"Aku rela melepasmu, asal kamu bahagia bersamanya."
Cinta itu tidak egois, Bagas rela melihat Adara kembali bersama Antares karena dia merasa sudah tidak sanggup membahagiakan Adara. Apakah akhirnya Adara tetap bersama Bagas atau kembali pada Antares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Setelah selesai memeriksa semua perlengkapan Bagas yang harus dibawa, Adara mengantarkan Bagas hingga depan pintu. Dia memberi ciuman selamat jalan di pipi Bagas. "Hati-hati di jalan ya. Kalau ada apa-apa, kabari aku. Kalau lagi gak sibuk juga hubungi aku."
Bagas tersenyum dan membalas ciuman Adara di keningnya. "Tentu, aku akan kabari kalau sudah sampai. Aku pergi dulu ya." Kemudian Bagas membawa tasnya lalu memasukkannya ke dalam mobil.
Bagas kini masuk ke dalam mobil dan mulai mengemudikan kendaraannya. Seiring lambaian tangan Adara, hatinya terasa sangat sesak. Sebenarnya dia tidak ada dinas keluar kota. Dia harus ke rumah sakit karena jadwal pemeriksaannya dan mengharuskan dia dirawat di rumah sakit untuk melakukan serangkaian pengobatan yang belum pasti berhasil.
Sesampainya di rumah sakit, Bagas langsung menuju ruang pemeriksaan. Dia sudah merasa akrab dengan prosedur ini, tapi hari itu terasa berbeda. Kecemasan semakin menumpuk seiring berjalannya waktu sejak dia tahu penyakitnya enam bulan yang lalu.
Setelah beberapa jam menunggu, Bagas akhirnya dipanggil oleh dokter. Dia duduk di ruangan itu saat dokter datang membawa hasil pemeriksaan dan terlihat sangat serius.
"Pak Bagas," dokter memulai percakapan mereka, "Kami telah memeriksa hasil scan terbaru, dan kondisinya semakin memburuk. Tumor di otak Bapak semakin menyebar dan semakin menekan saraf-saraf vital."
Bagas menelan salivanya, hatinya berdegup kencang. "Jadi, apa yang bisa saya lakukan?"
Dokter menghela napas panjang. "Sayangnya, posisi tumor sangat berbahaya. Tumor ini sangat dekat dengan saraf penting dan bentuknya menyebar, tidak ada batas yang jelas antara tumor dan jaringan sehat. Karena itu, tidak mungkin dilakukan operasi."
Bagas merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. "Lalu, apa yang harus saya lakukan?" tanyanya lagi. Dia sudah mengikuti seluruh pengobatan dan saran dokter tapi tetap saja tumor itu berkembang dengan pesat.
"Kami akan mencoba meningkatkan sel darah putih Bapak selama tiga hari ke depan untuk menahan perkembangan tumor ini. Namun, ini hanya solusi sementara. Jika tumor terus berkembang, ada risiko ingatan Bapak akan semakin melemah dan dalam kasus yang parah, Bapak bisa mengalami koma. Fungsi kerja otak akan berhenti total."
Bagas merasa tenggorokannya kering. Dadanya bagai diremat sesuatu. "Saat ini saya sudah sering lupa. Saya takut sekali saya akan melupakan keluarga saya. Apakah ada metode lain untuk mengobati tumor ini jika memang tidak bisa dioperasi?"
Dokter mengangguk. "Ada satu opsi yang bisa dipertimbangkan, yaitu terapi Gamma Knife. Ini adalah metode radiasi yang dapat menargetkan tumor dengan presisi tanpa melakukan pembedahan. Namun, biayanya sangat mahal—bisa mencapai 250 juta rupiah."
Bagas terdiam. 250 juta rupiah—angka itu terlalu besar bagi keuangannya karena biaya pengobatannya selama ini benar-benar menguras habis seluruh tabungannya.
"Apa peluang kesembuhannya besar jika melakukan terapi Gamma Knife?" tanya Bagas dengan suara yang bergetar.
"Peluangnya cukup besar jika dilakukan tepat waktu," jawab dokter. "Radiasi dapat menghentikan perkembangan tumor dan bisa terus mengecilkannya. Saya akan merekomendasikan Dokter yang menangani terapi ini dan terapi ini hanya dilakukan di rumah sakit pusat."
