Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦠꦶꦒꦥꦸꦭꦸꦮꦁ
Mela berdiri di depan pos penjaga, menggenggam bakul jamunya dengan erat. Udara pagi yang sejuk tidak mampu menenangkan hatinya yang berdebar-debar. Ia tahu bahwa keberadaannya di tempat ini adalah pelanggaran besar. Para penjaga Belanda menatapnya dengan curiga, salah satu dari mereka bahkan mengangkat senapan seolah-olah ia adalah ancaman.
"Hei, kau mau apa di sini?" tanya seorang penjaga dengan nada tajam, matanya menyipit menatap gadis pribumi itu.
"Aku... aku ingin bertemu Tuan Herlic," jawab Mela, suaranya bergetar namun tegas.
"Herlic?" Penjaga itu tertawa kecil, memperlihatkan cemoohan di wajahnya. "Pribumi sepertimu tidak diizinkan masuk ke wilayah ini tanpa alasan yang jelas. Apalagi untuk menemui seorang perwira."
"Aku membawa jamu untuknya," Mela berusaha menunjukkan bakul yang ia bawa. "Dia sendiri yang meminta aku datang ke sini."
Penjaga itu terlihat ragu sejenak. "Kau yakin? Apa buktinya?"
"Tuan Herlic yang memintaku langsung. Jika kalian tidak percaya, kalian bisa memanggilnya keluar," desak Mela, kali ini lebih berani.
Penjaga itu memutar matanya, tampak kesal dengan keberanian gadis muda ini. Ia melambaikan tangannya pada salah satu prajurit di belakangnya. "Kau, panggil Tuan Herlic. Bilang ada seorang gadis pribumi ingin bertemu dengannya."
Prajurit itu mengangguk dan pergi ke arah rumah Herlic. Mela menunggu dengan sabar meski merasa gugup. Ia tahu apa yang dilakukannya ini berbahaya. Satu kesalahan saja, ia bisa ditangkap atau bahkan ditembak. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk tetap berdiri di sana.
Tak lama kemudian, Herlic muncul dari dalam rumah, mengenakan seragamnya yang rapi. Wajahnya tampak sedikit bingung melihat Mela di sana, namun senyum kecil muncul di bibirnya begitu ia mendekat.
"Mela? Apa yang kau lakukan di sini pagi-pagi begini?" tanyanya, suaranya terdengar ramah namun juga penuh rasa ingin tahu.
Mela menundukkan kepalanya sebentar sebelum menjawab, "Aku membawa jamu, seperti yang kau minta."
Herlic melirik para penjaga yang tampak bingung dan canggung, lalu mengangguk pada mereka. "Sudah, biarkan dia masuk. Aku yang bertanggung jawab."
"Tapi, Tuan-" salah satu penjaga mencoba protes, namun Herlic memotongnya.
"Aku bilang biarkan dia masuk. Dia tamuku."
Dengan enggan, para penjaga membuka pintu gerbang kecil, membiarkan Mela masuk. Herlic berjalan di sampingnya, memimpin jalan menuju rumahnya.
"Kenapa kau nekat datang ke sini? Kau tahu tempat ini tidak aman untukmu, bukan?" tanya Herlic setelah mereka menjauh dari pos penjaga.
Mela hanya mengangkat bahu. "Kau yang memintaku membawa jamu, jadi aku datang."
Herlic menghela napas, namun ia tidak bisa menahan senyum yang terselip di wajahnya. "Kau benar-benar gadis yang keras kepala."
"Memang," sahut Mela singkat.
"Herlic," panggil William sambil menatap sepupunya yang berdiri bersama seorang gadis pribumi yang membawa bakul jamu. Rasa penasaran dan heran tergambar di wajahnya. "Siapa gadis itu?" tanyanya dengan nada penuh curiga.
Herlic menoleh santai ke arah William. "Aku punya urusan dengannya," jawabnya singkat, tanpa berniat menjelaskan lebih jauh.
William mengangkat alis, tampak tidak puas dengan jawaban itu. "Oh, begitu? Tumben sekali, ya, ada pribumi yang tidak punya urusan pekerjaan atau tugas di rumah ini bisa masuk wilayah kita," sindirnya dengan nada tajam.
Herlic menghela napas pelan, mencoba meredakan suasana. "Tenanglah, William. Ini perjanjianku dengan dia," jawabnya sambil menatap sepupunya dengan serius.
Namun, sebelum William sempat membalas, Mela yang sejak tadi diam langsung memotong dengan suara tegas, "Benar sekali, wahai Jenderal William. Kalau bukan karena urusan penting, aku juga tidak ingin memijakkan kakiku di sini, apalagi untuk memberikan jamu kepada Herlic," ujarnya sambil menatap William tanpa rasa takut.
