Sebuah insiden membawa Dinda Fahira Zahra dan Alvaro Davian bertemu. Insiden itu membawa Dinda yang yatim piatu dan baru wisuda itu mendapat pekerjaan di kantor Alvaro Davian.
Alvaro seorang pria dewasa tiba-tiba jatuh hati kepada Dinda. Dan Dinda yang merasa nyaman atas perhatian pria itu memilih setuju menjadi simpanannya.
Tapi bagaimana jadinya, jika ternyata Alvaro adalah Ayah dari sahabat Dinda sendiri?
Cerita ini hanya fiktif belaka. Mohon maaf jika ada yang tak sesuai norma. 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Lima
Dinda masuk ke kamar setelah selesai masak. Dia duduk di jendela sambil menatap ke luar. Pikirannya masih tentang Vina.
Tadi dia ingin berterus terang tapi Satria melarangnya. Dia ingin menenangkan hati Vina dulu sambil mencari bukti jika pernikahan kedua orang tuanya memang tak pantas dipertahankan karena sudah tak sehat .
Namun, Dinda masih merasa bersalah atas semua ini. Seandainya dia tak mengenal Alvaro, mungkin persahabatan mereka tak akan begini, walau akhirnya pernikahan kedua orang Vina tetap bubar.
Dinda yang asyik melamun tak mendengar suara pintu di buka. Alvaro berjalan mendekati istrinya. Mengecup pipi dengan lembut.
"Sedang mikir apa, sih? Sampai tak mendengar aku panggil," ucap Alvaro.
Alvaro lalu mengangkat tubuh mungil Dinda dan dia duduk sambil memangku istrinya itu.
Dinda memeluk sang suami dan membalas mengecup pipinya. Rasa sayang yang setiap hari ditunjukan Alvaro untuk dirinya membuat dia jadi dilema. Mana mungkin dia bisa memilih antara suami dan sahabat. Keduanya memiliki arti penting dalam hidupnya.
"Mas, mau mandi dulu?" tanya Dinda.
"Jawab dulu pertanyaanku. Sedang mikirin apa?" Alvaro mengulang pertanyaannya.
"Sedang mikirin hubungan kita. Aku takut semua akan berakhir dalam waktu singkat," jawab Dinda.
"Kenapa kamu berpikir sejauh itu, Sayang?" tanya Alvaro. Dia memeluk pinggang sang istri agar lebih merapatkan tubuhnya. Dinda lalu menaruh kepalanya di bahu sang suami.
Dinda lalu menceritakan pertemuannya dengan Vina. Tentang kecurigaan gadis itu dan ketakutannya akan persahabatan yang mungkin akan berakhir.
"Sayang, harus berapa kali aku katakan, jangan kamu pikirkan apa yang belum terjadi. Jika pun nanti Vina akan membencimu, aku yakin tak akan selamanya. Hanya sesaat saja. Setelah semua berlalu dia akan paham jika kamu tak bersalah. Aku juga tak akan tinggal diam. Aku akan terus beri dia pengertian," jawab Alvaro.
Dinda lalu memeluk suaminya. Alvaro begitu pengertian. Bagaimana mungkin dia bisa melepaskan sang suami.
**
Dinda tertidur di atas sofa yang empuk, dengan selimut bercorak bunga yang melingkari tubuhnya. Kehangatan sinar mentari pagi menembus tirai yang setengah terbuka, namun tidak cukup untuk mengusir rasa dingin yang menjalari tubuhnya. Sudah dua hari Dinda merasa kurang enak badan, dan hari ini dia merasa nyeri di seluruh tubuhnya. Matahari bersinar cerah, tetapi Dinda tidak merasakannya.
Alvaro baru saja pulang dari supermarket, karena melihat istrinya kurang sehat, dia akhirnya pergi sendiri. Dia menyimpan beberapa bahan makanan di dapur sebelum berjalan ke ruang tamu dan melihat Dinda yang terkulai lemah.
"Dinda," panggil Alvaro lembut sambil meletakan tangannya di dahi Dinda, "kamu demam lagi, ya?"
Dinda membuka matanya sedikit dan tersenyum lemah. "Nggak apa-apa, hanya sedikit flu," jawabnya dengan suara serak.
Alvaro tidak percaya. Dia mengenal betul Dinda. Keteguhan dan keberaniannya selalu meresap dalam setiap detik kehidupan mereka. Namun, melihatnya lemah seperti ini, hatinya teriris. "Kita harus ke rumah sakit, Sayang. Nggak boleh main-main dengan kesehatan."
"Mas, jangan! Aku hanya butuh istirahat," Dinda berdalih, berusaha untuk bangkit tetapi tubuhnya terasa lemah.
"Tidak. Ini sudah dua hari. Lagipula, aku sudah menelepon dokter. Sekarang kita pergi," tegas Alvaro sambil meraih telapak tangan Dinda dan membantunya berdiri.
Dinda menghela napas panjang, merasa berat hati. Dia tahu Alvaro selalu berusaha terbaik untuknya. "Tapi, aku malu. Aku tidak mau membuat Mas khawatir," sahutnya pelan.
"Malu? Jangan sekali-sekali merasa malu karena membiarkan dirimu sakit. Aku berhak khawatir, dan ini demi kesehatanmu, Dinda." Alvaro mengucapkan kalimat itu dengan penuh perhatian, seperti yang selalu dilakukannya. Dalam hidupnya, Dinda adalah prioritas.
