Tahu masa lalunya yang sangat menyakitkan hati satu minggu sebelum hari pernikahan. Sayang, Zoya tetap tidak bisa mundur dari pernikahan tersebut walau batinnya menolak dengan keras.
"Tapi dia sudah punya anak dengan wanita lain walau tidak menikah, papa." Zoyana berucap sambil terisak.
"Apa salahnya, Aya! Masa lalu adalah masa lalu. Dan lagi, masih banyak gadis yang menikah dengan duda."
Zoya hanya ingin dimengerti apa yang saat ini hatinya sedang rasa, dan apa pula yang sedang ia takutkan. Tapi keluarganya, sama sekali tidak berpikiran yang sama. Akankah pernikahan itu bisa bertahan? Atau, pernikahan ini malahan akan hancur karena masa lalu sang suami? Yuk! Baca sampai akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Episode 13
"Masuk, Aya!" Arya berucap setelah membuka pintu kamar.
Saat itu, Zoya baru sadar akan apa yang ada dalam pikirannya. Namun, perhatian Zoya langsung teralihkan dengan suasana kamar sang suami yang tertata dengan sangat rapi. Suasananya juga sangat nyaman.
Ada satu lemari besar di samping ranjang. Meja kecil, nakas, jendela, golden dengan warna serba biru, plus, sofa di samping jendela. Indah, dan tertata dengan rapi.
"Masuklah!"
"Yah."
Enggan. Tapi Zoya tetap melangkah. Matanya terus menyapu seisi kamar untuk melihat setiap sudut dari kamar tersebut.
"Kamu bisa istirahat sekarang. Aku akan keluar."
"Tunggu!"
"Apa?"
"Aku .... "
"Tidak. Apa mas Arya juga tidak ikut istirahat?"
"Tidak. Istirahatlah. Aku ingin temani mama ngobrol."
"Oh." Singkat padat.
Setelahnya, Zoya malah langsung mengabaikan Arya. Yang diabaikan tentu saja tidak punya pilihan lain selain melanjutkan niat untuk meninggalkan kamar tersebut. Namun, baru juga Arya berjalan beberapa langkah, suara Zoya kembali terdengar.
"Mas Arya, tunggu. Ada yang ingin aku tanyakan lagi."
Arya pun kembali menoleh.
"Ya? Tanyakan saja jika memang ada yang ingin kamu tanyakan, Aya. Aku pasti akan memberikan jawaban dari setiap pertanyaan mu itu."
Hening sesaat. Karena, tentu saja Zoya tidak akan langsung bertanya. Jujur, keraguan yang saat ini sedang menyelimuti hati agak besar. Namun, karena terus diperhatikan oleh Arya, Zoya akhirnya angkat bicara juga setelah diam sesaat.
"Apa ... mama sudah tahu kalau kita akan tinggal di rumah baru?"
Arya mengangguk pelan.
"Ya. Mama sudah tahu. Karena sebelumnya, aku memang sudah punya niat untuk membawa kamu tinggal di rumah baru. Rumah yang akan menjadikan kamu sebagai ratu satu-satunya, Aya."
Ada kesedihan dari nada yang baru saja Arya ucapkan. Tapi Zoya, tidak menyadarinya. Dia malah hanya berdiam diri. Setelahnya, anggukan pelan dia berikan.
"Oh. Begitu."
Lagi-lagi, jawaban singkat dan padat yang Zoya berikan. Jawaban yang sejujurnya tidak Arya inginkan. Karena Arya masih sangat berharap kalau Zoya akan membuka hati dalam waktu dekat. Tapi rasanya, itu sedikit mustahil.
"Aya."
"Mas Arya ingin keluar? Jika ingin, pergilah. Aku sudah tidak ada lagi yang ingin dipertanyakan."
"Oh. Baiklah."
Dengan langkah berat, Arya meninggalkan kamar tersebut. Sementara Zoya, wanita itu sibuk memperhatikan lagi isi dari kamar sang suami.
Perlahan, Zoya menduduki bokongnya di atas kasur. Zoya yang baru berani duduk, tentu saja masih belum berani berbaring. Aroma harum bunga lavender tercium menyapa hidung. Zoya menikmatinya. Kamar Arya yang tidak pernah ia datangi sebelumnya, kini membuat pikirannya merasa tenang.
Ketika Zoya mengedarkan pandangan ke sudut kamar, matanya langsung terfokus pada sebuah lukisan. Zoya beranjak untuk mendekat. Lukisan dengan ukuran cukup besar terpasang di tembok. Zoya memperhatikannya dengan seksama dari jarak dekat.
Zoya menatap lekat, siapa lagi wanita yang ada dalam lukisan tersebut kalau bukan dirinya? Namun, dia sedikit tidak percaya kalau Arya bisa punya lukisan sebesar itu di kamarnya saat ini. Tanggal lukisan itu juga tercantum di dalamnya. Sudah sangat lama. Sudah tiga tahun yang lalu.
