NovelToon NovelToon
The Story Of Jian An

The Story Of Jian An

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:462
Nilai: 5
Nama Author: NinLugas

Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.

Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.

Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

04

Malam pertama mereka di kamar pengantin terasa begitu sunyi, seolah seluruh dunia berhenti bergerak. Cahaya bulan yang lembut menyelinap melalui celah jendela kayu besar, menerangi ruangan dengan kilauan perak yang magis. Di dalam kamar yang dihiasi dengan kain sutra dan bunga melati, aroma lembut yang menguar seolah menambah keheningan malam itu. Lilin-lilin kecil yang menyala di sudut ruangan hanya memperkuat kesan sepi, membuat bayangan mereka menari-nari di dinding, menambah suasana yang tak terlukiskan.

Jian An duduk di tepi tempat tidur, mengenakan kain tidur berwarna lembut yang tampak serasi dengan rona wajahnya yang muram. Ia menundukkan kepala, matanya menatap kosong ke lantai kayu yang dingin. Tidak ada percakapan, tidak ada sapaan, hanya keheningan yang menggantung berat di antara mereka. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Banyu, yang duduk di seberang ruangan, tampak sama kikuknya. Banyu, meskipun tampak gagah dengan pakaian tidurnya, tidak bisa menyembunyikan rasa gugup yang menyelimuti dirinya.

"Sepertinya... bulan sangat terang malam ini," ujar Banyu akhirnya, memecah kesunyian. Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. Jian An menoleh perlahan, matanya bertemu dengan tatapan canggung Banyu. Namun, ia tidak menjawab, hanya mengangguk kecil sebelum kembali terdiam.

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Dalam hati, Jian An merasa ada jarak yang begitu besar di antara mereka, meskipun fisik mereka hanya dipisahkan beberapa langkah. Pikiran-pikiran tentang pernikahan yang tergesa-gesa ini terus menghantuinya. Ia merasa seperti asing di tengah kehidupannya sendiri, terperangkap dalam perjodohan yang tidak pernah ia kehendaki.

Banyu, di sisi lain, merasa bersalah karena tidak tahu bagaimana cara mendekati Jian An. Ia bisa merasakan kegelisahan yang sama dari wanita di hadapannya, namun tidak tahu harus berkata apa untuk membuat suasana menjadi lebih baik. Di luar kamar, suara angin malam berdesir pelan, seolah turut menyaksikan keheningan yang menyelimuti pasangan pengantin baru itu.

Saat malam semakin larut, Jian An perlahan berbaring di tempat tidur, membelakangi Banyu yang masih duduk di kursinya. Ia memejamkan mata, berharap bisa melarikan diri ke dalam mimpi, meskipun hatinya masih terasa berat. Banyu memandangi punggung Jian An dengan tatapan yang sulit diartikan, sebelum akhirnya ia juga memutuskan untuk berbaring di sisi lain tempat tidur. Namun, bahkan saat mereka berada di tempat tidur yang sama, jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang tak terjembatani.

Cahaya bulan terus menembus kamar itu, menyaksikan segala keheningan yang terjadi. Tidak ada kata, tidak ada sentuhan, hanya dua jiwa yang terperangkap dalam ikatan yang terasa begitu asing. Malam pertama itu berlalu begitu sunyi, menyimpan rahasia yang kelak akan mengubah hidup mereka selamanya.

Di tengah keheningan yang menyelimuti kamar, Banyu akhirnya memecah kebisuan dengan suara yang lembut namun penuh keraguan. “Jian An,” katanya perlahan, suara yang hampir hilang ditelan kesunyian, “apakah... bolehkah aku menyentuhmu?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, seolah-olah menunggu jawaban yang tak pasti. Jian An terdiam beberapa detik, tubuhnya terasa kaku, seolah tidak tahu bagaimana harus merespons. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat, dipenuhi perasaan yang sulit diungkapkan. Meskipun pertanyaan itu terdengar sederhana, namun baginya, itu seperti membuka pintu menuju ketidakpastian yang lebih dalam.

Jian An memutar tubuhnya perlahan, matanya menatap Banyu dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia merasa cemas, bahkan takut dengan apa yang mungkin terjadi jika ia mengizinkan sentuhan itu. Namun di sisi lain, ada rasa ingin melarikan diri dari segala kerumitan ini, ingin mengabaikan perasaan yang membebani hatinya.

“Banyu...” Jian An akhirnya berkata, suaranya pelan, namun cukup jelas untuk didengar. “Aku tidak tahu... tidak ada yang mengajarku bagaimana caranya menjalani ini.” Suaranya bergetar sedikit, dan ia pun kembali memalingkan wajahnya, menatap ke arah jendela yang terbuka. Bulan yang begitu terang tampak seolah mengawasi mereka, menambah ketegangan yang sudah ada.