Dinda mendengus frustrasi. “Baiklah, aku pergi,” ujarnya sambil memutar bola mata. Alvaro tersenyum mendengar nada suaranya, menyadari bahwa Dinda tidak sepenuhnya menolak.
***
Setelah bersiap-siap dan berusaha untuk terlihat segar, mereka berdua melangkah keluar apartemen. Alvaro membuka pintu mobil dan membantu Dinda agar mudah masuk. Beberapa menit kemudian, mereka sudah meluncur menuju rumah sakit terdekat.
Selama perjalanan, wajah Dinda tampak muram. Alvaro menyalakan radio untuk mengalihkan perhatian, mengingat lagu-lagu kesukaan Dinda. "Ingat lagu ini?" tanyanya sambil memutar knob radio.
Dinda mengangguk, sambil berusaha untuk terlihat lebih ceria. "Iya, lagu yang kita dengar saat malam pertama kamu menginap di apartemen."
"Ah, iya! Kamu menyanyi sepanjang malam, sampai suara kamu serak," Alvaro tertawa, menembus kesunyian.
“Kan Mas bilang, kalau suaraku merdu!” Dinda berusaha menirukan nada manis, meski suaranya hanya terdengar seperti gumaman.
Alvaro tidak bisa menahan tawanya. "Setidaknya, ada satu hal yang kita berdua sepakat, meskipun suara kamu tidak sebaik diva di TV."
Dinda menggenggam tangan Alvaro. "Jangan bandingkan aku dengan diva, aku sudah nyaman dengan suara aku. Yang penting kamu tetap suka, Mas," ujarnya sambil tersenyum.
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ke ruang IGD. Dinda merasa cemas, tetapi Alvaro merangkulnya erat, menenangkan hatinya. "Semua akan baik-baik saja, Sayang."
Setelah beberapa pemeriksaan, dokter meminta Dinda untuk melakukan tes darah. Alvaro menunggu di luar dengan gelisah.
Tak lama, dokter keluar, dan Alvaro segera berdiri. "Dok, bagaimana kondisi istri saya?" tanyanya dengan nada yang tegang.
Dokter tersenyum, meskipun Alvaro merasakan ada sesuatu yang aneh. "Kondisi Dinda memang kurang sehat, tetapi ada berita bahagia. Dia positif hamil."
Alvaro terdiam. "Hamil? Kapan ini terjadi?" tanya Alvaro. Rasanya tak percaya dengan apa yang di dengar.
"Ini baru memasuki usia kehamilan tiga minggu. Kita perlu merawatnya dan memastikan dia mendapatkan nutrisi yang cukup," dokter menerangkan dengan tenang.
Alvaro merasa dunia seperti berputar. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Kegembiraan bercampur kebingungan mengalir dalam dirinya. Ia berjalan kembali ke ruang tempat Dinda berada. Melihat Dinda yang lemah, ia menarik kursi dan duduk di sampingnya. “Dinda, aku punya berita bahagia,” ujar Alvaro dengan mata berbinar.
“Berita apa?” Dinda menatap Alvaro dengan penuh rasa ingin tahu.
“Kamu ... kamu hamil, Sayang” kata Alvaro, tidak bisa menahan senyum lebar yang merekah di wajahnya.
Dinda terkejut, memandang Alvaro tidak percaya. “Hamil? Tapi ... apa tidak salah, Mas? Badanku hanya seperti demam saja."
Alvaro menepuk tangan Dinda. “Dinda, ini adalah hadiah terindah untukku. Kamu harus berjuang dan kita akan melakukannya bersama.”
Dinda merasa terharu. Dia menggaruk kepalanya. “Tapi, ini benar-benar tidak terduga. Aku rasanya tak percaya."
"Semua ini nyata, Sayang. Kita akan menjadi orang tua."
Dinda tidak bisa menahan air matanya. “Tapi, Mas. Aku takut tidak bisa jadi ibu yang baik nantinya."
“Bersama kita bisa. Kita akan menjalani ini selangkah demi selangkah. Yang penting adalah kesehatan kamu. Dokter sudah memperingatkan kita untuk menjaga nutrisi dan perawatan yang lebih baik. Ingat saran dokter, istirahat yang cukup!” Alvaro mengambil tangan Dinda dan menggenggamnya erat.
Dinda mengangguk pelan, berusaha mengontrol emosi. “Terima kasih, Mas. Maafkan aku jika tidak bisa memberikan yang terbaik saat ini.”
“Jangan berkata seperti itu. Cinta dan kebersamaan kita sudah cukup untuk membangun semuanya. Yang terpenting adalah kamu, Sayang,” Alvaro memeluk Dinda mesra.
Dokter lalu memberikan resep obat untuk Dinda. Alvaro dan istrinya segera pamit. Pria itu meminta Dinda duduk di ruang tunggu pasien, sementara dia mau membayar ke kasir dan langsung menuju apotek.
Saat Dinda menunggu Alvaro, seseorang datang mengejutkannya.
"Dinda, kamu sakit?" tanya Vina.
Dinda tampak gugup dan pucat melihat kehadiran sahabatnya itu. Dia terdiam tak tahu harus menjawab apa.
selesaikan dulu sama yg Ono baru pepetin yg ini
semoga samawa...
lanjut thor...