Renjana, seorang gadis muda yang baru saja pindah ke kota kecil Manarang, mulai bekerja di panti asuhan Widarpa, sebuah tempat yang tampaknya penuh dengan kebaikan dan harapan. Namun, tak lama setelah kedatangannya, ia merasakan ada yang tidak beres di tempat tersebut. Panti asuhan itu, meski terlihat tenang, menyimpan rahasia gelap yang tak terungkap. Dari mulai bungkusan biru tua yang mencurigakan hingga ruangan misterius dengan pintu hitam sebagai penghalangnya.
Keberanian Renjana akan diuji, dan ia harus memilih antara melarikan diri atau bertahan untuk menyelamatkan anak-anak yang masih terjebak dalam kegelapan itu.
Akankah Renjana berhasil mengungkap misteri yang terkubur di Widarpa, atau ia akan menjadi korban dari kekuatan jahat yang telah lama bersembunyi di balik pintu hitam itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WIDARPA 16
Pagi itu, suasana di panti terasa sibuk. Para pengasuh sudah bangun sejak dini hari untuk mempersiapkan anak-anak agar semuanya siap menghadapi inspeksi dari dinas sosial yang akan datang. Renjana sedang duduk di sudut ruangan, mengoleskan body lotion pada tangannya, mencoba menenangkan dirinya sebelum mulai beraktivitas lebih banyak.
Tiba-tiba, Kiwi mendekat dengan langkah hati-hati, wajahnya tampak berbinar. Renjana sudah bisa menebak maksud kehadiran Kiwi. Tanpa berkata apa-apa, Renjana meraih botol body lotion dan menyodorkannya kepada Kiwi.
"Ini untukmu. Ambillah," kata Renjana sambil tersenyum lembut, memberikan botol lotion tersebut. Kiwi menerima dengan cepat, tampak sangat gembira.
Kiwi mengangguk terima kasih, kemudian mulai mengoleskan lotion itu ke tangannya. "Terima kasih, Renjana," ucap Kiwi, suaranya senang.
Renjana, yang masih sedikit cemas dengan inspeksi yang akan datang, memutuskan untuk bertanya pada Kiwi yang sedang mengoleskan lotion di punggung tangannya. "Kiwi, kamu tahu nggak apa saja yang akan dilakukan orang-orang dari dinas sosial itu?" tanyanya sambil memperhatikan gerakan Kiwi yang hati-hati.
Kiwi berhenti sejenak, lalu mengangguk dan tersenyum sedikit, seolah tahu betul pertanyaan itu akan datang. "Mereka biasanya akan memeriksa berbagai hal di panti ini," jawab Kiwi, suaranya agak lebih tenang. "Mereka akan mulai dengan memeriksa kebersihan dan kenyamanan tempat tinggal, pastikan semua fasilitas di sini berfungsi dengan baik, seperti kamar tidur, ruang makan, dan area bermain anak-anak. Mereka juga akan bertanya tentang kesehatan anak-anak, apakah semua dalam kondisi baik dan mendapat perhatian medis yang tepat."
Renjana mengangguk, mendengarkan dengan seksama.
"Selain itu," lanjut Kiwi, "mereka juga biasanya akan memeriksa administrasi, seperti data anak-anak, rekam medis, dan laporan tentang kegiatan yang kami jalankan. Tidak lupa, mereka akan berbicara dengan para pengasuh untuk memastikan kami mengikuti prosedur yang benar dalam merawat anak-anak."
Renjana mengernyit sedikit. "Berarti mereka benar-benar memeriksa segala hal, ya?"
Kiwi mengangguk lagi. "Iya, mereka sangat detail. Tapi jangan khawatir, kita sudah mempersiapkan semuanya dengan baik. Mereka juga sering memberi umpan balik untuk perbaikan, jadi kalau ada yang kurang, kita bisa perbaiki."
Renjana merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar penjelasan Kiwi. "Terima kasih, Kiwi. Aku jadi lebih ngerti sekarang."
Kiwi tersenyum, lalu menyelesaikan olesan lotion di tangannya. "Sama-sama, Renjana. Lagipula ini kali pertamamu, tenang saja."
