Dia, lelaki yang kini menjadi ayah tiriku, adalah sosok yang takkan pernah ku lepaskan dari kehidupanku. Meskipun tindakan ini mungkin salah, aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala resikonya. Awalnya, dendamlah yang mendorongku mendekatinya, namun seiring waktu, cinta telah tumbuh di dalam hatiku. Tak ada satu pun pikiran untuk melepaskannya dari pelukanku.
Kini, ayah tiriku telah resmi menjadi kekasihku. Dia terus memanjakanku dengan penuh kasih sayang. Aku mencintainya, dan dia juga mencintaiku. Meskipun posisinya masih terikat sebagai suami ibuku, aku tidak peduli. Yang penting, aku merasa bahagia, dan dia juga merasakannya. Mungkin ini dianggap sebagai dosa, namun tak ada api yang berkobar tanpa adanya asap yang mengiringinya.
"Ayah, aku mencintaimu," apakah kalimat ini pantas untuk aku ucapkan?
AKAN LANJUT DI SEASON 2 YAA, HAPPY READING AND HOPE YOU LIKE:))
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 31. Hanya Karena Cinta
Deg!!
Widya dan Revan duduk di ruang tamu dengan perasaan yang campur aduk. Mereka sama-sama terkejut mendapati semua perkataan Jelita. Semua tuduhan dan kemarahan yang terpancar di wajahnya membuat keduanya gemetar ketakutan.
Dalam keheningan yang mencekam, Widya dan Revan saling menatap. Mereka tidak tahu harus berkata apa. Hatinya berdebar kencang, takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Bagaimana Jelita akan merespons? Apakah dia akan marah lebih jauh ataukah yang lebih parah dia akan memutuskan hubungan mereka?
Dalam keheningan yang terus berlanjut, Widya dan Revan merenungkan semua yang telah terjadi. Mereka tidak pernah menyangka bahwa Jelita sudah mengetahui fakta itu sejak lama.
Mereka berdua berusaha mengingat kembali momen-momen ketika mereka berdua berusaha menyembunyikan hubungan mereka dari Jelita.
Widya mengingat saat-saat ketika dia dan Revan berusaha bertemu secara diam-diam. Mereka selalu berhati-hati agar tidak ketahuan oleh Jelita.
Namun, ternyata Jelita sudah mengetahui semuanya. Widya merasa bersalah karena telah menyembunyikan hubungannya dengan Revan. Dia merasa sangat menyesal karena harus berbohong kepada anaknya sendiri. Meskipun sulit, dia tidak punya pilihan lain selain melakukan hal tersebut.
"Kenapa diem? kaget ya liat aku bisa tau semuanya? hahaha, nggak ada satupun hal yang mampu kalian tutupi dari aku. Aku sudah tau semuanya. Aku sudah tau kalau ternyata bunda, yang dulu katanya cinta banget sama ayah itu ya ternyata juga adalah penyebab kematiannya ...,"
"Bunda motong rem mobil ayah dan ayah meninggal. Bun!! jawab aku, atau bunda pengen liat aku mati?!" setelah mengatakan itu, Widya dan Revan sontak berbalik menatap ke arah Jelita.
Mereka terkejut melihat Jelita sudah menodongkan pisau tajam ke arah lehernya. Tatapannya begitu serius, membuat siapapun takut melihatnya.
Widya yang bingung harus mengatakan apa, segera menghela napas. Dia terdiam beberapa saat, menundukkan kepalanya dan merenung. Pikirannya berkecamuk, mencari cara untuk mengatasi situasi yang tegang ini.
Namun, setelah merasa cukup tenang, Widya mengangkat kepalanya. Dia menatap lurus ke arah Jelita, lalu setelah beberapa saat terdiam, Widya membuka suaranya dengan hati-hati.
"Jadi kamu sudah tau semuanya ya? baiklah. Bunda akan mengatakannya. Bunda akan katakan semua alasannya. Tapi sebelum itu jauhkan dulu pisau itu dari lehermu. Bunda akan katakan, tapi jangan membahayakan dirimu seperti ini." ucap Widya. Dia tampak khawatir dengan Jelita yang menodongkan pisau ke lehernya.
Seperti sengaja untuk membuat ancaman, tapi ancaman itu melewati dirinya sendiri. Mengorbankan dirinya.
Lalu dengan hati yang hancur, ia memutuskan untuk menurunkan pisau yang tergantung di lehernya. Dengan gemetar, ia meletakkan pisau itu dengan lembut di samping tubuhnya yang rapuh.
Matanya terfokus pada Widya yang perlahan mulai mengambil napas, seperti bintang yang kembali bersinar setelah melalui badai yang mengerikan.
"Jadi, gini ...,"
Widya memulai ceritanya dengan gemetar. Dadanya terasa berat, namun ia tahu bahwa inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan segala yang selama ini ia tutupi. Jelita, putri semata wayangnya, harus mengetahui kebenaran yang selama ini tersembunyi.
