Sejak kecil Rea seorang anak tunggal terlalu bergantung pada Jayden. Laki-laki sok jagoan yang selalu ingin melindunginya. Meskipun sok jagoan dan kadang menyebalkan, tapi Jayden adalah orang yang tidak pernah meninggalkan Rea dalam keadaan apapun. Jayden selalu ada di kehidupan Rea. Hingga saat Altan Bagaskara tidak datang di hari pernikahannya dengan Rea, Jayden dengan jiwa heroiknya tiba-tiba menawarkan diri untuk menjadi pengganti mempelai pria. Lalu, mampukah mereka berdua mempertahankan biduk rumah tangga, di saat orang-orang dari masa lalu hadir dan mengusik pernikahan mereka?
Selamat Membaca ya!
Semoga suka. 🤩🤩🤩
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Budi Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep 23
"Seharusnya aku yang datang ke tempatmu," ucap Altan yang tiba-tiba memeluk tubuh ramping Clareance dengan erat.
"Seharusnya aku berusaha lebih keras untuk meluluhkan hatimu."
Clareance menarik napas pelan, lalu membalas pelukan calon suaminya. Meski dalam hati dia masih belum bisa menerima alasan Altan yang sedikit tidak masuk akal.
"Maafin aku, Rea," katanya setelah pelukannya terlepas.
"Besok, orang tuaku mengundangmu makan malam di rumah. Kamu bisa datang, kan?"
Clareance mengangguk pelan, senyumnya terbit samar. Namun, saat Altan mendekat hendak menciumnya, gadis itu tiba-tiba menoleh dan sedikit menghindar. Membuat Altan sedikit kecewa.
###
"Kok baru pulang, Non? Tadi di cariin sama Nyonya Mami loh," ujar Ningsih, anaknya Bik Karti yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di sana.
"Mami sudah pulang? Kok nggak nelpon?" Gumamnya sambil menghempaskan tubuhnya di atas sofa ruang tengah.
Rasanya lelah sekali. Sekarang, lututnya yang tadi terluka baru saja nyeri.
"Ningsih," panggilnya pelan, membuat gadis belia itu mendekat dan berdiri di hadapan Clareance.
"Duduk sini."
"Saya, Non?"
"Iya kamu, siapa lagi?"
Ningsih tersenyum canggung. Lalu dengan gerakan pelan, ia duduk di lantai yang di lapisi karpet tebal.
"Saya bilang duduk sini, ngapain kamu ngesot di situ."
Ningsih kembali meringis, serba salah. Kata ibunya yang sudah berencana pensiun, dia harus menjaga sikap di rumah Clareance. Dengan siapa pun dia bicara tidak boleh berdiri terlalu dekat atau duduk sejajar. Karna itulah, Ningsih memilih untuk duduk di lantai hanya karna patuh pada ibunya.
"Saya ndak enak, Non. Sudah nggak apa-apa, saya duduk di sini saja."
Clareance mendengus pelan lalu menarik tangan Ningsih agar gadis itu bangkit dan duduk di sebelahnya.
"Kalau ibu tahu, beliau bisa ngamuk, loh."
"Jam segini Bik Karti sudah tidur," kata Rea yakin.
"Temani saya ngobrol sebentar."
Ningsih mengangguk patuh. "Mau saya buatkan teh?"
Clareance menggeleng, menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa. Nafasnya terhela panjang dan terdengar lesu.
"Aku capek banget, Ning."
"Sama, Non. Hari ini saya juga capek banget. Ibu lagi ndak enak badan, jadi saya yang ...."
"Kok jadi kamu yang curhat?"
"Ha?" Ningsih melongok, lalu tersenyum malu. "Maaf, Non. Saya terbawa suasana."
Clareance hanya menggelengkan kepala sebelum kedua matanya memejam. "Kamu pernah jatuh cinta, nggak?"
Ningsih mengerjap cepat, terkejut dengan pertanyaan Clareance yang tiba-tiba. "Pernah," lirihnya malu.