Setelah obrolan singkat itu, Renjana dan Kiwi bergabung dengan para pengasuh lain di lantai dua. Semua orang tampak sibuk mempersiapkan diri untuk inspeksi, namun ada kesibukan lain yang tak kalah penting—merawat anak-anak dan memastikan mereka dalam kondisi baik.
Renjana kemudian diberi tugas oleh kepala pengasuh Mbak Ayu, untuk membantu Lintang menjaga bayi. "Renjana, tolong bantu Lintang ya. Kita kedatangan bayi baru pagi ini, dan Lintang tampaknya kurang sehat," kata kepala pengasuh dengan nada sedikit cemas.
Renjana langsung mengangguk, merasa sedikit khawatir. Dia tahu betul Lintang biasanya sangat cekatan dalam merawat anak-anak, tetapi pagi itu wajahnya tampak pucat dan tampak sedikit lelah, mungkin akibat semalam mengurus bayi yang tidak bisa tidur.
Di ruang bermain anak, Lintang sedang menggendong bayi yang baru saja tiba, tampak cemas dan sedikit terengah-engah. "Lintang, kamu nggak apa-apa?" tanya Renjana, mendekati dengan langkah hati-hati.
Lintang mencoba tersenyum, meski wajahnya masih terlihat lelah. "Aku hanya sedikit kurang enak badan, Renjana. Tapi aku bisa mengatasi ini. Bayi baru ini butuh perhatian, jadi aku harus tetap terjaga."
Renjana tidak yakin, tetapi dia tahu Lintang sangat berkomitmen dengan tugasnya. "Jangan paksakan diri kalau kamu merasa tidak enak badan, Lintang. Aku bisa membantu," kata Renjana dengan lembut.
Lintang mengangguk, tampak sedikit lega. "Terima kasih, Renjana. Aku akan sedikit beristirahat setelah bayi ini tenang. Tapi, tolong pastikan dia tetap nyaman ya."
Renjana mengangguk, lalu mulai membantu menenangkan bayi yang tampaknya sedikit rewel. Dengan tangan yang lembut, dia membujuk bayi itu agar lebih tenang, sembari sesekali melirik Lintang yang sudah duduk di kursi dekat jendela, tampak mencoba untuk beristirahat.
Renjana terpesona melihat bayi perempuan itu, tak bisa menahan kekagumannya. Bayi itu tampak begitu manis dan penuh keajaiban. Tubuhnya yang berisi memberikan kesan sehat dan kuat, sementara rambut ikalnya yang hitam pekat berkilau lembut di bawah cahaya. Renjana terdiam sejenak, memandang dengan penuh perhatian.
Bulu mata bayi itu tampak lentik, dan saat matanya yang indah berwarna cokelat muda menatapnya, Renjana merasa seperti terhubung dengan kedamaian yang luar biasa. Ketika terkena cahaya mentari yang lembut, iris matanya terlihat dengan jelas, memberi kesan penuh harapan dan keceriaan. Bibir mungilnya bergerak-gerak, terbuka dan menutup seolah ingin mengatakan sesuatu, meskipun hanya berupa gerakan kecil.
Renjana tersenyum hangat melihatnya, merasa ada ikatan yang tak terucapkan. Perlahan, dia mengusap pipi bayi itu dengan lembut, merasakan kulit halusnya yang terasa hangat. "Kamu cantik sekali," bisiknya pelan, hampir tak ingin mengganggu ketenangan yang ada.
Bayi itu sepertinya merespons dengan senyuman kecil, meski masih terdengar sesekali suara isaknya. Renjana merasa hatinya terisi dengan rasa kasih sayang yang mendalam, dan untuk sesaat, dunia seakan berhenti sejenak—hanya ada dirinya dan bayi itu, dalam keheningan penuh ketulusan.
Renjana terjaga di malam yang sunyi, pikirannya penuh dengan berbagai hal yang mengusik. Dia tidak bisa tidur, pikiran-pikiran itu terus berputar-putar dalam benaknya, membuatnya gelisah.