Banyu menghela napas, merasa bersalah karena telah menanyakan hal itu. Ia tahu bahwa pernikahan ini bukan sesuatu yang diinginkan oleh Jian An. Namun, ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Ada keinginan untuk mendekati wanita yang kini menjadi istrinya, meskipun ia tahu betapa sulitnya hal itu.

“Maafkan aku,” Banyu berkata dengan suara rendah, “Aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman.” Ia pun kembali terdiam, merasa kecewa dengan dirinya sendiri, tetapi juga merasa terperangkap dalam situasi yang tak bisa ia ubah.

Jian An hanya mengangguk pelan, tanpa mengatakan apa-apa lebih lanjut. Malam itu kembali terbenam dalam keheningan yang begitu pekat, seolah-olah setiap kata yang tidak terucap menambah beban di antara mereka. Perasaan yang saling mengalir, namun tidak ada cara untuk menyatukan dua jiwa yang terpisah oleh waktu dan perasaan yang belum ditemukan.

***

Malam berikutnya, setelah perasaan canggung itu berlalu, Jian An merasa seakan dirinya telah dipaksa untuk menerima kenyataan yang telah digariskan. Ia telah siap melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri, meskipun hatinya masih terbelah oleh keraguan dan ketidakpastian. Malam itu, udara di dalam kamar terasa lebih berat, dan bahkan cahaya bulan yang masuk dari celah jendela kayu besar seolah tidak mampu menghapus ketegangan yang ada di dalam diri Jian An.

Ia mempersiapkan dirinya dengan hati-hati, mengenakan gaun tidur yang sederhana namun tetap menawan. Setiap gerakannya, meskipun halus, terasa seperti usaha besar untuk menjaga ketenangan di luar, sementara di dalam dirinya, perasaan campur aduk bergejolak. Ia menatap bayangannya di cermin, mencoba menenangkan diri, berusaha meyakinkan bahwa ini adalah jalan yang harus ia tempuh, meskipun itu bukanlah pilihan yang ia kehendaki.

Banyu, yang sudah berada di sisi tempat tidur, tampak lebih tenang dibandingkan malam sebelumnya, meskipun tatapan matanya tetap menunjukkan sedikit kecemasan. Ia tahu bahwa malam ini, peran mereka sebagai pasangan yang sah mulai dimulai, dan tanggung jawab itu terasa sangat berat. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus menghormati perasaan Jian An, memberi ruang bagi wanita itu untuk merasa nyaman, meskipun itu tidak mudah.

Ketika Jian An melangkah mendekat, Banyu menatapnya dengan lembut. Ia ingin berkata sesuatu, ingin memberikan rasa aman, tetapi kata-kata terasa sulit untuk keluar. Akhirnya, ia hanya mengangguk kecil, memberi isyarat bahwa ia siap mengikuti langkah-langkah yang harus dijalani.

Jian An duduk di tepi tempat tidur, tubuhnya terasa kaku, dan pikiran-pikirannya kembali terjebak dalam kebingungan. Ia mencoba mengingatkan dirinya untuk tetap tenang, untuk menjalani apa yang telah ditentukan tanpa melawan. Ia menoleh pada Banyu, melihat ketulusan yang ada di matanya, meskipun ada ketegangan yang tetap menghalangi kedekatan mereka.

Banyu perlahan mendekat, tangannya terulur dengan hati-hati, seperti ingin memastikan bahwa setiap gerakan yang ia lakukan tidak akan membuat Jian An merasa tertekan. Dengan lembut, ia menyentuh tangan Jian An, namun tidak berani melanjutkan lebih jauh. “Aku tidak ingin memaksamu, Jian An,” ucapnya dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. “Kita bisa melakukannya kapan saja... hanya jika kau siap.”

Jian An menatap tangannya yang terpegang lembut oleh Banyu. Ada kehangatan di sana, tetapi juga rasa tak pasti yang terus mengganggu pikirannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku... aku siap," ujarnya pelan, meskipun hatinya masih ragu. Ini adalah langkah yang harus ia ambil, meskipun semua ini terasa begitu asing.

Banyu mengangguk, menyadari bahwa malam ini, lebih dari sekadar tubuh yang bersatu, mereka harus membangun pemahaman dan kepercayaan di antara keduanya. Perlahan, dengan penuh kehati-hatian, mereka mulai menjalani malam itu, namun dengan segala kecanggungan dan ketidakpastian yang masih terpendam di hati mereka. Malam itu mungkin hanya awal dari sebuah perjalanan yang panjang dan penuh tantangan, di mana mereka harus belajar untuk saling mengenal lebih dalam lagi.

1
yanah~
Mampir kak, tulisannya rapi, enak dibaca 🤗
¶•~″♪♪♪″~•¶
semangat kk/Determined//Determined/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!