Bagas memejamkan mata sejenak. Dia membayangkan Adara dan Aran. Mereka adalah hidupnya, dan dia tidak bisa membayangkan jika harus meninggalkan mereka dalam keadaan seperti ini.
"Apa waktu saya masih lama?"
Dokter itu terdiam beberapa saat. "Segera ambil keputusan karena waktu yang Bapak miliki tidak lama lagi. Tumor itu berkembang dengan cepat. Sementara, kami akan terus memantau kondisi Bapak selama tiga hari ke depan."
Bagas hanya menganggukkan kepalanya. Kepalanya terasa semakin pusing memikirkan semuanya. Entah dia harus berjuang atau berhenti sampai di sini?
...***...
Bagas merasa cemas karena belum menghubungi Adara sepanjang hari. Dia disibukkan dengan serangkaian pemeriksaan dan pengobatan yang membuat kepalanya terasa sangat pusing dengan badannya yang yang terasa lemas.
Bagas hanya menatap jendela yang memancarkan sinar jingga sore hari itu. Tiba-tiba ponselnya berbunyi dan ada panggilan masuk dari Adara.
Bagas cepat-cepat mengenakan blazer yang sudah disiapkan di samping brankarnya. Kemudian dia keluar dari ruang rawat sambil membawa tiang infusnya. Dia melangkah pelan menuju taman rumah sakit untuk menyembunyikan kenyataan bahwa dia berada di rumah sakit karena dia belum siap memberitahu Adara yang sebenarnya.
Di taman, Bagas duduk di bangku dan memeriksa penampilannya di layar ponsel sebelum menjawab panggilan video. Dia juga menyembunyikan tangannya yang terinfus. Senyuman lebar langsung menghiasi wajahnya saat Adara muncul di layar dengan Aran yang ceria di sampingnya.
"Sayang, maaf banget tadi pagi aku lupa telepon," kata Bagas, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. "Barusan selesai rapat."
Adara tampak lega melihatnya dan memulai percakapan dengan ceria. "Tidak apa-apa. Aku tahu Kak Bagas sangat sibuk," ucap Adara sambil tersenyum. "Aran juga senang banget hari ini. Dia punya cerita seru dari sekolah!"
Bagas tertawa lembut saat Aran mulai bercerita dengan penuh semangat tentang kegiatan di sekolahnya. Dia menggoda Aran tentang betapa pintar dan lucunya dia. Selama panggilan video itu, Bagas berusaha keras untuk terlihat bahagia.
"Kak Bagas beneran sampai tiga hari?" tanya Adara setelah Aran selesai bercerita dan pergi.
"Iya, lama ya? Baru sehari saja aku sudah kangen banget sama kamu."
"Aku juga kangen. Tidak apa-apa, nanti setelah Kak Bagas pulang, kita habiskan malam berdua."
Bagas tersenyum menatap wajah bahagia Adara. Dia tidak ingin senyuman itu lenyap dan berubah menjadi tangisan. "Iya. Sudah ya, nanti aku hubungi lagi."
"Iya. Jangan sampai telat makan dan istirahat yang cukup."
Setelah panggilan video berakhir, Bagas masih duduk sendirian di taman. Dia menundukkan kepalanya, air mata mulai menggenang di matanya. Dia tidak ingin Adara atau Aran melihat betapa sakitnya dia sebenarnya. Dia tidak ingin merusak senyum bahagia mereka.
Bagas membiarkan air mata mengalir tanpa suara. Terkadang dia sudah merasa lelah dan ingin menyerah, tapi dia harus tetap bertahan demi Adara dan Aran.
"Kak Bagas ya?"
Suara itu membuat Bagas buru-buru menghapus air matanya dan mendongak. "Iya, siapa?"
kirain bakal launching kisah Ares..🥰🥰🥰
beruntung banget Adara dicintai begitu besar....🥰🥰😍
aku pikir Bagas meninggal dan Antares menggantikan Bagas karena amanat Bagas...😆😅
tadi bukannya manggil papa 😁
semangat Adara.. .. yang kuat ya..
mengikuti skenario dari manager mereka..
tapi dilubuk hati Ares nama Adara tetap nomor 1.