Akhirnya, dia memutuskan untuk turun ke bawah, mengambil segelas air di ruang makan untuk menenangkan diri. Namun, saat langkahnya hampir sampai di tangga, Renjana terhenti mendengar suara ribut dari lantai satu. Suara itu terdengar seperti pertengkaran, diselingi suara keras pintu yang dibanting. Rasa penasaran membuat Renjana melangkah perlahan mendekati tangga dan berhenti di sana.
Dengan hati-hati, dia melongokkan kepala dari balik tangga, berusaha tidak membuat suara agar tidak diketahui. Dari situ, dia bisa melihat Samuel dan Helena tengah berdebat di depan pintu utama. Ekspresi wajah mereka tegang, dan suara mereka terdengar semakin keras.
"Helena, kamu tidak mengerti! Ini bukan waktunya untuk berdebat!" suara Samuel terdengar marah namun penuh penekanan.
Helena, dengan wajah yang tegang, membalas dengan suara tinggi, "Aku hanya ingin tahu kenapa kamu selalu menghindar! Kenapa kamu selalu memutuskan segalanya tanpa memberitahuku?"
Renjana merasa cemas dan sedikit terkejut dengan ketegangan itu. Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka? Apa yang membuat mereka berdua berdebat begitu keras?
Renjana terjaga di malam yang sunyi, pikirannya penuh dengan berbagai hal yang mengusik. Dia tidak bisa tidur, bertanya-tanya tentang bayi baru yang datang, tentang Lintang yang tampak kurang sehat, dan juga kejadian aneh yang sempat ia lihat di sepatu Dokter Gio. Pikiran-pikiran itu terus berputar-putar dalam benaknya, membuatnya gelisah.
Akhirnya, dia memutuskan untuk turun ke bawah, mengambil segelas air di ruang makan untuk menenangkan diri. Namun, saat langkahnya hampir sampai di tangga, Renjana terhenti mendengar suara ribut dari lantai satu. Suara itu terdengar seperti pertengkaran, diselingi suara keras pintu yang dibanting. Rasa penasaran membuat Renjana melangkah perlahan mendekati tangga dan berhenti di sana.
Dengan hati-hati, dia melongokkan kepala dari balik tangga, berusaha tidak membuat suara agar tidak diketahui. Dari situ, dia bisa melihat Samuel dan Helena tengah berdebat di depan pintu utama. Ekspresi wajah mereka tegang, dan suara mereka terdengar semakin keras.
"Helena, kamu tidak mengerti! Ini bukan waktunya untuk berdebat!" suara Samuel terdengar marah namun penuh penekanan.
Helena, dengan wajah yang tegang, membalas dengan suara tinggi, "Aku hanya ingin tahu kenapa kamu selalu menghindar! Kenapa kamu selalu memutuskan segalanya tanpa memberitahuku?"
Renjana merasa cemas dan sedikit terkejut dengan ketegangan itu. Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka? Apa yang membuat mereka berdua berdebat begitu keras?
Dia merasa tidak seharusnya mengganggu, jadi dengan cepat dia mundur sedikit dan berbalik untuk pergi ke ruang makan. Namun, rasa penasaran yang terpendam tetap mengganggu pikirannya, membuatnya bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi di balik semua ini.
erbalik untuk pergi ke ruang makan. Namun, rasa penasaran yang terpendam tetap mengganggu pikirannya, membuatnya bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi di balik semua ini.
Renjana merasa tidak bisa menahan rasa penasaran yang semakin menggebu. Setelah mendengar percakapan yang semakin memanas antara Samuel dan Helena, dia memutuskan untuk turun ke bawah, melangkah perlahan hingga dia berdiri di ambang tangga. Dari sana, dia melihat mereka berdua bergerak menuju ujung lorong, di mana terdapat sebuah ruangan berpintu hitam yang tidak dapat dimasuki siapapun kecuali untuk orang-orang tertentu. Tanpa berkata-kata, mereka berdua menghilang di balik pintu itu.
