Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Dilema
Terry tampak terpaku sejenak. Bibirnya bergerak tanpa suara, dan air mata mulai mengalir lebih deras. "Arlan... kau benar-benar tega... aku sudah menjaga namamu, mengorbankan diri demi menyelamatkan reputasimu, dan sekarang kau malah meragukanku?"
Arlan bergeming, suaranya tetap tenang. "Kalau kau benar, tes ini hanya akan membuktikan apa yang kau katakan. Atau... ada sesuatu yang ingin kau sembunyikan?"
Widi, yang berdiri di antara keduanya, terlihat bingung. Ia menatap putranya yang terlihat yakin dengan posisinya, lalu pada Terry yang tampak hancur. "Terry, kalau kau yakin dengan apa yang kau katakan, mungkin ini cara terbaik untuk menyelesaikan masalah."
Terry memutar otaknya dengan cepat, mencari cara untuk menghindari tes tanpa kehilangan simpati Widi. Ia menggigit bibir bawahnya, seolah-olah sangat terluka. "Tante Widi, aku... aku tidak sanggup melalui semua ini. Aku hanya ingin membantu Arlan, tapi sekarang aku merasa seperti dipermalukan."
"Tidak ada yang mempermalukanmu," Arlan menyela, tatapannya masih tajam. "Aku hanya ingin kebenaran."
Terry menoleh ke Widi, memohon. "Tante, aku tidak ingin ini menjadi lebih buruk. Aku... aku akan pergi saja. Aku tidak ingin merusak hubungan Tante dengan Arlan."
Widi menepuk pundaknya dengan lembut. "Terry, tenanglah. Kalau kau yakin dengan apa yang kau katakan, tidak perlu takut."
Terry menghela napas panjang, lalu tiba-tiba berkata dengan nada lemah, "Baiklah. Kalau itu yang diinginkan Arlan, aku akan lakukan. Tapi setelah ini, aku ingin semua orang tahu bahwa aku hanya ingin melindunginya."
Arlan memutar matanya, lalu berjalan keluar kamar. "Kita lihat saja nanti," katanya dingin sebelum menutup pintu.
***
Di dalam kamar yang sunyi, Alika memandikan Adriel, bayi kecil yang hampir berusia dua tahun. Adriel yang baru selesai mandi kini menyusu dengan nyaman di pelukan Alika, jari-jarinya yang mungil sibuk memainkan baju ibu susunya. Matanya yang jernih dan tajam sesekali menatap Alika dengan polos, membuat hati Alika terasa hangat di tengah kekacauan pikirannya.
Namun, bayangan kejadian semalam kembali menghantui Alika, disertai dengan ancaman Terry yang membuatnya merasa semakin terpojok. Ia menghela napas berat, membelai rambut Adriel dengan penuh kasih sayang. “Apa yang harus kulakukan?” batinnya bertanya-tanya, namun jawabannya tetap tak ia temukan.
Selesai menyusui Adriel, ia memutuskan untuk menggendong bayinya keluar kamar. Ia masih enggan menghadapi Arlan di meja makan, tapi tubuhnya memprotes karena rasa lapar mulai menyerang. "Aku tak bisa membiarkan diriku kelaparan. ASI untuk Adriel terlalu penting," pikirnya, berusaha memantapkan hati.
Dengan langkah pelan, ia keluar dari kamar menuju ruang makan. Namun, saat tiba di sana, ia terkejut mendapati meja makan kosong tanpa tanda-tanda kehadiran siapapun. Seorang pelayan yang tengah membereskan piring-piring bekas sarapan mendekatinya dengan sopan.
“Maaf, Nyonya Alika,” ucap pelayan itu. “Tuan Arlan berpesan agar Nyonya makan sendiri pagi ini. Beliau baru saja pergi bersama Nyonya Widi dan Nona Terry.”
Alika terdiam sejenak, kalimat pelayan itu terasa seperti duri yang menyusup ke hatinya. Wajahnya tak menunjukkan banyak ekspresi, tetapi pikirannya langsung dipenuhi dengan pertanyaan. "Kak Arlan pergi bersama Nyonya Widi dan Terry? Apa ini ada hubungannya dengan kejadian semalam?"
Ia menggigit bibirnya, mencoba menenangkan hati yang mulai resah. Dengan enggan, Alika mengangguk kepada pelayan itu. “Terima kasih, aku akan makan sekarang.”
Pelayan itu membungkuk sopan, lalu pergi meninggalkannya. Alika duduk di kursi meja makan dengan Adriel yang masih dalam gendongannya. Hatinya terasa berat, seolah-olah ada badai yang sedang menunggu untuk menghancurkan semuanya. Namun, demi Adriel, ia harus tetap kuat. "Aku tak boleh terlihat lemah. Tidak di depan mereka. Tidak di depan siapa pun."
***
Arlan, Terry, dan Widi tiba di rumah sakit, menunggu giliran untuk menjalani tes yang akan membuktikan kebenaran.
Ketiganya berdiri di lorong menunggu giliran. Widi duduk dengan ekspresi tegang, sementara Arlan berdiri di dekat dinding, wajahnya tetap dingin. Terry terus memainkan jemarinya, pura-pura cemas, meskipun dalam hati ia sudah menyiapkan rencana untuk memanipulasi hasil tes.