Seketika Clareance bangkit, lalu menggeser duduk mendekati Ningsih. "Bagaimana rasanya?"
"Hm? Rasanya?"
"Iya, bagaimana rasanya," tanya Clareance antusias.
"Ya, rasanya ... Indah, Non. Ndak bisa diungkapkan dengan kata-kata," sahutnya dengan wajah sedikit merona. "Meskipun dia ndak tahu kalau saya menyukainya, tapi saya ndak peduli. Saya rela melakukan apa pun untuknya. Asal dia bahagia."
"Asalkan dia bahagia?"
Ningsih mengangguk mantap.
"Itu bukan cinta, itu namanya kamu bodoh. Ngapain kamu rela melakukan apa pun demi dia. Kamu kan nggak tahu dia suka sama kamu atau enggak."
"Saya ikhlas, Non. Menurut saya, itu namanya juga cinta. Asal dia bahagia, saya juga ikut bahagia. Meskipun kebahagiaan dia bukan bersama dengan saya."
Astaga! Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba Rea jadi teringat pada dirinya sendiri di masa lalu. Perempuan itu selalu mencintai kekasihnya dengan setulus hati. Namun sayang, mereka semua tak pernah membalas dengan perasaan yang sama.
Pria-pria itu justru berkhianat pada Clareance. Karna itulah dia takut melihat ada seorang perempuan di apartemen Altan. Dia takut pria itu juga mengkhianatinya dan hubungan mereka berakhir tragis. Padahal, Rea sudah menyerahkan seluruh hatinya pada Altan Bagaskara.
"Kamu nggak sakit hati, Ning?"
"Sakit sih, Non. Makanya saya kapok. Saya ndak mau jatuh cinta lagi."
"Kamu nggak mau nikah?"
"Mau, Non. Tapi, kali ini saya mau nyari pria yang benar-benar mencintai saya. Karna cinta bertepuk sebelah tangan itu melelahkan, Non."
"Ya, kamu benar, Ning. Cinta tak terbalas itu memang melelahkan jiwa dan raga," sahut Rea dalam hati.
###
"Ini kamu ya, Rea?" Tanya Selena, sambil menunjukkan artikel berita online yang baru saja dia baca di layar ponsel.
Di dalam artikel tersebut terdapat beberapa foto Rea sedang di gendong seorang lelaki dan di bawa masuk ke dalam mobil. Meski wajah Rea tidak tampak jelas, tapi Selena yakin kalau gadis di dalam foto itu adalah putrinya.
Rea melongok, lalu membuang napas lelah. "Iya, Mam. Itu Clareance," sahutnya malas, sebelah tangannya masih sibuk mengaduk salad buah di dalam mangkuk.
"Astaga, Rea. Kamu ini kenapa sih? Cari gara-gara terus dari kemarin. Sebentar lagi kamu mau menikah, loh. Bisa nggak sih kamu diam saja, nggak usah bikin ulah?"
"Bikin ulah apa, sih, Mam? Aku cuma makan malam sama Jayden. Mereka saja yang lebay. Ngambil foto sembarangan terus dibikin berita ngawur. Padahal nggak tahu cerita yang sebenarnya."
"Lebay bagaimana? jelas-jelas Jayden gendong kamu masuk ke dalam mobil. Semua orang pasti mikirnya aneh-aneh. Kalau keluarga besar Altan tahu bagaimana? Hargai dong keluarga besar suami kamu."
Prank!!
Rea melempar sendok besinya ke atas meja makan dengan geram. Suasana hatinya memang sedang buruk setelah semalam dia melihat ada perempuan lain di apartemen Altan. Di tambah lagi dia harus menanggapi maminya yang ceramah soal 'perasaan' pagi-pagi buta begini.
Lama-lama tensinya bisa naik!
"Rea! apa-apaan, sih, kamu?!" Teriak Selena yang terkejut dengan sikap putrinya.
