Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Ancaman
Keesokan harinya
Sinar matahari menerobos tirai yang setengah tertutup, menimpa wajah Alika yang terbaring di sisi ranjang. Matanya terbuka perlahan, dan rasa berat segera memenuhi dadanya saat ia menyadari apa yang telah terjadi malam itu.
Ia menoleh, melihat Arlan masih tertidur di sampingnya, wajahnya terlihat damai tetapi lelah. Ingatan samar tentang malam sebelumnya membuat tubuhnya membeku. Arlan tidak sadar sepenuhnya akan tindakannya, dan ia sendiri terperangkap dalam situasi yang di luar kendalinya.
Dengan hati-hati, Alika bangkit dari ranjang, mengenakan pakaiannya yang berserakan di lantai. Kepalanya penuh dengan pertanyaan dan rasa bersalah yang menghantui. Ia menghela napas berat, pandangannya beralih pada Arlan yang masih tertidur pulas di ranjang.
Sebelum melangkah keluar, Alika menoleh sekali lagi ke arah pria itu. Ada perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan, antara marah, sedih, dan kecewa pada dirinya sendiri.
Saat pintu kamar itu tertutup di belakangnya, Alika tahu, apa pun yang terjadi setelah malam ini, hidup mereka tidak akan pernah sama lagi.
Namun, sebelum Alika bisa melangkah lebih jauh, suara penuh amarah menghentikannya.
"Dasar wanita murahan! Apa yang kau lakukan di kamar Arlan?"
Alika tersentak. Ia mendongak dan melihat Terry berdiri tak jauh darinya, wajahnya penuh kemarahan. Mata Terry menatap tajam, tertuju pada Alika yang masih terlihat berantakan, dengan bercak merah keunguan di lehernya yang sulit disembunyikan.
"Apa maksudmu?" tanya Alika, mencoba menguasai dirinya meski suaranya terdengar bergetar.
Terry mendekat, sorot matanya semakin tajam. "Aku tahu apa yang kau lakukan. Kau memanfaatkan keadaan Arlan! Kau pikir, dengan tidur dengannya, kau bisa mendapatkan posisi di hatinya?" ucap Terry, sinis.
Alika menggeleng, langkahnya mundur. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Terry. Ini tidak seperti yang kau pikirkan."
"Benar-benar menjijikkan!" Terry meludah dengan suara keras. Namun, dalam hatinya, ia tahu siapa sebenarnya yang menjijikkan. Rencananya yang telah ia atur dengan matang malam itu justru berantakan karena Alika.
Terry mengingat semuanya dengan jelas. Ia yang memasukkan obat itu ke minuman Arlan di bar, memanfaatkan momen ketika pria itu sudah terlalu mabuk untuk sadar. Ia yang membantu Arlan ke kamar dan berniat merekam adegan yang pasti akan terjadi setelah obat yang ia berikan bereaksi.
Namun semuanya hancur saat ia menyadari ponsel yang akan ia pakai untuk merekam momennya bersama Arlan tertinggal di mobil. Ketika akan kembali ke rumah, ia mendapati garasi terkunci otomatis, memaksanya terjebak sepanjang malam di dalam mobil. Pagi ini, ia akhirnya keluar hanya untuk menemukan Alika meninggalkan kamar Arlan.
Matanya menyipit, menatap penuh kebencian pada Alika. "Kau mencuri kesempatan itu dariku. Aku tidak akan membiarkan ini begitu saja!"
Alika merasa tubuhnya menegang. Ia tidak tahu apa maksud sebenarnya dari Terry, tetapi satu hal yang jelas, malam itu tidak hanya menghancurkan dirinya, tetapi juga membuka jalan untuk konflik baru yang lebih rumit.
Terry mendekatkan wajahnya ke arah Alika, sorot matanya penuh ancaman. "Dengar baik-baik, Alika," bisiknya tajam, suaranya rendah tetapi penuh tekanan. "Kau akan menutup mulutmu rapat-rapat soal apa yang terjadi semalam."
Alika mundur selangkah, namun punggungnya menyentuh dinding koridor. Ia merasa terjebak di bawah tatapan dingin Terry. "Kenapa aku harus menutup mulut? Kak Arlan berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi," ucapnya, meskipun suara gemetar mengkhianati keberaniannya.
Terry tertawa sinis. "Berhak tahu? Kau benar-benar lucu. Kau pikir, dengan statusmu yang cuma pemilik rumah makan kecil itu, kau pantas jadi bagian dari keluarga Arlan? Tante Widi saja sudah terang-terangan tidak menyukaimu sejak awal."
Alika menunduk, hatinya mencelos mendengar kata-kata Terry. Namun, ia mencoba menguatkan dirinya. "Aku tidak peduli apa pendapatmu atau mama Kak Arlan. Ini bukan urusanmu."
Namun Terry mendekat lagi, wajahnya semakin menekan. "Bukan urusanku? Kau bodoh kalau berpikir aku akan membiarkan ini merusak rencanaku. Kau tahu, Alika, aku bisa menghancurkanmu dengan mudah. Rumah makan kecilmu itu? Aku hanya butuh satu telepon untuk membuat tempat itu bangkrut."
