Luna harus menerima kenyataan pahit saat mengetahui jika suaminya yang baru saja menikahinya memiliki hubungan rahasia dengan adiknya sendiri.
Semuanya bermula saat Luna yang memiliki firasat buruk di balik hubungan kakak beradik suaminya (Benny dan Ningrum) yang terlihat seperti bukan selayaknya saudara, melainkan seperti sepasang kekasih.
Terjebak dalam hubungan cinta segitiga membuat Luna pada akhirnya harus memilih pada dua pilihan, bertahan dengan rumahtangganya yang sudah ternodai atau memilih menyerah meski perasaannya enggan untuk melepas sang suami..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy2R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
(Kecurigaan Luna)
"Iya, Non, ini saya. Kenapa ya?" Sumirah, seorang pembantu di keluarga Hendra, datang dari lantai bawah membawa nampan berisi minuman yang kemudian diserahkannya kepada Ningrum. "Nyonya besar tadi meminta saya mengantarkan air hangat ini untuk Non," ucapnya.
Ningrum berdecak, "Taruh saja di atas meja, Bi," perintahnya.
"Baik, Non." Sumirah dengan sedikit membungkuk, berjalan melewati Ningrum. Ia lantas meletakkan gelas air minum yang dibawanya di atas meja.
"Yang lainnya ke mana, Bi? Kok rumah rasanya sepi sekali," tanya Ningrum setelahnya.
"Tuan besar sudah berangkat ke kantor, nyonya besar sedang menerima telepon di bawah, sedangkan tuan Benny dan istrinya sedang mengobrol berdua di taman belakang, Non," terang Sumirah.
"Apa yang sedang dibahas pengantin baru itu, Bi?" tanya Ningrum lagi.
Sumirah menggeleng pelan, "Maaf, Non, saya tidak tahu," jawabnya.
"Oh." Ningrum membalikkan badan dan menutup kembali pintu kamarnya.
JDER!
Melihat perbuatan Ningrum yang kasar, tak membuat Sumirah terkejut. Ia sudah terbiasa menghadapi sikap kasar nonanya itu.
"Beruntung aku tak ketahuan olehnya saat menguping tadi, kalau sampai dia tahu.. kemungkinan, aku akan diadukan yang tidak-tidak kepada nyonya besar seperti si Inem dulu." gumam Sumirah seorang diri.
**
"Benarkah dokter Riana berkata seperti itu?" Benny menatap Luna sambil mengernyitkan dahi. Ia tampaknya tak percaya dengan aduan Luna mengenai keterangan dokter Riana yang menyatakan jika Ningrum aslinya baik-baik saja.
"Kamu tak percaya dengan ucapanku, Mas?" tanya Luna balik.
Benny menghela nafasnya, "Bukan tak percaya, Luna. Aku cuma bertanya untuk memastikan saja, apa benar begitu yang dikatakan dokter Riana?" kilahnya.
"Coba saja hubungi dokter Riana dan tanyakan ke dia tentang aduanku ini, apakah aku berbohong atau tidak," tantang Luna.
"Baiklah. Aku turuti kemauanmu."
Dari saku celananya, Benny mengeluarkan ponselnya. Ia lantas menghubungi dokter Riana via WhatsApp demi mendapatkan jawaban yang akurat mengenai keadaan Ningrum yang sebenarnya.
"Hallo, Pak Benny. Ada apa ya menghubungi saya? Apa ada anggota keluarga lain yang sakit?" tanya sang Dokter sesaat setelah telepon keduanya tersambung.
Mendengar suara dokter Riana, Benny pun langsung menekan simbol loudspeaker pada layar ponselnya. Hal itu ia lakukan agar Luna bisa mendengar sendiri jawaban dokter Riana saat nanti ditanya olehnya.
"Ah tidak ada, Dok, tidak ada yang sakit. Saya menghubungi Dokter hanya ingin bertanya mengenai keadaan adik saya. Sebenarnya dia tadi sakit apa ya, Dok?" tanya Benny tanpa berbasa-basi.
"Oh bukan sakit yang serius kok. Ningrum mengalami gerd seperti biasanya dan kebetulan saat saya datang tadi gerd-nya sudah membaik," jawab Dokter Riana. "Saya tadi hanya menyuntikkan vitamin saja untuk Ningrum karena obat yang saya berikan beberapa hari yang lalu masih ada katanya," lanjutnya.
Benny menatap sinis Luna usai mendengar jawaban sang Dokter. Sedangkan Luna, ia tampak terkejut dengan apa yang didengarnya barusan.
Luna menatap sekilas pada Benny sebelum akhirnya ia merebut ponsel dari genggaman Benny.
"Kenapa sekarang keterangan yang Dokter katakan berbeda, ya? Ada apa dengan Anda, Dok? Jelas-jelas Anda tadi berkata kepada saya kalau keadaan Ningrum itu baik-baik saja dan bahkan Anda pun berkata kalau tak menemukan apapun saat memeriksa Ningrum. Tapi kenapa-"
"Maaf, ini dengan siapa ya?" sela Dokter Riana pada kalimat yang belum sempat dilanjutkan Luna.
