DASAR MANDUL!
6 tahun sudah, Hanabi Lyxia harus mendengarkan kalimat tak menyenangkan itu dikarenakan ia belum bisa memberikan keturunan.
Kalimat sumbang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Meskipun begitu, Hana merasa beruntung karena ia memiliki suami yang selalu dapat menenangkan hatinya. Setia, lembut bertutur kata dan siap membela saat ia di bully mertuanya.
Namun, siapa sangka? Ombak besar tiba-tiba menerjang biduk rumah tangga nya. Membuat Hana harus melewati seluruh tekanan dengan air mata.
Hana berusaha bangkit untuk mengembalikan harga dirinya yang kerap dikatai mandul.
Dapatkah wanita itu membuktikan bahwa ia bukanlah seorang wanita mandul?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATM19
"Kenapa, Mas? Kenapa gak bisa?! Kenapa gak bisa memperlakukan aku seperti kamu memperlakukan Mbak Hana? Hah?!" Tuti menarik nafas sedalam-dalamnya, dada wanita itu sesak.
Atmosfer ruangan ber-AC itu berubah menjadi panas.
"Kamu sudah merebut suami dari sepupu mu sendiri, tinggal seatap bersama, kamu tidur di atas ranjang miliknya, dan kamu berharap mendapat perlakuan yang sama? Apa kamu gak punya hati nurani? Jangan terlalu serakah, Tuti!" tegur Damar.
Tuti tergelak. "Jangan bicara tentang hati nurani, jika kamu adalah tersangka utama nya, Mas Damar! Sekarang aku tanya, ke mana hati nurani mu saat kau mengkhianati Mbak Hana? Hmm?"
Damar menghela nafas panjang, berusaha meredam segala emosi yang bertumpuk di dada.
"Sudahlah, istirahat, kita sudahi saja pembicaraan yang tak akan ada habisnya ini." Damar mundur selangkah.
"Mau ke mana kamu, Mas? Menemani Si Mandul itu?" Tuti menatap remeh.
Kedua jemari Damar terkepal erat dan juga bergetar. "Sekali lagi, Tut. Sekali lagi kamu memanggil Hana dengan sebutan mandul, silahkan pulang ke rumah orang tua mu!"
"Loh, memang kenyataannya dia mandul kan? Udah bolak-balik berhubungan badan, tapi, gak hamil-hamil juga. Emang ada kata-kata lain yang cocok untuknya selain kata MANDUL?"
PLAK!
Damar melayangkan tamparan keras, Tuti sampai hilang imbang dan terjerembab di atas ranjang.
Tuti mengusap pipinya yang terasa panas, menatap nanar sang suami. Air mata nya kembali menetes. "Kamu j-jahat, Mas!"
Damar memejamkan kedua mata, lalu menyugar dan meremas rambutnya.
'Ah, Tuhan! Kenapa jadi rumit begini sih?!' teriak Damar di dalam hati.
Sementara itu, di kamar yang lain, Hana menatap layar ponselnya sembari tersenyum puas.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
2 Minggu kemudian.
"Ha ... ha ... memble gak tuh bibirnya si Tuti di gampar Damar?" tanya Monica dengan tawa pecah.
Sang model cantik yang baru saja pulang dari luar kota, langsung mengajak Hana meet up bersama.
"Uh, lo gak liat, Mon. Sampe ngejengkang tuh Gundik di atas kasur!" Hana terkikik geli. "Wait ya, aku cek dulu video nya!"
Hana sibuk mengutak-atik isi galeri nya. Tak berselang lama, bibir wanita itu sumringah ketika menemukan apa yang ia cari.
"Nih ...." Hana menyodorkan ponsel nya pada Monica.
Monica menyambar benda pipih itu dan lekas memutar video reka ulang kejadian. Wanita itu sangat fokus mendengarkan perdebatan antara Damar dan Tuti.
Tawa Monica seketika pecah saat melihat Tuti terjerembab di kasur. "Wah gila si Damar, main geprek aja! -- Dia sama lo, main tangan gak sih, Han?"
Hana menggeleng, lalu mengulas senyuman tipis.
"Gak pernah, Mon. Enam tahun gue nikah sama dia, jangankan mukul, bentak aja gak pernah. Damar emang selembut itu sama gue, tapi, se-brengsek itu juga!" Hana terkekeh, tak ada kesedihan lagi di wajahnya kala menceritakan kisah rumah tangga yang ia jalani.
Monica ikut terkekeh. "Eh, by the way, sejak kapan lo pasang kamera tersembunyi di rumah?"
Model berdarah jawa itu menatap Hana dengan kening yang berlipat.