Hati Renjana berdebar, perasaan penasaran semakin kuat, mendorongnya untuk mendekat. Namun, dia tahu dirinya tidak boleh terlihat. Dengan hati-hati, Renjana bersembunyi di balik tembok, mencoba untuk tidak mengeluarkan suara.
Dia mengintip perlahan, berharap bisa mendengar atau melihat lebih banyak. Semakin lama, semakin terasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Di ruang itu, mereka berdua tampak terburu-buru, seperti ada sesuatu yang ingin disembunyikan. Renjana bisa merasakan ketegangan di udara, meski hanya mengamati dari kejauhan.
Namun, dia tidak ingin terjebak dalam situasi yang bisa berbahaya, jadi Renjana memutuskan untuk tetap diam dan menunggu. Ia merasa seolah-olah ada banyak rahasia yang tersembunyi di balik pintu hitam itu—sesuatu yang belum siap untuk diketahui.
Renjana tetap bersembunyi di balik tembok, ketika dia mendengar suara pintu tertutup keras, Renjana kembali naik ke atas bersembunyi dan mengintip dari celah pembatas tangga, matanya mengikuti setiap gerakan Helena yang keluar dari pintu utama, dibelakangnya Samuel menyusul terlihat membawa sebuah bungkusan berpita merah, tampak terbungkus rapat, namun ada sesuatu yang aneh tentang bungkusan itu. Renjana semakin penasaran, merasakan sesuatu yang ganjil di situ, dia pernah melihat bungkusan yang sama yang dibawa Dokter Gio beberapa waktu lalu namun dengan pengikat yang berbeda.
Setelah mereka berdua menghilang keluar dari pintu utama. Dengan hati-hati, Renjana berjalan berjingkat menuju jendela untuk mengintip lebih dekat. Dari sana, dia bisa melihat dengan jelas Samuel sedang memasukkan bungkusan berpita merah itu ke dalam bagasi mobil. Mobil sedan hitam yang biasa terlihat di depan panti itu menunggu dengan mesin yang masih menyala. Helena berdiri di samping mobil, tampak cemas namun tak bisa mengalihkan pandangannya dari Samuel.
Setelah beberapa saat, Samuel dan Helena masuk ke dalam mobil sedan hitam itu. Mobil itu perlahan mundur, meninggalkan panti dengan suara mesin yang bergema di malam yang sunyi. Renjana berdiri tertegun di balik jendela, masih merasa bingung dan khawatir.
Renjana berjalan perlahan mendekati pintu hitam itu, rasa penasaran yang tak bisa ia tepis mendorongnya untuk lebih dekat. Dengan hati-hati, dia mencoba memutar gagang pintu, namun pintu itu terkunci rapat. Frustrasi, Renjana menempelkan telinga ke pintu, berusaha mendengarkan suara-suara dari dalam. Mungkin ada sesuatu yang bisa memberi petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa ada sesuatu yang kamu dengar di dalam sana?" sebuah suara terdengar pelan, namun tajam. Renjana tetap fokus berusaha untuk menangkap sesuatu di dalam sana.
"Tidak ada apa-apa," jawab Renjana, dengan cepat.
Tapi begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, Renjana baru menyadari bahwa pad siapa dia berbicara? Tubuhnya menegang, dia kemudian tahu ada seseorang yang sudah berdiri di belakangnya. Seperti tersambar petir, rasa takut langsung menyelimuti tubuhnya. Kakinya terasa lemas, dan tanpa sadar, dia berpegangan pada pintu itu, berusaha menstabilkan dirinya. Semua pikiran berlari kencang di benaknya, mencoba mencari cara untuk melindungi dirinya, namun tubuhnya seolah membeku.
Dengan cepat, Renjana berbalik perlahan, mencoba untuk tidak panik. Namun, begitu dia menoleh, dia terkesiap dan hampir terjatuh. Di depannya, berdiri seseorang yang tak dia duga, dengan ekspresi wajah yang sulit dibaca. Matanya yang tajam seolah menembus ke dalam dirinya, dan Renjana merasakan jantungnya berdebar hebat.
"Kenapa kamu di sini?" suara orang itu tenang. Renjana memegang erat gagang pintu di belakangnya.