"Kau!" William terkejut, matanya membulat penuh amarah. Ia tidak percaya ada seorang gadis pribumi yang berani bicara seperti itu kepadanya, seorang jenderal Belanda. "Berani sekali kau berkata seperti itu!" serunya dengan nada tinggi.
Melihat situasi memanas, Herlic segera melangkah ke depan, melindungi Mela dari tatapan tajam William. "William, cukup!" katanya dengan nada tegas. "Aku yang mengizinkan dia masuk. Jika ada masalah, aku yang bertanggung jawab."
William menatap Herlic dengan tajam, seolah mencoba membaca pikirannya. "Kau terlalu lunak, Herlic. Tidak heran jika dia mulai berani melawan," sindirnya sebelum berbalik pergi dengan langkah berat.
Mela memandang Herlic dengan bingung. "Kau yakin tidak apa-apa berbicara seperti itu pada sepupumu?" tanyanya pelan.
Herlic menghela napas dan menoleh ke Mela. "Dia bisa berkata apa saja, tapi aku tidak akan membiarkan dia menyakitimu. Kau aman selama aku ada di sini."
Mela hanya terdiam, masih memikirkan betapa beraninya ia tadi menghadapi seorang jenderal seperti William. Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit lega karena Herlic berdiri di pihaknya.
"Kau harus berhati-hati berbicara pada William," ujar Herlic dengan nada serius, sambil menatap Mela tajam. "Dia bukan tipe orang yang mudah melupakan hal-hal yang menyakitkan hatinya. Jika ia merasa tersinggung, tidak mustahil ia akan menggunakan senjatanya untuk menyingkirkanmu."
Mela menatap Herlic dengan ekspresi bingung namun tetap menunjukkan keberanian. "Apa aku harus takut padanya? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa salahnya itu?" tanyanya, nada suaranya tetap tegas.
Herlic menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Bukan soal benar atau salah, Mela. William tidak seperti aku. Dia melihat pribumi sebagai musuh, bukan manusia setara. Kau harus lebih bijaksana jika berhadapan dengannya. Jangan biarkan kata-katamu menjadi alasan baginya untuk menyakitimu."
Mela menunduk sejenak, lalu mendongak menatap Herlic dengan penuh keyakinan. "Aku tidak takut, Her. Aku sudah kehilangan segalanya. Kalau dia mau menembak, biarkan saja. Hidupku ini sudah penuh dengan luka, lagi pula setara katamu sejak kapan kau setara dengan kami? Kau juga sudah membunuh i," Mela terdiam tidak melanjutkan kalimatnya lagi.
“Mela?” Herlic memanggil namanya dengan nada lembut, mencoba menarik perhatian gadis itu yang tengah sibuk menyiapkan sesuatu.
“Tidak ada,” sahut Mela dingin tanpa menoleh. “Sudahlah, aku harus mempersiapkan jamu untuk para kompeni ini. Aku malas berlama-lama di sini. Orang sepertiku tidak seharusnya berbaur dengan kalian.”
Herlic menatap Mela yang terus bergerak cepat, meracik bahan-bahan jamunya tanpa sedikit pun memperlihatkan keraguan. “Mela, aku hanya ingin membantu...”
“Bantu?” Mela memotong dengan nada tajam sambil menoleh sekilas. “Apa yang bisa kau bantu? Kau pikir aku senang berada di sini? Aku harus ke pasar, Herlic. Aku harus mengumpulkan uang agar bisa bayar pajak yang kalian tetapkan itu. Jika tidak, aku bisa mati kelaparan atau lebih buruk, dihukum.”
Herlic terdiam. Kata-kata Mela menusuk dalam, mengingatkan dirinya pada kenyataan pahit yang dihadapi pribumi setiap harinya. Ia tahu Mela benar. Pajak yang mencekik, kerja paksa, dan sikap semena-mena para kolonial adalah bagian dari hidup yang dijalani oleh rakyat seperti Mela.
“Kau tidak perlu berbicara seperti itu, Mela,” ujar Herlic akhirnya, suaranya pelan. “Aku tidak seperti mereka. Aku hanya…”
“Tidak seperti mereka?” Mela kembali menatap Herlic dengan tatapan penuh sindiran. “Kau tetap bagian dari mereka, Her. Semua seragam itu sama saja di mataku. Dan aku? Aku hanya seseorang yang harus tunduk, meracik jamu untuk para kompeni, sambil berusaha bertahan hidup.”
Sambil berkata begitu, Mela kembali ke pekerjaannya. Ia mulai meracik jamu untuk Herlic dan anak buahnya, mencampur bahan-bahan tradisional dengan kecekatan yang menunjukkan pengalamannya. Herlic hanya bisa mengamati, merasa ada jurang yang semakin lebar di antara mereka meski ia ingin menutupnya.
“Mela…” Herlic mencoba lagi, namun suara gadis itu memotongnya.
“Herlic, aku tidak punya waktu untuk pembicaraan ini.