Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Anak adventure
Aza sedikit melompat ketika sudah sampai di camp yang beberapa waktu ini akan menjadi tempat mereka tinggal.
Karena waktu dan kondisi yang sedikit kurang wajar, maka penyambutan mereka tidak semewah penyambutan calon anggota dewan perwakilan rakyat. Hanya beberapa personel saja termasuk komandan pasukan militer nusantara yang bertugas disana.
Seorang berseragam yang terlihat sedikit lebih tua dari kapten Yuda memimpin 3 orang personel lainnya dengan memberikan hormat pada rombongan nakes ini, dokter Alteja mengangguk sopan dan menjabat tangannya.
"Selamat datang di unit kami. Selamat bergabung..." ucapnya dibalas ucapan terimakasih oleh dokter Alteja.
Ini bukan pengalaman pertama Aza menjadi relawan kesehatan, namun merupakan pengalaman pertamanya datang dan mengabdikan diri di negri orang demi negri tercinta, alasan itu cukup membuatnya bertahan saat Hera mengatakan jika suhu udara disini panasnya melebihi panas ibukota.
Mungkin yang lain pun sudah mengangguk-angguk paham dengan kondisi di camp seperti ini, sedikit perasaan getir dan tak yakin mengisi ruang hati Aza, jelas... camp ini tidak senyaman camp relawan di rumah sendiri.
"Disini juga kadang suka susah air bersih. Jangan mandi terus...kasian si bapak tentara kalo mesti kelimpungan nyari aer...kamu udah tau kan, Za?" ucap Hera sekedar memberikan informasi pada si calon dokter muda ini.
Aza mengangguk cepat, bahkan sebelum Hera mengatakannya, ia sudah sedikit banyaknya membaca informasi tentang negara ini.
Mereka digiring lebih dalam lagi memasuki bangunan yang tak lebih besar dari sebuah markas militer negri, mengingat ini mungkin dulunya hanya bekas markas perbatasan yang dibangun pemerintah setempat. Bahkan karena kekurangan ruangan, beberapa tenda terlihat didirikan di area luas sekitar bangunan.
Aza menoleh ke belakang, entahlah...otaknya tak memerintah, namun sepertinya reflek hati menggerakan otot leher untuk bergerak mencari seseorang. Sayangnya tim yang tadi menjemput mereka sudah tak berada di belakang mereka, mungkin sudah beristirahat.
Ruangan di bangunan bagian timur rupanya memang sudah dipersiapkan untuk mereka beristirahat.
"Ruangan faskes ada di sebelah timur juga, hanya berjarak 2 ruangan dari ruang dokter dan yang lain beristirahat, toilet dan kantin di sebelah sana...." tunjuk kapten Yuda kembali mengantar para nakes ini melakukan tur bangunan.
Aza tak terlalu menyimak dengan penjelasan kapten Yuda diantara rombongan, mengingat pukul 4 pagi begini otak pintarnya masih terbang menyusuri ruang hampa, ngga tau masih rebahan di kursi empuk. Yang jelas info kantin dan toilet saja yang ia dengar dengan sangat jelas.
Hanya satu ruangan namun disekat oleh gorden antara nakes lelaki dan perempuan.
"Yuan, sini kamu...jangan ngikut cewek-cewek disitu." Dokter Dimas melambaikan tangannya dari barak pintu masuk sementara Aza melenggang bersama Nisa dan Hera ke arah lebih dalam dimana dokter Maya dan perawat perempuan lainnya sudah memilih tempat tidur, tak ada ranjang kokoh, hanya matras ukuran sebadan yang menjadi alas tidur mereka.
Hal mewah yang patut disyukuri oleh mereka.
"Segini sih alhamdulillah, dulu waktu di timur...kunjungan kesehatan dari ibukota ke daerah pelosok, gue malah pernah tidur di velbed, sampe pernah jatoh juga, karena velbednya bobrok..baliknya badan pada pegel semua..." bisik Nisa bercerita diangguki Hera cepat, "iya katanya. Padahal gue pengen coba lah pake velbed biar dikata anak *adventure*..." jawabnya.