Sementara itu, Alika kebetulan berada di rumah sakit, mengantarkan salah satu karyawannya yang terluka karena kecelakaan kerja di dapur. Saat berjalan melewati lorong, ia berhenti mendengar suara yang familiar. Ia menoleh, dan matanya melebar ketika melihat Widi, Arlan, dan Terry sedang berbicara.
Dengan gugup, ia bersembunyi di balik pilar, berusaha mendengarkan tanpa ketahuan. Tangannya dengan lembut mengusap punggung Adriel yang terlelap dalam gendongannya, memastikan bayi itu tetap tertidur agar tidak membongkar keberadaannya.
“Aku benar-benar tidak tahu kenapa Arlan tidak mengakuinya, Tante,” kata Terry, suaranya penuh kepura-puraan. “Aku sudah melakukan ini semua demi menjaga nama baiknya, tapi sekarang aku merasa dia malah ingin menghancurkanku.”
“Arlan,” Widi menatap putranya dengan tegas. “Mama ingin kau bersikap dewasa. Kalau kau memang melakukannya, akui saja. Ini menyangkut harga diri keluarga kita.”
Arlan menatap ibunya dengan ekspresi datar, nyaris tanpa emosi. “Aku tidak akan mengakui sesuatu yang tidak kulakukan, Ma.” Suaranya tenang, tapi tegas. “Kalau Terry yakin, biarkan saja tes ini yang membuktikannya.” Ia menyandarkan punggung ke dinding, tampak tak terganggu, seolah kejadian ini hanya masalah kecil yang tak layak diperdebatkan.
“Arlan, apa kau tidak berpikir tentang apa yang akan terjadi kalau hasilnya benar?” Widi mendesah. “Nama baik keluarga ini sudah terlalu sering diguncang masalah. Kalau kau tidur dengan Terry, maka kau harus bertanggung jawab dan menikahinya.”
Mendengar kata-kata itu, Alika merasa tubuhnya gemetar. Dialah yang sebenarnya tidur dengan Arlan malam itu. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata. Tanpa sadar memeluk Adriel erat.
Alika berusaha melangkah pergi, tetapi kakinya terasa berat, seolah-olah ada beban yang menahannya. Bayangan malam itu kembali menghantam pikirannya. Bagaimana Arlan yang mabuk dan dipengaruhi obat tiba-tiba menariknya ke dalam kamar dan menidurinya. Ia mengingat setiap detailnya dengan jelas, namun Arlan sama sekali tidak.
Tapi Alika tak bisa mengungkapkan kebenaran ini. Ingatan tentang percakapannya dengan Widi dulu kembali terngiang jelas di pikirannya :
"Kudengar kau berniat menetap di kota ini setelah kontrakmu selesai."
Alika mengangguk kecil. "Benar, Nyonya. Saya sudah memutuskan untuk tinggal di sini."
"Bagus." Widi menghela napas singkat, lalu melanjutkan, "Les privat dari Arlan rupanya sangat membantumu. Tapi, Alika, aku ingin memastikan sesuatu." Tatapan Widi kini beralih langsung ke mata Alika, tajam dan penuh arti. "Tinggal di kota ini bukan trikmu untuk mendekati Arlan, 'kan?"
Alika tercekat sejenak, namun ia tetap menjawab dengan tenang. "Tentu saja tidak, Nyonya. Saya tak pernah berpikir seperti itu."
Widi mengangkat alisnya sedikit. "Bagus kalau begitu. Aku harap kau benar-benar memegang kata-katamu. Tapi dengarkan aku baik-baik, Alika. Status sosialmu dan Arlan itu sangat jauh berbeda. Kau tak pantas bersanding dengannya, dan aku tak akan pernah merestui hubunganmu dengan Arlan. Ingat itu!"
Alika merasakan dadanya sesak, tapi ia segera menunduk, menyembunyikan perasaannya. "Saya mengerti, Nyonya. Saya tahu siapa diri saya dan tak pernah bermimpi, apalagi berharap, untuk bersanding dengan Kak Arlan."
Widi mengangguk puas. "Bagus. Aku akan pegang kata-katamu itu, Alika. Jangan sampai aku mendengar hal lain."
Selain ingatan akan percakapan itu, kenangan pernikahan tanpa restu yang berakhir dengan pengkhianatan masih menghantui Alika, membuatnya ragu untuk melawan.
Belum lagi ancaman Terry yang akan menghancurkan usaha kecilnya jika ia berani membuka mulut. Semua itu membuat Alika terjebak dalam dilema. Kini, mendengar percakapan mereka, ia semakin yakin, Arlan benar-benar tidak mengingat apa pun.
Di balik pilar, Alika memeluk Adriel lebih erat. Trauma menikah tanpa restu orang tua dulu sudah cukup menghancurkan hidupnya, dan sekarang ia harus menghadapi ancaman Terry serta kebencian Widi.
Dengan kepala tertunduk, Alika memutuskan untuk pergi tanpa berkata apa-apa. Air matanya jatuh, tapi ia tahu ini keputusan terbaik. Ia tidak ingin melukai Arlan lebih jauh, dan ia tidak ingin menghancurkan usahanya yang sudah ia bangun dengan susah payah.
Namun, dalam hatinya, Alika berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga rahasia ini sampai kapan pun, meskipun itu berarti harus menyaksikan Arlan menikah dengan Terry.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued