Cayenne, seorang wanita mandiri yang hidup hanya demi keluarganya mendapatkan tawaran yang mengejutkan dari bosnya.
"Aku ingin kamu menemaniku tidur!"
Stefan, seorang bos dingin yang mengidap insomnia dan hanya bisa tidur nyenyak di dekat Cayenne.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4 Kesepian Stefan
Stefan bisa memasang wajah seolah-olah semuanya baik-baik saja, meskipun kenyataannya jauh dari itu. Terbiasa diacuhkan dan dibenci tidak berarti ia kebal terhadap luka hati.
Rasa sakit yang membebani jiwanya terasa begitu berat, dan kemarahan terhadap orang-orang di sekitarnya, terutama orang tuanya, terus membara. Ia bahkan kesal pada kenyataan bahwa ia masih harus menjalani hidup ini.
Duduk di lantai yang dingin, ia menangis, mungkin terlihat memalukan bagi seorang pria seukuran dirinya, tapi ia merasa tak berdaya terhadap kata-kata menyakitkan ibunya.
Setelah kematian Alexander, sang ibu tidak pernah lagi berbicara kepadanya, dan untuk pertama kalinya ia menghadapi umpatan dan kekerasan fisik dari wanita yang seharusnya menyayanginya.
Dulu pengabaian masih bisa diterima asalkan tidak ada hinaan yang harus didengar dari sang ibu. Meskipun merasa tidak diinginkan, keberadaan saudaranya membuatnya merasa ada yang mendampingi.
Namun, waktu tidak bisa diputar kembali. Kecelakaan lima belas tahun silam tidak hanya melukai orang tuanya, tetapi juga dirinya sendiri.
Kini, semua orang membencinya—orang tua, kakek nenek, bahkan para pembantu keluarga. Dan tanpa Alexander, ia benar-benar sendirian menghadapi kerasnya dunia ini.
"Kenapa?" gumam Stefan penuh kebingungan. "Kenapa mereka tak bisa menerimaku? Kenapa aku tak pernah merasa menjadi bagian dari keluarga ini? Dimana kasih sayang yang seharusnya ada? Kenapa hanya kakakku yang mendapatkannya? Apa salahnya aku masih hidup dan harus menanggung semua ini?"
Penderitaan dan sakit hatinya memenuhi kamar mandi, tapi tak ada jawaban yang datang. Orang tuanya telah meninggalkannya sendirian, dan air mata pun mengalir deras.
"Tak ada yang peduli denganku," katanya pelan. "Betapa menyedihkannya hidupku."
Dari luar, orang mengira ia adalah sosok yang kuat, cerdas, dan berhasil mencapai posisinya kini. Namun di balik pintu tertutup, ia merasa rapuh dan bodoh. Harapannya, ketika ia menjadi sukses, keluarganya akan menerimanya.
Sayangnya, meskipun ia kaya dan terkenal, kasih sayang orang tuanya tetap jauh dari jangkauannya.
Setelah menghabiskan sekitar satu jam di kamar mandi, Stefan akhirnya keluar dan duduk di ruang tamu yang menatap kota.
Ia terdiam, menatap lampu-lampu kota hingga fajar menyingsing. Ketika waktunya bekerja tiba, ia tetap enggan meninggalkan kamar.
Chris, asisten setianya, memahami situasi ini dan dengan bijak menjalankan semua jadwal pertemuan atas nama Stefan. Tak berniat mengganggu privasinya, Chris melaporkan semua hal penting setiap siang dan malam.
Di malam hari, saat Chris kembali, Cayenne, yang penasaran, tidak mendapati Stefan bersamanya. Chris singgah di meja resepsionis, meninggalkan secangkir kopi untuk Cayenne.
"Semoga harimu baik," ucapnya sebelum pergi. Itu semata demi Stefan, yang suatu saat mungkin membutuhkan kehadiran Cayenne.
Cayenne terus memikirkan lamaran yang diterimanya. Ia merancang keputusan dalam benaknya, mencoba untuk berpaling dari kecemasan yang mengganggu. Hingga temannya, Mona, memanggil dan mengingatkannya untuk kembali fokus pada pekerjaan.
Saat shift berakhir, rasa lelah meliputi segenap tubuh dan pikirannya. Ia mempertimbangkan untuk berhenti dari pekerjaan di kafe demi kedamaian mentalnya.
Namun, sebelum sempat pergi, Stefan muncul, menawarkan tumpangan.
"Ayo, aku antar kau pulang. Aku kebetulan ada urusan di dekat rumahmu," katanya. Sebenarnya, ia hanya ingin ditemani, tak sepenuhnya paham kenapa, tapi kehadiran Cayenne selalu memberinya sedikit ketenangan.
"Tidak perlu repot-repot, Pak. Anda bisa melanjutkan aktivitas Anda, tidak perlu mengantar saya pulang. Saya bisa menjaga diri sendiri." Cayenne berkata sambil tersenyum tipis.
Dia menyadari mungkin akan menjadi buah bibir di lingkungannya selama beberapa hari jika menerima tawaran Stefan, dan ia tidak menyukai itu.
Pernyataan terakhir Cayenne membuat Stefan tersenyum. Mereka memiliki kesamaan dalam hal menghadapi hidup dengan kekuatan sendiri.
Namun, Cayenne tidak mengejar pengakuan orang lain karena keluarganya sudah mendukung dan menyayanginya.