"Siang ... sebelum kejadian geprek-geprek wajah itu lah. After gue keliling sama Gavriil, pulang, terus liat keadaan kamar gue berantakan. Gue langsung minta tolong sama si Gavriil untuk menghubungi jasa pemasangan kamera tersembunyi," jelas Hana.
Mendengar jawaban Hana, kening Monica semakin berlipat dalam.
"Wait wait wait wait! Gavriil? Lo keliling sama Gavriil?" Monica menelisik dengan tatapan.
'BEGO LU HANAAAA!' Jerit Hana di dalam hati saat menyadari ia baru saja kelepasan bicara.
"Iya, inget kan? Gavriil mau bantu ngenalin gue ke salah satu kenalan nya yang influencer? Nah itu, kita ketemu ngebahas tentang itu," Hana beralasan dengan raut wajah tenang.
"Ooooo!" Monica manggut-manggut. "Jadi gimana? Kapan nih, lo mulai terjun lagi?"
Hana menghembuskan nafas lega saat Monica tak lagi menunjukkan wajah curiga.
"Doain aja berjalan lancar ya," jawab Hana.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Udah dua minggu Ibu gak berkunjung ke rumah Damar, gak rindu emang?" tanya Dinar saat melihat sang Ibu melamun di kursi teras.
Pertanyaan Dinar membuat Jumiah menghela nafas panjang, ada kesedihan yang terlukis di wajahnya.
"Ya rindu lah, Dinar. Cuma semenjak kejadian kemaren itu ... Ibu jijik banget mau lihat muka si Hana," jawab Jumiah terdengar lirih dan sedih.
Dinar menarik kursi berbahan rotan itu, lalu duduk di samping Jumiah.
"Yaelah, Bu. Santai aja kali, si mandul itu kan cuma numpang di tanah kita. Kalau dia bikin hati Ibu sakit lagi, usir aja. Ngapain ribet," saran Dinar, yang membuat sang Ibu seketika menoleh padanya.
"Tapi kan, sertifikat rumah itu atas nama Hana, Dinar. Gak semudah itu loh main usir-usir aja," kata Jumiah resah.
"Iya, aku tau, Bu. Tapi, tetap aja kan, sertifikat tanah itu masih atas nama ibu. Ibarat kata, ada pedagang yang nyewa di atas tanah kita. Mereka berulah? Ya usir waeee!" Dinar tertawa sombong.
Jumiah menatap sang putri lekat-lekat. "Benar juga kata kamu ya, Nar."
"Ya iya dong, kalau dia tetep ngotot gak mau angkat kaki dari rumah itu? Gampang, suruh aja si mandul itu bayar, alias beli tanah kita!" Dinar tergelak.
Tentu saja Jumiah berjingkat, terkejut. Semakin ia tatap lekat-lekat mata si pemberi ide.
"Wah, Ibu gak kepikiran sampai ke sana loh, Nar. Pinter banget kamu!" Puji Jumiah, membuat kepala sang putri mendongak sombong.
"Kita minta berapa puluh juta ya, Nar, kira-kira?" Jumiah sibuk menghitung-hitung dengan beberapa jari nya.
"Puluh? Ratus dong, Bu. Tanah kita itu cukup luas loh. -- Hmm ... gimana kalau 300 juta?" Dinar mengerlingkan bola matanya.
"300 juta?! -- Wah, kaya raya kita, Nar!" Jumiah menggeplak kuat lengan Dinar, hingga sang putri meringis kesakitan.
"Pelan-pelan dong, Bu. Sakit tau!" cicit Dinar.
Jumiah tertawa, hatinya tengah senang memikirkan pundi-pundi rupiah yang akan ia dapatkan, jika seandainya Hana tetap kekeuh ingin tinggal di atas tanah miliknya.
"Eh, tapi, Nar. Emang si mandul itu punya uang untuk bayar tanah kita?" tawa Jumiah seketika lenyap.
"Bu, Ibu lupa? Itu rumah yang berdiri di atas tanah kita, dibangun menggunakan uang siapa? Uang si mandul itu, Bu. Pasti dia punya uang banyak!" Dinar mengingatkan sang Ibu dengan penuh semangat.
Jumiah mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah setuju dengan ucapan Dinar.
"Bu, mending kita ke rumah si mandul itu. Kita usik dia, sampai dia terpaksa membeli tanah kita, gimana? Mumpung tuh si Damar bucin masih jam kerja, jadi kita leluasa gangguin bini nya yang gak berguna itu. Gimana?" Dinar tersenyum licik, begitupun juga Jumiah.
"Ayo kita berangkat ke sana, kita bikin si mandul itu kehilangan banyak uang hari ini!"
*
*
*