke sini?" tanya Tristan.
Ralina menggeleng. Ia sibuk mengagumi keindahan desain restoran yang benar-benar dibuat mirip seperti di negara Jepang.
Ketika mereka masuk, seorang pelayan wanita mengenakan yukata menyambut dan mengarahkan mereka ke ruangan yang sudah dipersiapkan.
Di ruangan itu mereka harus duduk di lantai beralaskan bantal duduk tipis.
Tak berselang lama, satu persatu pelayan datang membawakan sejumlah makanan hingga meja yang ada di depan mereka penuh.
"Ini ... Kenapa kita baru datang sudah disuguhkan makanan sebanyak ini?" tanya Ralina heran. Ia tercengang melihat aneka menu masakan khas Jepang tersaji di sana.
"Ah, mungkin mereka mengira aku datang untuk bertemu klien. Asistenku pasti lupa reservasi untuk dua orang," kilah Tristan.
"Kamu makan saja apa yang kamu suka. Nanti sisanya bisa dibungkus dan dibagikan ke orang-orang."
Ralina tersenyum senang. Sudah lama ia tidak memakan masakan Jepang, apalagi shabu-shabu kesukaannya. Uang jajan yang didapatkan sangat dibatasi. Ia juga dilarang melakukan kerja paruh waktu karena dianggap bisa merusak citra keluarga. Mau tidak mau dia harus berhemat.
Tristan fokus memandangi wajah ceria Ralina yang tengah sibuk memasukkan daging dan sayuran ke dalam kuah mendidih. Melihat wanita itu makan saja sudah membuatnya kenyang.
"Makannya jangan terburu-buru, nanti kamu tersedak," tegur Tristan melihat Ralina yang makan dengan lahapnya.
Selepas makan siang, mereka beralih ke sebuah pusat perbelanjaan besar. Tristan membawa Ralina ke sebuah gerai tas mewah untuk membelikan Karina tas baru.
"Aku rasa ini cocok untuk Kak Karina. Dia sangat suka warna biru." Ralina memperlihatkan tas pilihannya.
Tristan tidak terlalu mempedulikan. Sejak tadi ia hanya fokus memandangi wanita itu. Semakin dilihat, Ralina semakin terlihat cantik. Meskipun mengenakan pakaian murah dan biasa, Ralina masih terlihat cantik.
"Oh, jadi menurutmu itu bagus?" tanya Tristan.
Ralina mengangguk. Setidaknya ia harus berusaha keras memilihkan sesuatu yang akan disukai kakaknya. Apalagi Tristan sudah mentraktirnya makan siang enak. Bahkan dia juga diperbolehkan membungkus makanan untuk makan malam nanti.
"Kalau kamu sendiri, suka yang mana?"
Ralina melebarkan matanya. "Tidak usah, tidak usah ... Kak Tristan tidak usah membelikan aku apa-apa!" tolaknya.
"Kamu kita aku tidak sanggup membayar?" tanya Tristan dengan raut wajah terkesan kesal dan membuat Ralina takut.
"Bukan seperti itu ...."
"Pilih saja satu yang kamu suka. Lagi pula kita akan menjadi keluarga. Jadi tidak usah sungkan padaku," ujar Tristan.
Ralina menggigit bibir. Ia tahu harga tas di sana berkisar puluhan hingga ratusan juta, bahkan milyaran. Selama ini ia tidak pernah memiliki tas-tas mahal kecuali diberi tas bekas Karina yang akan dibuang.
Tidak mau membuat Tristan kesal, ia akhirnya mengambil satu tas berwarna putih yang harganya paling murah di sana.
Dari toko tas, Tristan mengajaknya ke toko sepatu. Sama seperti tadi, setelah ia memilihkan sepatu untuk kakaknya, ia menyuruh Ralina untuk memilih sepatunya sendiri.
Hal yang sama terjadi lagi di toko pakaian. Ralina bahkan disuruh langsung mengganti pakaiannya karena Tristan bilang penampilannya sangat mengganggu penglihatannya.
"Kamu bisa tidak berpakaian yang layak dan pantas setiap hari? Jangan sampai orang menganggap kamu tidak diurus keluargamu. Aku juga bisa ikut malu kalau jadi bagian dari keluarga kalian."
Perkataan Tristan terdengar sangat menyebalkan. Ralina sendiri juga ingin bebas membeli apapun yang ia inginkan. Tapi, selama ini ia hanya menunggu pakaian-pakaian bekas yang sudah tidak disukai Karina. Meski demikian, Ralina bisa bersabar karena Tristan sudah membelikan banyak pakaian untuknya.
kita lihat saja apakah ralina bisa membuktikan dirinya pantas untuk tristan, dan buktikan dirinya bahwa tristan beruntung memdapat istri seperti dia, kita lihat pengorbana ralina untuk tristan (jangan hanya berkorban untuk lelaki lain) kita lihat perjuangan ralina untuk tristan karena faktanya ralina telah melukai perasaan, harga diri dan kehormatan tristan telah di injak2 ralina
buktikan dirimu ralina, kalau hanya Hamill dan melahirkan semua wanita kodratnya memang begitu,
jaga perasaan suami, jangan lagi kau pedulikan perasaan lelaki lain, mau lelaki lain itu sedih dan tersinggung masa bodoh dengan dia, ingat ralina kalau kau mau suamimu tegas pada wanita lain maka kau juga harus tegas pada lelaki lain
jangan jadi wanita munafik dan murahan
sampai episode ini novel ini masih playing victim, jelas ralina yang menyakiti tristan tapi author memutar balik fakta seolah tristal yang jahat
miris
Tristan sadar kalau Ralina
hamil anknya...
nmanya tokoh d fiksi hrus nysuain sma khidupan nyata tdk smua bsa ajaib,, manusia memiliki sifat kekhilafan, tdk smua tokoh fiksi sempurna.../CoolGuy/
anggap Tristan melakukan kesalahan tapi author sadar tidak ralina lebih banyak melakukan kesalahan ralina lebih banyak menyakiti Tristan bahkan ralina dengan jelas telah menjatuhkan harga diri Tristan didepan pria lain dan ralina menginjak2 kehormatan tristan,
ralina menyakiti Tristan sudah sangat dalam,
kelihatan banget novel playing victim jelas2 Tristan yang paling disakiti diaini tapi malah dia dibuat paling jahat
thor jujur aku nanya, author bisa bedakan mana salah mana benar tidak sih???
ini fakta novel mi thor
*kesalahan Tristan satu2nya adalah memaksa ralina tapi setelah itu dia mencurahkan semuanya pada ralina kasih sayang, cinta, dia keperluan lahir batin dia penuhi,
*dan ini kesalahan ralina
*mau dihargai tapi dia tidak menghargai suaminya
*mau dicintai tapi dia tidak mencintai suaminya
*merasa murahan padahal dia sendiri yang minta bayaran
*pergi tinggal suami
*gampang intrkasi dengan pria lain
*lebih mementingkan perasaan pria lain dari pada suami
*membela pria lain daripada suami
*berkorban diri dan materi untuk pria lain didepan suami
*melukai perasaan suami sangat dalam
*menjatuhkan harga diri suaminya
*menginjak2 harga diri suami
*munafik dia merasa paling tersakiti padahal dia lebih menyakiti perasaan suami
yang membuat novel ini miris adalah author malah membenarkan semua kelakuan ralina
thor beljar berfikir adil
klo g prnah niduri karina hrsnya yakin kn
lgian hansan jg sudah pnya bukti klo karina dulu nya sering ganti laki"