Aza hanya menggeleng geli sambil mendengus lucu, tak dipungkiri ia pun pernah merasakan yang dirasakan Nisa beberapa kali, jadi dejavu saat ia pertama kali melakukan aksi charity kesehatan begini, ia kesulitan tidur dan buang air. Bahkan pengalaman memalukannya ia harus buang air di tanah yang ia lubangi, arghhhh tidak! Pulang-pulang ia trauma untuk buang air, sampai merasakan sembelit.
"Loe pernah, Za?" tanya Nisa.
Aza sudah merebahkan badannya di matras dan mengangguk mengiyakan meskipun matanya terpejam demi merasai pegal dan lelah di badan, "pernah. Kebanyakan di pulau Java." Bahkan Aza sudah membalikan badannya hingga tertekungkup di matras.
Sama halnya dengan Aza, Hera ikut-ikutan rebahan, hanya saja sepertinya mata yang sudah melek tak dapat lagi terpejam.
"Emangnya udah pernah kemana aja, Za?"
Aza praktis membuka matanya dan memandang atap, "ke timur, emhhh... borneo juga pernah."
"Wihhh, hebat..." puji Laras ikut nimbrung.
"Saya juga pernah Za. Dulu waktu ke timur ikut pasukan gabungan tentara--polisi. Waktu ada wabah campak, masuk pelosok demi menjamah pedalaman yang warganya kesulitan buat mencapai faskes. Itu medannya masyaAllah...ck..ck.." akui dokter Maya sembari membereskan peralatan miliknya, mulai dari mengeluarkan handuk, jaket, lotion dan bedak di samping matras. Aza mengangguk membenarkan, "bener dok."
"Wah, keren dok..." puji Hera.
Dan ngaler ngidul mereka bercerita sampai pagi menjelang, meskipun kenyataannya Aza menyimak sebagian obrolan mereka karena entah sejak kapan kesadarannya menurun.
"Yee, tidur." Hera melongokan kepalanya melihat wajah Aza yang berbantalkan lipatan tangan dengan mata yang terpejam, "nih anak doyan mo lor juga ya..."
Laras, Nisa dan dokter Maya ikut tertawa.
"Saya langsung subuh saja lah. Ngomong-ngomong subuh disini jam berapa ya?" tanya dokter Maya melenggang keluar, jelas ia tidak meminta jawaban anak-anak itik ini yang kurang ia percaya.
"Dokter Dim....subuh disini jam berapa?" teriaknya.
"Kurang tau, coba tanya bapak tentara, May..."
Aza menggeliat, karena lehernya cukup dibuat pegal dalam posisi tertelungkup begini, dadanya pun sedikit sesak. Ia mengerjap ketika sudah menggulingkan badan.
"Pada kemana ini?" Aza bangkit, merapikan rambut dan bajunya sejenak. Jam tangan juga tak luput ia lirik demi melihat waktu, sejurus kemudian ia menggeplak keningnya, menarik kunci di samping jam demi menyesuaikan waktu dengan waktu setempat.
Aza melirik barak lelaki, sama sepinya. Si alan, ia ditinggal sendiri...
Aza keluar dari ruangan, "ishh pada kemana sih?" ia celingukan seperti maling. Hanya ada selasar kosong tanpa manusia yang melintas.
Jagat yang memang sudah bersiap untuk makan pagi, praktis melewati barak para nakes mengingat ia baru saja selesai dari kamar mandi. Dari kejauhan ia melihat sosok semalam yang ia bantu naik ke truk itu tengah celingukan seperti kehilangan arah.
"Loh, ngga ikut sarapan mbak?" mendengar suara berat Jagat yang membuatnya sedikit terkejut, praktis Aza menoleh berbalik.
"Eh," Kini keduanya sama-sama melihat satu sama lain dengan jelas, tanpa kegelapan dan rasa kantuk yang mengganggu. Sama-sama terdiam, Jagat tak mau kepedean dengan mengatakan jika keduanya pernah bertemu sebelumnya, takut jika Aza mengelaknya dan ia malu sendiri.
Eh, ini tuh orang yang di......Aza memutar bola matanya ke atas, dimana ya...ahh takut salah!