Dengan kesal Luna menjawab, "Saya Luna, Dok, istri pak Benny yang tadi mengantar Dokter sampai ke teras rumah,"
"Oh mbak yang tadi?" tanya Dokter Riana berpura-pura. "Maaf, sepertinya kita tadi tidak ada pembicaraan apapun. Mengenai keadaan Ningrum pun tak ada saya membahasnya dengan Anda," ucapnya.
Luna semakin terkejut dengan jawaban yang ia terima. Dan Benny tampak semakin kesal kepada Luna, hal itu terlihat jelas dari raut wajahnya.
"Anda ini seorang dokter lho ya, seharusnya ingatan Anda bagus. Masa kejadian baru beberapa saat yang lalu Anda sudah lupa?" cibir Luna.
"Luna! Apa-apaan sih kamu? Sopanlah sedikit dengan dokter Riana, beliau ini dokter kepercayaan keluargaku. Beliau tak mungkin berkata dusta," ucap Benny, membela sang Dokter.
Luna tersenyum sinis, "Tak mungkin berkata dusta katamu?" Luna tertawa keras. "Awalnya aku pun berpikir begitu tentang dokter langgananmu ini. Tapi, setelah apa yang ku dengar tadi dari mulutnya, penilaianku terhadapnya langsung berubah," ucapnya penuh penekanan.
"Luna.." lirih Benny.
"Maaf, Pak Benny, kalau memang sudah tak ada lagi yang mau dibahas, saya tutup teleponnya ya. Soalnya saya sedang sibuk saat ini," ujar sang Dokter, mengalihkan pembicaraan.
Dengan sedikit memaksa, Benny meminta kembali ponselnya dari Luna.
"Sebelumnya terima kasih atas penjelasannya tadi, Dok, dan saya juga meminta maaf kalau ada perkataan istri saya yang menyinggung perasaan Dokter," ucap Benny.
"Iya, Pak Benny. Tidak apa-apa."
Usai sambungan telepon berakhir, Benny langsung beranjak dari duduknya. Tanpa mengatakan apapun, ia berlalu begitu saja.
Seperginya Benny, Sumirah tiba-tiba saja muncul entah dari mana. Sumirah bersembunyi di balik gorden, tatapannya mengarah pada Luna yang sedang duduk sendirian di bangku taman.
"Kasihan nona Luna, baru sehari menikah sudah harus berlinangan air mata seperti itu." gumamnya.
Tap.
Tap.
Tap.
Mendengar suara langkah kaki yang mendekat, Sumirah pun langsung berpura-pura sedang sibuk mengelap kaca jendela.
"Bi Sum," panggil seseorang dari balik punggungnya.
Sumirah berbalik dan bertanya, "Ehh Nyonya, ada yang bisa saya bantu, Nya?"
Sekilas Retno melirik sang menantu sebelum kembali berbicara dengan Sumirah.
"Kembalilah ke dapur dan selesaikan pekerjaan yang ada di sana," perintah Retno.
Sumirah mengangguk patuh, "Baik Nyonya."
Melihat menantunya sendirian di halaman belakang, Retno pun bergegas mendekat.
"Luna," panggilnya lembut.
Luna menoleh sembari mengusap kedua matanya. Ia mengulas senyum palsu saat mendapati Retno yang sudah berada di sebelahnya.
"Kamu kenapa kok menangis? Bertengkar ya sama Benny?" tanya Retno.
Luna hanya diam membisu. Ia enggan berbagi cerita mengenai permasalahannya dengan Benny kepada mama mertuanya.
"Kalian itu kan masih pengantin baru, seharusnya kalian isi hari-hari pertama pernikahan dengan kebahagiaan bukan dengan pertengkaran," tutur Retno.
Dengan halus, Luna menyahuti ucapan Retno, "Seharusnya memang begitu, Ma. Tapi sayang, ada seseorang yang dengan sengaja menghancurkan kebahagiaan kami,"
"Seseorang? Siapa yang kamu maksud, Luna?" tanya Retno.
Luna tersenyum tipis sambil menatap mertuanya, "Bukannya Mama tahu ya siapa orang yang aku maksud?" tanyanya balik.
Retno terdiam untuk beberapa saat. Ia terlihat gusar dan beberapa kali sempat mengusap dahinya yang tiba-tiba saja berkeringat.
"Aku masuk duluan ya, Ma. Kepalaku tiba-tiba saja pusing. Aku mau istirahat sebentar di kamar," ujar Luna.
"Ah i- iya." angguk Retno.
Wanita paruh baya itu terus saja menatap kepergian menantunya. Sambil memegang dada, ia bergumam, "Kenapa Luna berkata seperti itu? Apa jangan-jangan dia sudah tahu?"
_