"Tiga tahun?"
Zoya kembali mengingat waktu tiga tahun yang lalu. Namun, untuk tiga tahun itu, dia yakin, waktu yang tercatat di lukisan tersebut, dia dan Arya sama sekali belum bertemu. Tepatnya, dia sama sekali tidak kenal dengan Arya yang saat ini sudah menjadi suaminya.
"Apa benar ini aku? Atau, ini hanya gadis yang mirip dengan diriku saja?"
Zoya merasa semakin tidak nyaman. Entahlah, hatinya mendadak merasa tidak enak. Meski hubungannya sedang tidak baik-baik saja dengan Arya. Meski dia sangat tidak ingin menikah dengan Arya setelah tahu masa lalu dari pria tersebut. Tapi, bagaimanapun, sebelumnya, dia juga sempat jatuh cinta pada Arya. Ditambah lagi sekarang, Arya adalah suaminya. Dia sangat tidak rela jika dirinya hanya dijadikan sebagai pengganti saja.
"Ya Tuhan .... " Zoya menyentuh dadanya dengan satu tangan. Agak sesak di sana untuk saat ini. Makanya, dia berusaha untuk memenangkan hati.
"Huh! Ayolah, Aya. Ayolah. Jangan berpikiran yang macam-macam."
"Hidupmu sudah berat, kau tahu? Tolong jangan ditambah berat lagi."
Zoya meninggalkan lukisan tersebut. Memilih berbaring di atas sofa dari pada kasur adalah pilihan yang paling tepat. Karena kasur, lebih membuatnya merasa tidak nyaman dari pada sofa yang ada di samping jendela.
....
Waktu demi waktu berlalu, akhirnya, mereka pulang setelah makan malam. Yah, seperti yang mama Arya katakan, mereka baru bisa pulang setelah makan malam di rumah sang mama. Jika tidak, sang mama pasti akan kecewa.
"Terima kasih banyak, Aya. Terima kasih untuk semua yang telah kamu lakukan hari ini. Meski kamu masih belum bisa membuka hatimu untukku, tapi kamu bisa bersikap manis di depan mama. Sekali lagi, terima kasih banyak." Arya berucap sesaat setelah mobil ia jalankan meninggalkan rumah sang mama.
Tanpa menoleh ke arah Arya, Zoya pun berucap dengan pelan. "Aku melakukan apa yang aku bisa. Tidak perlu sungkan."
"Untuk itu, terima kasih."
"Aya, bisakah kita memulai hubungan lagi dengan cara berteman dulu?"
Seketika, Zoya langsung mengalihkan pandangannya ke arah Arya.
"Berteman?"
"Iya. Berteman. Dengan teman, mungkin kamu akan merasa nyaman."
"Ter-- terserah saja."
Jawaban singkat lagi. Lagi-lagi jawaban singkat yang tidak Arya inginkan. Dia sangat ingin melihat senyum manis Zoya. Senyum manis yang selalu muncul seperti sebelumnya. Dia juga ingin melihat keceriaan dari wanita pujaan hatinya. Tapi akhir-akhir ini, jangankan ceria, sedikit senyum saja sulit.
'Sabar, Arya. Sabar. Jalanilah dengan pelan. Lakukan secara perlahan. Dan, yakinlah. Wanita ini akan bisa jadi milikmu seutuhnya lagi.' Arya berusaha menguatkan hati.
.....
Beberapa hari kemudian, tiba waktunya mereka menginap di rumah milik mama Arya. Sebuah tantangan baru untuk Zoya. Setelah menjalani hidup di rumah kedua orang tuanya dengan cara tidur terpisah meski di kamar yang sama. Hari ini, dia akan tidur di kamar sang suami. Pastinya, dengan cara yang sama pula.
"Mas Arya tidur di ranjang saja. Biar aku yang tidur di sofa," ucap Zoya sambil melepaskan tas ke atas sofa.
Arya yang baru saja membuka jam tangan langsung mengalihkan pandangan.
"Kenapa kamu tidak tidur di atas ranjang saja?"
Belum sempat Zoya menjawab, Arya kembali berucap. "Aya. Bagaimana kalau kita tidur di atas ranjang yang sama untuk malam ini?"
Deg. Jantung Zoya berdetak cepat. Tatapan matanya pun terlihat membulat.
"Apa? Ta-- tapi-- "
"Jangan cemas. Bukankah aku sudah berjanji tidak akan macam-macam jika kamu tidak mengizinkan. Lalu, bukankah aku juga sudah bilang kalau, kita harus tidur di satu tempat yang sama. Apa kamu tidak percaya padaku, Aya?"
"A-- aku .... "
"Apakah aku terlalu menjijikkan, Aya?"
lanjut kak...
semngat....
sdah mampir...
semoga seru alur critanya...
semngat kak ...