"Bagaimana kalau aku mengantarmu sampai satu blok dari rumahmu? Kau tentu ingin menghindari gosip, bukan?"
"Bagaimana kau bisa tahu apa yang kupikirkan?"
"Aku tidak membaca pikiranmu, hanya saja kau sudah bilang itu padaku sebelumnya."
"Oh." Cayenne berusaha mengingat kapan tepatnya ia mengatakannya, dan teringat bahwa itu terjadi pada malam Stefan menawarkan kontrak kepadanya.
Saat ia tenggelam dalam pikirannya, Stefan membawanya ke tempat parkir bawah tanah. Cayenne menurut dan menundukkan kepalanya agar tidak bertemu pandang dengan siapa pun.
"Tenang saja, aku tidak akan membahas soal kontrak itu." kata Stefan, meyakinkan bahwa kehadirannya tidak akan membuat Cayenne tertekan. Dengan kata-kata tersebut, Cayenne merasa sedikit lebih tenang.
"Baiklah," jawabnya pelan sebelum masuk ke dalam mobil.
Dia menduga sopir Stefan yang akan mengemudi, tetapi terkejut mendapati Stefan sendiri yang akan menyetir, hanya mereka berdua.
"Eh.. di mana sopirmu, Pak?"
"Ah, mungkin kau berpikir dia selalu bersamaku," Stefan tertawa. "Dia juga butuh waktu libur. Sabtu dan Minggu adalah hari liburnya."
"Oh, begitu. Kupikir dia bekerja untukmu seperti mayat hidup."
"Aku tidak sekejam itu."
"Maaf, aku hanya bercanda."
Stefan tertawa melihat wajah Cayenne yang memerah dan gugup. "Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan orang-orang yang berbicara buruk di belakangku."
"Tidakkah itu mengganggumu?"
"Tidak. Aku tidak peduli. Aku lelah memikirkan pendapat orang lain."
Cayenne merasa sulit menanggapi, terutama karena dia termasuk salah satu orang yang pernah mengkritiknya. Dia pun duduk tegak dan fokus menatap jalan, menghindari tatapan ke Stefan.
"Bagaimana denganmu, Yen? Oh.. boleh aku panggil kau Yen, kan?" Cayenne mengangguk saat mendengar pertanyaannya. "Mungkin lebih baik Ayen saja. Jadi kau tahu siapa yang memanggilmu."
"Tidak masalah." Jawab Cayenne , dia tidak keberatan bagaimana orang memanggilnya.
Obrolan ringan menemani perjalanan mereka, namun momen itu cepat berlalu. Cayenne tiba satu blok dari rumahnya dan meminta Stefan berhenti.
"Terima kasih telah mengantarku, Pak. Sampai jumpa minggu depan."
"Sampai jumpa." Stefan kembali ke hotel, tidak ada urusan sebenarnya di daerah rumah Cayenne. Itu hanya alasan untuk menghabiskan waktu bersamanya.
Cayenne pulang lebih awal dan mendapati adiknya sedang mengerjakan PR.
"Selamat pagi, Kak. Kamu pulang cepat hari ini," Kyle menyapanya. "Lapar? Aku masak nasi goreng dari sisa makanan semalam."
"Hebat sekali." Cayenne menjawab sambil menuju dapur tempat Luiz mencuci piring. "Biar aku yang cuci. Kalian fokus beres PR."
"Aku tidak ada PR." Luiz menjawab lembut. Meski pendiam dan bicara pelan, Luiz bukan tipe yang mudah digertak. "Aku bisa cuci piring, Kak. Istirahatlah. Kamu capek kerja seminggu ini."
"Baiklah." Cayenne meninggalkan seragamnya di tempat cuci sebelum mandi di kamarnya.
Akhir pekan tiba dan Cayenne bebas dari pekerjaan di kafe maupun hotel. Bebas merencanakan akhir pekannya.
Dia tersenyum memikirkan rencana, namun teleponnya berbunyi sebelum dia sempat berbicara.
"Mana ponselku?" Dia menyadari meninggalkan ponsel di kamar. Saat melihat layar, ekspresinya berubah khawatir saat menjawab telepon.
Terdengar suara berat dari seberang. "Yen, bisa datang ke rumah sakit? Ibumu menolak minum obat lagi."
Cayenne mengerti alasannya, ibunya ingin mengurangi beban mereka. Namun, Cayenne tidak rela kehilangan ibunya.
"Saya segera kesana, dokter." Ia menutup telepon setelah dokter memberikan informasi tambahan. Ia keluar menemui adik adiknya.
"Kita harus ke rumah sakit."
Mereka tidak tahu persis apa yang terjadi, tetapi raut wajah Cayenne menunjukkan situasi buruk. Mereka berganti pakaian dengan cepat.
Cayenne membawa beberapa buah untuk ibunya, memastikan ponsel dan dompetnya ikut serta.
"Kalau ibu tanya tentang kerjaku, bilang kalau aku manajer hotel sekarang. Jangan kasih tahu kalau aku kerja sambilan, nanti bisa bikin dia stres." Cayenne mengingatkan adik-adiknya.
Mereka sudah sering menutupi kenyataan agar ibu mereka tidak khawatir. Yang dikenal ibunya hanya pekerjaan di hotel, tidak tahu pekerjaan tambahannya.