"Kamu kenapa, sih? Nggak sopan banget sama mami!"
"Kenapa mami lebih peduli sama perasaan Altan dari pada perasaan aku? Anaknya mami tuh aku, bukan dia!" Teriak Clareance, hingga membuat Benyamin Handoko Aldinaya yang sedang duduk di beranda samping rumah sedikit terkejut dan akhirnya datang menghampiri.
"Mami nggak ngerti sama omongan kamu. maksudnya apa? Cuma kasih nasehat, kamu itu calon istrinya Altan. Apa kata keluarganya kalau mereka tahu kamu dekat dengan pria lain? Mami tahu kamu cuma berteman sama Jayden, tapi berteman itu juga harus ada batasnya dong, Rea."
Clareance membuang wajahnya ke samping, menyembunyikan air matanya yang hampir jatuh. Tidak mungkin dia menceritakan tentang kejadian semalam pada orang tuanya.
Mereka tidak boleh tahu. Belum tentu juga perempuan itu ada hubungan khusus dengan Altan. Siapa tahu, perempuan itu memang sepupu Altan yang baru saja datang dari luar kota. Bisa saja Rea hanya salah menduga. Tapi .....
"Ada apa ini? Pagi-pagi kok sudah ribut?"
Selena hanya menghela napas kasar saat mengetahui suaminya datang. Wanita itu menatap putrinya yang membisu kemudian berbalik menatap suaminya.
"Nggak ada apa-apa," sahutnya sebelum ia berlalu dari ruang makan.
"Kamu baik-baik saja, Rea?" Tanya Benyamin Handoko Aldinaya lembut. Pria itu berjalan pelan mendekati putrinya dan menatap lekat-lekat.
"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu? Cerita sama papi, siapa tahu papi bisa bantu kamu cari solusi."
Rea menggeleng pelan, dan memaksakan satu senyum di hadapan papinya.
"Rea baik-baik saja, kok. Papi nggak perlu khawatir.
Benyamin Handoko Aldinaya mengangguk samar, meski dalam hati dia masih ragu dengan jawaban putrinya.
"Hubunganmu dengan Altan baik-baik saja kan?"
Rea diam sesaat, sebelum kepalanya mengangguk pelan.
"Papi hargai keputusanmu yang sudah memilih dia sebagai calon suamimu. Papi percaya padanya karna orang tuanya kenal baik dengan papi. Tapi, kalau ada sesuatu yang tidak sesuai dengan Altan, kamu boleh sharing sama papi. Selama ini papi diam karna papi percaya sama pilihan kamu."
Gadis itu menggigit bibir, rasanya dia ingin sekali berbagi cerita. Tapi, setiap kali Rea ingin memulai, tiba-tiba bibirnya terasa keluh. Dia takut kalau keputusannya kali ini akan membuat kedua orang tuanya kecewa.
###
"Jayden, kamu belum bangun? Jayden!"
Pria itu mengernyit, mengusap kedua matanya dengan punggung tangan. Samar-samar ia mendengar seseorang mengetuk pintu kamar dan memanggil-manggil namanya.
"Jayden! Sudah siang, loh. Kamu nggak kerja?"
"Mama," gumamnya setelah berhasil mengumpulkan nyawa.
Semalam, ia kembali tak bisa tidur setelah Clareance meninggalkan apartemennya. Perempuan itu benar-benar membuat hidup Jayden menjadi kacau.
Ralat! Bukan Rea yang membuat hidup Jayden kacau, tapi perasaannya sendiri. Perasaan yang berusaha ia tutupi setengah mati pada Clareance. Alhasil, dia bangun kesiangan.
Perlahan Jayden bangkit dari tempat tidur dan berjalan gontai menuju pintu. Amaya sudah berdiri tepat di hadapannya saat pintu itu terbuka.
Udahan dulu ya... aku lanjut besok lagi...
Jangan lupa like, vote dan komennya aku tunggu.
Bersambung.