Mereka duduk berhadapan di ruang tamu house stay. Jelita, dengan wajah penuh tanda tanya, menunggu dengan sabar. Widya mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum memulai ceritanya.
"Jelita, dulu saat bunda menikah dengan ayahmu, itu bukanlah karena cinta," ujar Widya dengan suara yang bergetar.
Jelita terkejut. Ia tidak pernah menduga bahwa pernikahan kedua orangtuanya tidak didasari oleh cinta. Ia selalu melihat mereka bersama dengan penuh kasih sayang, meski kadang ada ketegangan di antara mereka.
Widya melanjutkan penjelasannya dengan rinci. Ia menceritakan bagaimana perjodohan itu terjadi karena tekanan dari keluarga mereka.
Ayah Jelita adalah seorang pria yang kaya raya, sedangkan Widya berasal dari keluarga yang sederhana. Keluarga mereka berharap bahwa pernikahan ini akan menguntungkan kedua belah pihak.
Jelita mendengarkan dengan hati yang semakin berat. Ia mencoba memahami alasan di balik pernikahan itu, namun tetap saja merasa kecewa. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengambil nyawa orang lain, terutama jika itu ditujukan kepada pasangan hidup sendiri, hanya karena cinta? rasanya tidak masuk akal.
Widya melanjutkan ceritanya, menjelaskan bagaimana ia berusaha mencintai ayah Jelita. Ia berusaha keras untuk membuat pernikahan mereka bahagia, namun cinta tidak bisa dipaksakan.
Mereka berdua akhirnya menyadari bahwa mereka tidak cocok satu sama lain.
"Bunda segampang itu ya ngomongnya. Segampang itu mengatakan kalau bunda tidak mencintainya. Lalu aku ini apa Bun? kalau bunda tidak mencintai ayah, bagaimana aku bisa ada, Satria juga? aku tidak menyangka ya jika bunda yang sejak dulu sangat ku sayangi lebih dari apapun rupanya adalah seorang pembunuh!" Jelita sudah cukup lelah memendam semuanya. Dia adalah anak belia yang masih berumur belasan tahun.
Di usianya yang masih begitu muda, menjadi sangat berat baginya untuk menyimpan rahasia sebesar ini. Oleh karena itu, dengan tekad yang bulat, dia memutuskan untuk mengungkapkan semuanya.
Lalu Widya, yang tak menyangka bahwa Jelita akan memberikan respon seperti ini, dengan cepat mendekatinya dan berusaha memeluknya. Air mata berlinang dan kerinduan untuk memeluk tubuh putrinya begitu kuat.
Namun, Jelita yang masih dipenuhi amarah terus menghindar, berdiri dari tempat duduknya, dan melangkah menuju Revan. Dengan hati yang berdebar, dia duduk di sampingnya. Di antara mereka, ada keheningan yang penuh dengan emosi yang tak terucapkan.
"Bun, mungkin ini akan mengejutkan bunda ya, tapi ini adalah kenyataannya sekarang. Bun, aku ada hubungan dengan ayah. Ump maksudku mas Revan. Kami sudah berhubungan lama dan dari hubungan itu aku semakin mencintainya. Kami akan menikah seminggu lagi dan aku harap bunda tidak menghalangi rencana kami ...,"
"Dia sudah menyentuhku, jadi dia juga yang harus menikahiku. Bunda, paham kan semua ucapanku itu? aku tidak bercanda dalam hal ini Bun, aku serius. Aku menginginkannya menjadi suamiku." ucap Jelita dengan tegas. Suaranya kali ini tidak ada lucu-lucunya sama sekali.
Kata-kata Jelita menghantam seperti petir bagi Widya, membuatnya terkejut, lemas, dan tak dapat menahan emosinya.
Rasa kesal dan kebingungan menyelimuti pikirannya, sulit baginya untuk mempercayai bahwa Jelita benar-benar mengungkapkan perasaannya dengan begitu mudah.
Namun, dalam kebingungan dan kekagetan itu, Widya juga merasakan keberanian dan ketulusan yang tak terbantahkan dalam kata-kata putrinya.
"Dia takkan melepaskannya untukku kan? aku yakin dia akan menolak, sejak dulu dia menyayangiku, tapi dia tak pernah menyerah soal cinta. Sekeras apapun aku berusaha, pasti dia tetap menolaknya juga ..,"
"Lihat saja, kalau sampai bunda tetap menolaknya, maka cara terakhirlah yang akan menyudutkannya. Setelah kutunjukan hal itu, aku yakin, dia takkan mampu mengelak lagi." ucap Jelita di dalam hati.
"Tidak! apa yang kamu katakan, dia suami bunda, ayah tirimu. Bagaimana bisa kamu memiliki pemikiran seperti itu?!" seru Widya dengan suara yang dipenuhi oleh kemarahan yang membara dan emosi yang meluap-luap.
Bersambung ...