"Oh, pantesan." Aza tersenyum manis, "dari tadi aku nyariin mereka pada ngga ada, lagi pada sarapan ternyata....abang sendiri ngga sarapan?" tanya nya so deket, ngga apa-apalah biar ngga dikata sombong. Aza memasang tampang nyengir takut jika keputusannya untuk bertanya basa basi itu justru dianggap so ngakrab, lalu Jagat menembaknya, dorr!
Baru kali ini ia begitu takut ngajakin orang basa-basi, takutnya itu setengah mamposss, persis ngajakin singa rujakan.
Jagat tersenyum, doi beneran lupa ternyata!
"Ini saya mau ke kantin. Kenapa ditinggal? Ketiduran?" basa-basi Jagat.
Aza tertawa renyah, sebenarnya bukan karena pertanyaan Jagat yang biasa saja dan justru terkesan garing, malahan! Namun karena rasa suudzonnya pada tentara, karena selama ini pemahamannya tentang serdadu itu yaa... tegas, galak, sadis pokoknya semua kesan bengis melekat padanya.
Aza menertawakan dirinya sendiri yang takut berbincang dengan Jagat, padahal Jagat pun baik, ngga gigit. Haduhhh lebay kamu Za!
"Iya." cicit Aza.
"Tau kantinnya dimana? Mau saya antar, kebetulan saya juga mau kesana?"
"Ya?" otaknya mendadak loading mirip komputer pentium 1, ngga support!
Sadar Jagat sedang bergurau ia langsung menjawab, "Tau kok, tau." Tukasnya segera. Jagat mengehkeh tanpa suara.
"Oke." Angguk Jagat. Namun jelas, pertanyaan Jagat itu sejatinya tak membutuhkan jawaban, mau ia jawab tidak perlu diantar pun toh Jagat memiliki tujuan yang sama, sama-sama ke kantin.
Aza berjalan duluan, lantas Jagat mengekor di belakangnya 2 langkah. Namun mendadak Aza menghentikan langkahnya dan berbalik, "jangan di belakang saya bang, kalo mau abang aja di depan."
Jagat mengangguk mengerti, demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, kini posisinya berbalik. Begini-begini Aza sudah punya calon laki.
Memang, bukan Jagat yang memandang postur tubuh Aza, namun kini Aza yang justru menatap Jagat meneliti.
Melihat tubuh tegap berbalut baju loreng, dengan langkah tegap sempurna tanpa cela. Potongan rambut pendek cepak messi membangun khayalan nakal Aza.
"Astagfirullah..." geleng Aza bergumam sukses membuat Jagat menoleh, "kenapa mbak?"
"Hm?" matanya membulat lucu, selucu anabul... ia merutuki otak ngeresssnya, "itu anu..." Aza menggaruk kepalanya yang tak gatal, bingung memberikan alasan untuk menutupi sikapnya yang absurd tadi, ngga mungkin kan ia bilang kalo ia menghayal bisa bersandar di punggung tegap dan mere mazz tengkuk bersih Jagat? Jelas ia lah yang kurang aj ar disini.
Bisa-bisanya Azalea, ck...ck...sekali lagi Aza merutuki dirinya sendiri yang punya otak me sum.
"Aku kelupaan sesuatu. Tapi ya udahlah bisa nanti...terusin aja bang, jalannya..." nyengirnya beralasan.
"Oh," angguk Jagat percaya, hingga mereka berbelok ke arah ruangan dimana dari jarak 5 meter saja sudah terdengar bunyi riuh orang mengobrol dan alat makan beradu.
"Azaa!" panggil Hera, langkah Jagat yang sudah melintasi meja para nakes itu seketika berhenti demi panggilan Hera yang menyentak daya kerja jantungnya.
"Bangun juga kamu! Sini--sini!" ajaknya lagi.
"Ih, jahat pada ninggalin aku! Aku udah kaya anak ilang..." balas Aza langsung menyerbu meja dimana para nakes sudah menyantap sarapannya.
Tatapan Jagat masih mengikuti gerak gerik Aza, sampai Dika menegurnya, "Gat. Buruan ma'em, le...." cibirnya menggoda mengundang tawa Toni dan kapten Yuda.
"Aza?"
"Azalea kah?" Jagat bertanya dalam hatinya sembari mata yang masih menatap Aza yang kini berbincang penuh canda dengan Yuan dan yang lain.
.
.
.
.
lanjut