Mata Alika membesar. "Kau tidak bisa melakukan itu!"
Terry menyeringai, puas melihat ketakutan di wajah Alika. "Oh, aku bisa, dan aku akan. Kalau kau berani buka mulut soal apa pun yang terjadi semalam, kau akan melihat rumah makanmu hancur, dan keluargamu terlilit utang. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum bertindak bodoh."
Alika menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia tahu Terry tidak main-main dengan ancamannya.
"Terry..." Alika mencoba bicara, tetapi suaranya hampir berbisik. "Apa yang kau inginkan dariku?"
"Apa yang kuinginkan? Mudah saja." Terry menatapnya tajam. "Setelah kontrakmu sebagai ibu susu habis, kau pergi dari hidup Arlan. Jangan pernah muncul di hadapan dia atau keluarganya lagi. Dan jangan berani-berani membuka mulut soal semalam. Jika kau melanggar... kau tahu apa yang akan terjadi."
Dengan ancaman itu, Terry melangkah masuk ke dalam kamar Arlan tanpa menoleh lagi pada Alika, meninggalkannya diam terpaku di tempat dengan rasa takut dan bingung yang membelenggu. Di dalam hatinya, Alika tahu ancaman Terry hanya awal dari konflik yang lebih besar. Namun, ia juga tidak bisa membiarkan Terry terus mengontrol hidupnya. "Apa yang harus ia lakukan sekarang?" batinnya.
Suasana koridor terasa hening, tetapi di dalam kepala Alika, pikiran-pikiran bergemuruh tanpa henti. Ia mencoba mengatur napas, tetapi rasanya dada terlalu sesak untuk bisa bernapas lega. Ancaman Terry tadi terus terngiang-ngiang di telinganya, sementara ingatannya kembali pada masa lalu, pernikahannya yang gagal, cinta yang ia perjuangkan, tetapi akhirnya kandas karena tidak direstui orang tua.
Ia tahu benar apa yang akan terjadi jika ia melawan. Widi, ibu Arlan, sudah sejak lama memperingatkannya untuk menjauh dari putranya. "Status sosialmu dan Arlan itu sangat jauh berbeda. Kau tak pantas bersanding dengannya, dan aku tak akan pernah merestui hubunganmu dengan Arlan. Ingat itu." ucapan dingin Widi terngiang kembali, mengiris perasaannya seperti sembilu.
Namun kini ancaman Terry menambah beban itu. "Aku hanya butuh satu telepon untuk membuat tempat itu bangkrut," kata-kata itu terus bergema dalam pikirannya, membuat lututnya lemas.
Alika menghapus air matanya dengan cepat sebelum orang lain melihat. Ia menatap pintu kamar Arlan untuk terakhir kalinya, hatinya terasa perih membayangkan apa yang mungkin terjadi setelah ini. Arlan tidak akan tahu apa pun. Ia akan tetap menjadi putra yang tak tersentuh oleh aib, sementara ia sendiri menanggung beban rahasia ini sendirian.
Dengan langkah gontai, Alika kembali ke kamarnya. Tangannya yang gemetar membuka pintu, dan ia segera masuk, menutupnya rapat-rapat di belakangnya. Di dalam ruangan itu, ia menyandarkan punggung pada pintu, membiarkan dirinya terisak pelan dalam kesunyian.
“Mungkin aku memang tidak pernah pantas...” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Tetapi jauh di dalam hatinya, ada rasa sakit dan penyesalan yang sulit ia abaikan.
Namun, satu hal yang pasti: malam itu mengubah segalanya. Dan ia tahu, keputusan apa pun yang ia ambil setelah ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Tiba-tiba tatapan mata Alika jatuh pada Adriel, putra Arlan, yang masih tertidur lelap di atas ranjang kecilnya. Anak yang telah ia susui hampir dua tahun ini, anak yang tak hanya membangun kembali kekuatan dirinya, tetapi juga menjadi alasannya untuk bertahan hidup.
Adriel telah menjadi cahaya dalam hidup Alika setelah semua kehancuran yang ia alami. Kehancuran itu dimulai dari perselingkuhan suaminya dengan ibu kandungnya sendiri, diikuti oleh kehilangan bayinya yang hanya sempat ia peluk sebentar. Dalam keterpurukan itu, hadir Adriel, anak yang membuatnya merasa berarti lagi, anak yang memulihkan hatinya yang terkoyak.
Namun, ingatan semalam menghantamnya seperti badai. Arlan, dalam keadaan mabuk, telah menidurinya tanpa kesadaran penuh. Alika mengepalkan tangannya, menahan getaran di tubuhnya. Ia tahu, rahasia ini akan mengubah segalanya, bukan hanya untuknya, tetapi juga untuk Adriel, anak yang sudah menjadi bagian dari hidupnya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Adric jg sangat membutuhkan figur seorang ibu dan adric sangat nyaman sm alika....
Widi sangat menentang arlan menikah dgn alika krn keluarga alika berantakan..
keputusan arlan tdk bs diganggu gugat akan tetep menikahi alika....
bagas mendengar nama Arya membeku ada apakah dgn bagas dan Arya...